Tentang Jurnalis Jahat Dari Media Arus Utama

Reporter New York Times Judith Miller tersenyum di Konvensi Masyarakat Jurnalis Profesional tahun 2005. (Foto: Ethan Miller/Getty Images)


JURNALIS adalah profesi mulia, yang selalu diperlukan sepak terjang, liputan dan laporannya - analisis dan opininya - di tengah masyarakat untuk menjelaskan duduk perkara. Dari suatu kejadian dan peristiwa aktual di sekitar kita dan dunia.

Akan tetapi, jurnalis juga bisa menjadi sosok jahat luar biasa. Bahkan liputannya mampu merusak suatu negara. Apalagi jika jurnalisnya bekerja di media besar, media kondang, arus utama atau media ‘mainstream’.

Lihat artikel lainnya tentang Judith Miller

Judith Miller adalah contoh yang nyata. Dia jurnalis andalan di ‘New York Times’ selama beberapa dekade -- berpengalaman menjalani tugas di biro Washington DC, Kairo, Paris - dan koresponden khusus untuk Teluk Persia, di unit khusus di Irak. Dia bekerja di biro ‘NY Times’ di Washington sebelum bergabung dengan Fox News pada tahun 2008.

Kredibelitasnya tak diragukan. Bahkan dia masuk tim penilai Pulitzer, penghargaan bergengsi wartawan AS. Dia memiliki sumber rahasia yang membumbui eksklusifitas penulisan opininya, sehingga selalu tampil di halaman utama.

Namanya kondang saat menulis tentang dugaan program senjata pemusnah massal (WMD - ‘Weapons of Mass Ddestruction’) Irak sebelum dan sesudah invasi tahun 2003, namun tulisannya kemudian diketahui didasarkan pada informasi palsu.

Sejak lima tahun sebelumnya, di tahun 1998, dia menyebarkan cerita-cerita omong kosong tentang kemampuan senjata pemusnah massal Irak. Menjelang invasi, berita-berita di halaman depannya di NYT dikutip oleh pemerintahan Bush sebagai bukti bahwa Saddam harus segera disingkirkan.

Liputannya, analisisnya dan opininya tentang senjata pemusnah massal di Timur Tengah berakibat fatal. Karena dimanfaatkan Presiden George W. Bush menyerbu negeri itu, di tahun 2003 dan menggantung Presiden Sadam Huseein. Meluluh lantakan negara pewaris peradaban Babilonia yang memiliki sejarah ribuan tahun dan setelahnya konflik tak berkesudahan.

Setahun sesudahnya, pada  2004, ‘New York Times’ menerbitkan editorial yang mengakui bahwa mereka secara tidak kritis mempropagandakan klaim sumber intelijen mereka, dan berkontribusi pada "pola informasi yang salah" secara keseluruhan terkait dengan ambisi nuklir Irak. Judith Miller pun meminta maaf dan mengakui liputannya banyak cacat.

‘The Wall Street Journal’ edisi 3 April 2015, pernah menerbitkan artikel opini Miller yang berisi pembelaan atas sikapnya menjelang perang di Irak, serta sikap dan keputusan pemerintahan Bush mengenai perang tersebut. Dia mengakui bahwa "banyak sekali kesalahan mengenai Irak, dan saya juga melakukan hal yang sama (salah.pen). Klaim-klaim yang layak diberitakan dari beberapa cerita WMD saya sebelum perang adalah salah. " 

 "Saya membawa Amerika berperang di Irak” tolaknya.

WMD yang sebelumnya melekat dengan nama liputan Judith Miller; “Weapons of Mass Destruction” berganti menjadi sebutan olok olok: “Woman of Mass Destruction”! Perempuan Penghancur Massal!

Diketahui juga di hari kemudian, sejak awal karirnya di 'NYTimes', Miller memasukkan informasi yang salah dari CIA ke dalam artikel mengenai Libya, dia selalu menjadi alat kekuasaan. Dia adalah “pengisi suara” Departemen Pertahanan, yang dimuat di 'Times'.

Masalahnya, negeri Irak sudah prak poranda, hancur lebur, luluh lantak, dan Sadam Hussein sudah digantung. Menyusul Libya dengan tudingan yang sama, membuat Moammar Khadafi tewas mengnaskan, pemerintahan tumbang dan negerinya terus dilanda konflik.

