JAM GADANG Bukittingi, para verdomseh menyebutnya klokkentoren alias menara lonceng, disebut² sebagai kembaran Jam Gadang di London. Perancang atau artisteknya Yazid Abidin Rajo Mangkuto orang Kota Gadang. Sedangkan kepala tukangnya Haji Moran dan dimandori oleh Sutan Gigi Ameh. Mereka bekerja membangun menara ini pada 1925–1927 atas inisiatif Hendrik Roelof Rookmaaker. Pak Hendrik ini jabatannya controleur atau Sekda kota Fort de Kock atau Bukittinggi.
Biaya pembangunannya bersumber di antaranya dari Pasar Fonds atau pajak pasar di seluruh Bukittinggi. Jumlahnya sekitar 15.000 Gulden di luar total biaya upah pekerja sebesar 6.000 Gulden. Data lain menyebut 21.000 Gulden. Taruh kata biayanya 15.000 Gulden, sekitar tahun itu 500 gulden bisa membeli sekitar 333,3 gram emas atau perkiraan 1 gram emas dijual 1,5 gulden. Jika dikalkulasi dengan kondisi hari ini di mana harga satu gram emas Rp2.396.000, maka biaya pembangunan Jam Gadang setara sekitar Rp23.957.604.000. (benar gak sih kali kali saya? 😃🙏)
Sebagai perbandingan, biaya haji tahun 1930an sekitar 500 gulden atau 700an juta. (Jadi, lebih mahal ONH zaman Belanda dibanding zaman sekarang).
Mungkin biaya itu belum termasuk harga jamnya. Karena jamnya merupakan hadiah dari Ratu Belanda Wilhelmina.
Ada empat jam dengan diameter masing-masing 80 cm pada Jam Gadang. Jam tersebut digerakkan secara mekanik oleh mesin yang didatangkan langsung dari Rotterdam, Belanda melalui pelabuhan Teluk Bayur.
Pada bagian lonceng tertera pabrik pembuat jam yaitu Vortmann Recklinghausen. Vortman adalah nama belakang pembuat jam, Benhard Vortmann, sedangkan Recklinghausen adalah nama kota di Jerman yang merupakan tempat diproduksinya mesin jam pada tahun 1892.
Awal dibangun pada zaman Hindia Belanda, atapnya berbentuk bulat dan menyerupai atap gereja dengan ornamen patung ayam jantan menghadap ke arah timur di atasnya. Bentuk ini konon sebagai sindiran agar orang Kurai, Banuhampu, sampai Sungai Puar bangun pagi apabila ayam sudah berkokok. Entahlah iya entah tidak, atau mungkin lelucon urang awak saja.
Lalu masa pendudukan Jepang, bentuk atap diubah menyerupai Kuil Shinto. Akhirnya tahun 1953, setelah Indonesia merdeka, atap diubah menjadi bentuk gonjong atau atap pada rumah adat Minangkabau, Rumah Gadang.
Yang paling aneh tentu saja angka jam 4 yang harusnya ditulis IV, karena semua angka ditulis dengan angka Romawi. Tapi khusus angka 4 tidak dibuat IV tapi angka I berderet sebanyak empat buah yakni IIII. Kenapa beda? Padahal di jam Big Ben London angka 4 tetap ditulis IV.
Ada banyak versi alasannya. Alasan pertama, Belanda tak mau pakai angka IV karena bagi Belanda IV berarti "I Victory" dan itu bisa memicu inspirasi pribumi untuk memberontak.
Alasan lainnya, ada yang mengatakan bahwa IV merupakan singkatan dari dewa IVPPITER. Jadi apabila angka IV diletakkan di dalam jam angka romawi, maka jam itu akan bertuliskan 1,2,3, Dewa IVPPITER, 5 dan orang Romawi tidak ingin hal itu terjadi. Belanda ngikut.
Lalu ada yang menyebut, angka IIII dibuat begitu untuk mengenang empat orang pekerja yang gugur saat pengerjaan.
Sementara alasan paling simpel, konon angka IIII dibuat agar terlihat seimbang saja.
Ketika berita proklamasi kemerdekaan Indonesia diumumkan di Bukittinggi, bendera merah putih untuk pertama kalinya dikibarkan di puncak Jam Gadang, setelah melalui pertentangan dengan pucuk pimpinan tentara Jepang. Pemuda yang memimpin massa untuk menaikkan pertama kali bendera merah putih di puncak Jam Gadang bernama Mara Karma, seorang wartawan asal Bukittinggi. Dia seumuran dengan Jam Gadang. (Oce)
Gambar:
Lukisan cat minyak dengan sapuan kuas tebal dengan teknik pisau palet. Gaya impresionis realistik ala pelukis Leonid Afremov, Gustave Caillebotte, Monet, atau Basuki Abdullah. Di bawah dilukis dgn gaya sketsa arsitektur.
#jamgadang #bukittinggi
APA PENDAPAT ANDA TENTANG TOPIK INI?: