Ashadi Siregar, Wartawan Penulis Novel "Cintaku di Kampus Biru"



"Bagi masyarakat luas, Ashadi  lebih dikenal dengan novel Cintaku di Kampus Biru, yang kemudian diangkat ke film dan membuat Roy Marten menjadi bintang.  Novel yang memotret perubahan di masyarakat waktu itu seperti menjadi penanda “zaman baru” di fajar kekuasaan Orde Baru. Novel ini meledak, melambungkan nama Ashadi. Namun, Ashadi tak menganggap novel itu luar biasa. 

“Tahun 1970-an barang impor masuk, juga pakaian yang zaman Orde Lama enggak dikenal seperti celana jeans dan segala macam, minuman ringan, film Amerika, serta modal asing,” ujar Ashadi. “Jadi, novel itu pas bagi mahasiswa dan remaja.” 

Dunia Kata-kata Ashadi Siregar

Gayanya acuh tak acuh. Suaranya pelan, tetapi kalimat-kalimatnya menohok sehingga terkesan angkuh dan kaku. Dia tak punya gelar profesor, apalagi profesor. Tak pernah merasa paling pintar, apalagi paling benar. Namun, dia, Ashadi Siregar, adalah “suhu” dan penjaga akal sehat jurnalisme Indonesia. 

“Dunia saya pada dasarnya adalah mencipta kata-kata,” tutur Ashadi. “Itu saya kukuhi benar. Sejak SMA saya sudah menulis di koran umum. Jadi, saya membayangkan diri saya hanya berkutat dan berkreasi dengan kata.” 

Dunia itu tak kenal pensiun. Itu sebabnya ia protes ketika kolega dan sahabatnya mengungkapkan rencananya untuk menulis buku untuk menyambut masa pensiunnya sebagai dosen Jurusan Ilmu komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 

“Saya bilang, bikin buku ya bikin saja, tetapi jangat dikaitkan dengan pensiun, jangan dalam konteks dunia UGM atau pegawai negeri sipil. Kaki saya kan tidak sepenuhnya di situ.” 

Ashadi mengaku, aktivitasnya di lingkungan akademis mungkin hanya 10 pesen, 90 persen yang lain berada di luar itu. “Masak yang di luar itu saya juga harus pensiun. Jadi saya bilang, ‘Kecuali kalian mau mengeluarkan saya dari dunia saya.’ Aduuuh…” 

kami menemuinya suatu hari di Kantor Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerbitan Yogya, yang terlindung dari keramaian lalu lintas Jalan Kaliurang, Yogyakarta. Bangunan berlantai dua di atas lahan 2.000 meter persegi itu sebenarnya cukup luas untuk membangun wisma bagi peserta pelatihan. Pernah seorang teman menanyakan hal itu, Ashadi menjawab, “Kita kan membangun lembaga pendidikan,bukan losmen.” 

Di lembaga itu, selama lebih dari 20 tahun tahun berlangsung pelatihan jurnalisme yang mengeksplorasi angle (cara pandang) dan perspektif, menguatkan etika dan menciptakan ruang bagi mereka yang tak bisa bersuara dalam relasi-relasi kuasa yang timpang. Di situ, “kebenaran” diperdebatkan. Nurani wartawan digugat dalam kerja jurnalistik yang menyentuh masalah kemanusiaan. Diktum 5W+1H dalam jurnalisme dimaknai lebih dari sekadar kerja teknis. 

Kampus biru

Bagi masyarakat luas, Ashadi  lebih dikenal dengan novel Cintaku di Kampus Biru, yang kemudian diangkat ke film dan membuat Roy Marten menjadi bintang. 

