Temu Penyair di Pasar Seni Jahiliyah



PADA zaman jahiliyah Ka'bah dipenuhi dengan syair-syair yang digantung pada dindingnya, yang biasa dikenal dengan nama mu'allaqat

'Mu'allaqat' secara bahasa memiliki makna ''sesuatu yang digantungkan''. Yang dimaksud di sini adalah sejumlah kumpulan syair-syair terbaik dari tujuh hingga 10 penyair Arab terkenal, pada masa jahiliyyah. Semua orang yang ada di dekat Ka'bah dapat mengetahui dan membacanya. 

Tujuh penyair Arab masa itu yang tenar adalah Imru'ul Qais, Tharafah bun Abdul Bakri, Zuhair bin Abi Sulma, Antarah bin Syaddad, Lubaid bin Rabi'ah al-Amiri, Amr bin Kultsum, dan Harist bin Hillizah.

Sebagian pakar sejarah mengatakan ada tiga penyair lainnya yaitu Nabaghoh, A'sya, dan Ubaid bin al Abrosh.

Era sebelum turunnya Al Qur'an masyarakat jahiliyyah sering mengadakan temu penyair (semacam festival sastra atau pasar seni)  secara periodik, mingguan, bulanan, bahkan tahunan. Di pasar seni ini para pujangga saling unjuk kemampuan dalam bersastra.

Di antara pasar seni yang paling bergengsi pada zaman jahiliyyah adalah Pasar Dzu al-Majaz, yang terletak di daerah Yanbu' (kini termasuk wilayah Madinah), Pasar seni Dzu al-Majinnah di sebelah barat Makkah, dan Pasar seni ‘Ukadz yang terletak di timur Makkah, antara Nakhlah dan Tha'if.

Di tiga tempat inilah  masyarakat jahiliyyah melangsungkan festival seni selama 20 hari, sejak bulan Dzulqaidah.

Di pasar ‘Ukadz para penyair berlomba mendendangkan karya-karya mereka di depan dewan juri yang terdiri dari sejumlah pujangga yang telah memiliki reputasi.

Karya-karya puisi yang dinyatakan sebagai yang terbaik akan ditulis dengan tinta emas di atas kain yang mewah, kemudian akan digantungkan di dinding Ka'bah

Contoh syair mereka masa itu seperti ini: 

"Malam bagaikan gelombang samudra menyelimutkan tirainya padaku, dengan kesedihan untuk membencanaiku, aku berkata padanya kala ia menggeliat merentang tulang punggungnya dan siap melompat menerkam mangsanya, wahai malam panjang kenapa engkau tidak segera beranjak pergi yang digantikan pagi yang tiada pagi seindah kamu, Oh… malam yang gemintangnya, bagaikan terjerat ikatan yang kuat.”


Menurut Ahmad Amin, pakar sejarah kebudayaan Islam, secara etimologi kata sya’ara/syair(شعر) mempunyai arti a’lima (mengetahui). Seperti kata sya’aratun bihi yang artinya a’limtu. Karena dalam bahasa arab syair memiliki arti al-I’lm (pengetahuan)

Al Qur'an mengalahkan syair-syair jahiliyah.

Al Qur’an datang tidak mengikuti jenis sastra mana pun. Ia bukanlah puisi, bukan khitabah (pidato), tidak pula menyerupai pepatah Arab (mastal), atau kata-kata hikmah seperti kebanyakan, sebagaimana yang biasa dicipta oleh orang-orang Arab jahiliyah.
 
Model kata-kata atau ayat-ayat Qur'an tidak dikenal di kalangan Arab jahiliyah, bukan yang seperti mereka dendangkan, dan bahkan para penyair masa itu terkaget-kaget ketika ada beberapa surat yang dibuka dengan huruf-huruf langka seperti "Nûn", "Yâ Sîn", "Alif Lâm Mîm", "Qâf". Buat mereka ini aneh dan menakjubkan karena di luar tradisi puisi, bukan pula prosa yang mereka kenal.
 
Nada dan langgamnya tidak seperti puisi, melainkan memiliki polanya sendiri. Rumit tapi indah. Sehingga tak ada yang bisa menirunya. Begitulah. 

(ditulis ulang dari beragam sumber)

Tags

Posting Komentar

0 Komentar

Below Post Ad