SKANDAL Judith Miller dan ‘New York Times’ menegaskan bahwa jurnalis ternama di media kondang, media arus utama (mainstream) bukan jaminan bagi beredarnya berita terpercaya.

Bahwa wartawan media utama juga bisa menyebarkan berita bohong, plintiran, bisa dimanfaatkan oleh pebisnis senjata, menjadi jadi kaki tangan politisi yang berkepentingan, pengobar konflik, politisi mabuk kuasa, partai yang tersisih, oposan, dan kelompok kalah.

Selain 'New York Times', 'CNN', dan 'Fox News' juga sering terlibat dalam kontroversi terkait dengan penyebaran berita yang tidak sepenuhnya diverifikasi, terutama dalam konteks politik. 

Media sering terjebak dalam perang narasi, dengan masing-masing sisi politik mencoba mengontrol informasi yang disebarkan kepada publik. 

Ini menciptakan ketidakpercayaan terhadap media di kalangan banyak orang, yang merasa bahwa berita yang mereka terima dipengaruhi oleh bias politik.

Framing, dramatisasi berita, konflik kepentingan, penyensoran, eksploitasi privacy, pengabaian etika dan pelaporan yang bias, sensasionalisme demi clickbait, dan penyimpangan lainnya dilakukan dan lazim tampil di media arus utama.

Walter Lippmann, jurnalis kawakan, yang juga pemikir dan pakar Komunikasi Amerika Serikat, pernah menyatakan, “Berita dan kebenaran bukanlah hal yang sama - “The news and the truth are not the same thing”. - Karena berita tidak selalu mencerminkan kebenaran sepenuhnya.

Tokoh media di AS ini mengingatkan pentingnya untuk tidak menganggap berita sebagai satu-satunya sumber kebenaran. 

“Berita bisa mengarahkan opini publik, tetapi tidak selalu merefleksikan realitas secara objektif. Media dan jurnalis perlu diingatkan akan tanggung jawab mereka dalam menyajikan informasi dengan cara yang adil dan akurat.”

Karir jurnalisme Judith Miller berakhir menyedihkan, menunjukkan sisi gelap ‘Ratu Dunia’ - julukan orang pers di masa lalu. Dia membawa peran antagonis dalam dunia pers. Reputasinya hancur dan sempat menebus dalam penjara karena menolak sumber beritanya - meski akhirnya nama yang disembunyikan terbongkar juga.

Akan tetapi sosok seperti dirinya; ‘Judith Miller - Judith Miller’ lainnya - muncul di tempat lain. Juga di Indonesia, negeri tercinta kita.

Kita sama sama tahu, ada jurnalis teve kondang kita yang menebarkan ketakutan dengan memposting tagar “Indonesia Darurat” dan mendorong massa turun ke jalan. Hampir saja terjadi kerusuhan karenanya - jika saja pemerintah tidak sigap mengantisipasi.

Ada juga jurnalis media mingguan ternama - generasi baru atas nama majalah legenda di masa lalu, menebarkan isu isu yang tidak jelas bermodal info samar, “sumber yang tak mau disebut namanya” - “info A-1” dan sebutan sebutan misteri yang hanya jurnalis itu dan Tuhan yang tahu. Untuk menutupi berita hoaks yang disebarkannya tanpa rasa bersalah.

Bagaimana jurnalisme dipraktikkan tanpa posisi moral? Setiap jurnalis adalah seorang moralis. Tidak dapat dielakkan dan dihindari. Jurnalisme adalah jajaran garis depan pengajar moral dan etika.

Tapi jika jurnalisnya, yang merasa sudah senior dan berambisi jadi menteri, tapi gagal, memang masalah moral tak penting lagi. Etika pun ditabrak. Dia sudah jadi aktifis pemburu jabatan

Gagal menjadi menteri sungguh menyakitkan. Apalagi rekan rekan seprofesinya, seangkatan dan juniornya, sudah jadi menteri dan wakil tanpa menebarkan ketakutan dan ‘Peringatan Darurat’. ***

(Supriyanto Martosuwito)

Posting Komentar

0 Komentar

Below Post Ad