Novel yang memotret perubahan di masyarakat waktu itu seperti menjadi penanda “zaman baru” di fajar kekuasaan Orde Baru. Novel ini meledak, melambungkan nama Ashadi. Namun, Ashadi tak menganggap novel itu luar biasa. “Tahun 1970-an barang impor masuk, juga pakaian yang zaman Orde Lama enggak dikenal seperti celana jeans dan segala macam, minuman ringan, film Amerika, serta modal asing,” ujar Ashadi. “Jadi, novel itu pas bagi mahasiswa dan remaja.” 

Selain itu, “Kompas mulai cetak offset, jadi jernih, rapi, ilustrasinya jelas, tak ada kesalahan seperti kalau cetak pakai timah,” kenang Ashadi tentang Kompas yang masuk kampus bersamaan diterbitkannya trilogi novelnya sebagai cerita bersambung. 

“Saya melihat dinamika itu faktornya, bukan karena novel itu menarik. Jadi, faktornya kebetulan saja,” ia melanjutkan. “Orang bilang, ‘Kamu kok merendah begitu’, tetapi saya bilang, “Tidak’. Sebagai orang yang belajar media, saya tahu, faktor itu benar.” 

Mengapa Anda menulis novel? 

Saya nulis itu untuk mengisi bagian dari hidup saya yang tak terpenuhi waktu itu. 

Tahun 1971 itu saya diajak sejumlah teman menerbitkan koran mingguan. Sendi, namanya. Koran itu terbit sampai 13 nomor, tetapi lalu dibredel karena menulis soal Taman Mini Indonesia Indah. Tahun 1972 saya diadili. Prosesnya lama (di sidang pengadilan itu ia membacakan pleidoi berjudul “Anak Muda Menatap Realita”, yang membuat kagum banyak orang). 

Sejak itu saya merasa tempat saya bukan di jurnalisme. Tetapi, pikiran-pikiran yang tadinya digunakan menulis artikel tentang persoalan-persoalan sosial terus bekerja. Akhirnya, seluruhnya difiksikan dalam cerita panjang yang baru saya tahu namanya novel karena saya enggak belajar sastra. SMA saja bagian Pas/Pal, dulu SMA B. 

Kritis

Setelah situasi mereda, Ashadi merasa, “masa bertarung”-nya sebagai pelaku sudah lewat. Awal tahun 1980-am itu ia konsentrasi membuat pendidikan jurnalisme, yang mencoba memberi alternatif dari jurnalisme arus utama atau jurnalisme pembangunan, yang diharuskan melakukan konfirmasi fakta sosial kepada kekuasaan. Banyak wartawan telanjur meyakini itu sebagai sesuatu yang benar. “Hegemoninya sudah luar biasa. Itu yang coba kita pulihkan,” ungkapnya. 

Bagaimana lahirnya jurnalisme empati? 

“Pada awalnya kita mengajak wartawan kembali pada kehakikian jurnalisme, yaitu mendiskusikan fakta sosial tanpa ada kekuasaan yang menahan kerja jurnalis. Pada tahun 1993-1994 itu kita mulai berpikir, kehidupan sosial tidak bisa semata-mata didiskusikan. Harus ada perspektif tertentu. Saat itu ada fakta yang menyentakkan kita tentang AIDS, yang bukan sekadar isu kesehatan. Pers jahatnya luar biasa, membuat stigmatisasi, tidak punya kepekaan sama sekali, bahkan menjadikan isu itu sebagai sensasi. Itu mendorong kita menyusun desain kurikulum yang mendiskusikan fakta sebagai sesuatu yangbukan sekadar teknis. 

Kurikulum itu saya sebut dengan latihan jurnalisme empati, bagaimana mengajak wartawan punya empati kepada manusia lain, sebelum bercerita tentang manusia itu. Intinya sederhana sekali: bagaimana jika yang di posisi itu anakmu, istrimu, saudaramu? Apakah akan kamu beritakan juga seperti itu? 

Kita ingatkan, korban bukan barang atau komoditas. Muncullah dinamika jurnalisme kita; seluruhnya pengajaran yang berkaitan dengan perspektif, bukan lagi pengetahuan-pengetahuan sederhana. 

Dari AIDS kita bergerak lebih jauh dengan kerangka berpikir, ada faktor yang lebih vital di hulu segala persoalan, yaitu gender, relasi kuasa yang timpang, dan hak perempuan. Itu intinya. Kita bayangkan hidup ini seperti sungai. AIDS ada di tengah. Demokratisasi politik, demokrasi ekonomi, demokrasi sosial, ada di muara. 

Semua soal di muara berasal dari hulu yang satu. Itu persoalan kita yang paling krusial. Begitu kita benahi masalah hak-hak perempuan, kita juga membenahi seluruh hak dari mereka yang termarjinalkan. Kita benahi hulunya, muaranya akan terpengaruh. Makanya, ketika aktivis ribut soal kuota perempuan yang tak terpenuhi, ya karena persoalan hulunya tak pernah dibenahi. 

Tantangan besar bagi jurnalis adalah melihat persoalan di hulunya untuk memahami duduk perkara. Ini yang  kemudian menjadi bagian dari perspektif dia.” 

Tak akan mati

Selama membuat pelatihan-pelatihan itu, Ashadi secara intens mengundang teman-teman lamanya untuk berbagi pengetahuan. Sebut saja Hotman Siahaan yang sekarang menjadi Guru Besar FISIP Universitas Airlangga; atau Saur Hutabarat, jurnalis senior; juga Daniel Dhakidae, ilmuwan yang saat itu memimpin bagian Penelitian dan Pengembangan Kompas. 

Di luar soal-soal substansial itu, Ashadi sadar, revolusi teknologi media telah membuat perubahan besar. Tantangan media cetak adalah kecepatan berita dari media audio-visual dan portal media. Oleh karena itu, media cetak harus mampu menyodorkan fakta dengan perspektif, angle, dan referensi lengkap. “Itu menuntut intelektualitas lebih dari setiap wartawan,” tegasnya. 

Namun, ia sangat yakin, dunia kata-kata akan tetap hidup dalam peradaban manusia. “Sekarang ini komputer tablet muncul secara periodik, juga buku elektronik. Mungkin suatu ketika kita baca koran dengan teknologi itu,” ujarnya. 

Kesadaran akan teknologi‒ia aktif dalam pergaulan dunia maya, melalui Facebook dan Twitter‒membuat dia paham benar sisi positif dan negatif teknologi. Ia mengamati bagaimana orang tergagap menanggapi ketika teknologi memublikasikan dunia privat dalam sekejap dan pers memberi ruang bagi perampasan hak-hak mereka yang ditudul “tidak bermoral”. 

“Snob moralitas,” ujarnya. “Seluruh gambaran tontoan di televisi kita seperti hendak membuat orang berkesimpulan bahwa kita harus bermoral, tetapi itu hanya seolah-olah…”

Ashadi Siregar lahit di Pematang Siantar, 3 Juli 1945, lulus dari Jurusan Publisistik , Fakultas Sosial-Poilitik Universitas Gajah Mada, tahun1970. Diangkat sebagai dosen tetap di UGM pada tahun 1974 hingga pensiun tahun 2010, Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM (1996-1999), dan mendapat beberapa penghargaan dari pemerintah. 

Menjadi Pemimpin Redaksi Sendi (1971) dan Pemimpin Redaksi Surabaya Post (Mei-Agustus 1999), ia juga menjadi anggota Dewan Kesenian Yogyakarta selama beberapa periode, Ketua Lembaga Ombudsman Kompas (2003-2010), serta Direktur Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerbitan Yogya (LP3Y) sejak tahun 1992. 

Sebagai pakar jurnalisme dan ilmu komunikasi, Ashadi menjadi pembicara di berbagai seminar, pelatihan, lokakarya, pertemuan ilmiah, dan aktif menulis di media massa ataupun jurnal ilmiah. Berbagai tulisannya menjadi bagian dari lebih dari 15 antologi. Menulis sedikirnya 15 buku, di antaranya Menyingkap Media Penyiaran, Membaca Televisi dan Radio (2001); AIDS, Gender, dan Kesehatan Reproduksi (2002); serta Etika Komunikasi (2005). 

Karya novelnya sekitar 12, selain trilogi Cintaku di Kampus Biru (1974), Kugapai Cintamu (1974), Terminal Cinta Terakhir (1976), di antara lainnya adalah Sirkuit Kemelut (1976), Frustasi Puncak Gunung (1976), dan Sunyi Nirmala (1982).

Ashadi menikah dengan Helga Korda, dikarunia dua anak, Anggia Adibanua Siregar (28) dan Bona Adimesa Siregar (23). 

Filosofi hanya Mengalir

Ashadi Siregar dikenal pemurah. Seperti direkan dalam buku Ashadi Siregar: Penjaga Akal Sehat dari Kampus Biru (KPG, 2010), ia selalu tanggap terhadap teman-teman yang membutuhkan bantuannya. Barangkali karena itu, pendapatan yang besar pada masa jayanya sebagai penulis tidak terlalu berdampak bagi kehidupan pribadinya. 

Ia juga pemurah dalam berbagi pengetahuan, tetapi kikir mengungkap kehidupan keluarganya.”Tak ada pentingnya orang tahu kebahagiaan-kebahagiaan kecil saya di rumah.” 

Mungkin ia tak sadar ketika mengungkap, “Misalnya, cara saya berinteraksi dengan anak. Apakah saya perlu bercerita , sampai dia mahasiswa, kalau demam, dia akan tidur di samping saya, sehingga ibunya yang harus minggir.”

“Atau, kebiasaan kami membaca di tempat tidur dengan bantal ditinggikan. Jadi, kami berbaring sama-sama membaca buku karena dia tak suka sendirian di kamarnya.” 

“Passion”

Ashadi Siregar mampu menciptakan ruang-ruang kenyamanan dalam pergaulan, yang tidak mengganggu pergulatan pemikirannya di ruang yang paling pribadi. Ia menjadi orang yang paling bahagia karena konsisten dengan jalan yang dipilihnya dan melakukan semua pekerjaannya dengan kecintaan penuh. 

“Bagi saya, bukan posisi yang penting, tetapi apa yang kita kerjakan jauh lebih penting,” ungkapnya. “Saya beruntung karena selalu merasa nyaman di lingkungan mana pun di Yogya. Barangkali karena itu saya tidak berniat pergi dari Yogya dan mencari sesuatu. Hidup berjalan terus, gaji PNS kecil, tetapi ada sumber-sumber dari menulis. Ya begitu itu, tanpa saya sadari waktu berjalan dan sampai setua ini saya terus di Yogya.” 

Ketika teman-teman, bahkan murid-muridnya, mencapai gelar doktor, Ashadi bergeming. “Orang selalu menanyakan mengapa saya tidak mengambil S-2 atau S-3,” ujarnya. “Bagi saya, pengetahuan hanya alat, instrumen. Seluruh titik tolak saya pada dasarnya bertolak dari passion, kecintaan saya pada sesuatu.” 

Oleh karena itu, tak tahu apa yang disesalinya. “Barangkali satu hal, saya tidak menyelesaikan kursus bahasa Jepang saya,” ujarnya. “Waktu tahu berapa jumlah aksara yang harus dipelajari untuk sampai bisa baca novel, saya pikir harus berapa tahun belajarnya ….” 

Dunia Ashadi penuh jusru karena ia menghidupi ketidakpenuhannya. “Tidak ada sesuatu yang saya kejar benar dalam hidup ini. Mengalir saja…” (MH)

Dinukil dari Koran Kompas, 18 Juli 2010
Oleh: Maria Hartiningsih



Posting Komentar

0 Komentar

Below Post Ad