BAGI masyarakat Indonesia yang suka menyimak siaran Radio Australia siaran Bahasa Indonesia (RASI), tentu akrab dengan nama satu ini. Namanya Nuim Khaiyat. Suaranya dengan dialek Melayu Medan yang khas  menyapa pendengar radio Australia setiap hari.

Seringkali siaran Pak Nuim juga bisa disimak di rasio Delta FM. 

Nuim Mahmud Khaiyath memulai kariernya di bidang jurnalistik pada 1964 dengan bekerja di BBC'S Indonesian Service yang berpusat di London selama tiga tahun. Ia kemudian bergabung dengan Radio Australia Siaran Bahasa Indonesia (RASI) sejak 1967-1970. Pada 1970 ia pindah ke BBC London. Dua tahun kemudian (1972) ia kembali lagi ke RASI, dan sejak tahun 1998 ia dipercaya untuk memimpin RASI.

Ia populer dengan acara Sabtu Gembira (SAMBA), yang dibawakan dengan logat Melayu Medan. Acara tersebut disiarkan pula oleh Radio Delta FM setiap hari Sabtu pagi. Acara lain yang diasuhnya di RASI adalah PERSPEKTIF, dan Dunia Olahraga. Selain itu dia juga tampil dalam siaran lite 105.8 FM Jakarta, setiap Senin pagi dalam acara Postcard from Melbourne. Pengetahuannya yang luas membuatnya sangat populer di kalangan pendengar radio tersebut, sehingga ia mendapat julukan "Kamus Berjalan".

Beberapa waktu lalu, Nuim menerima undangan dari ABC Indonesia untuk hadir ke studio ABC Melbourne.

Kunjungannya ke kantor ABC Melbourne yang berada di kawasan Southbank menjadi yang pertama kalinya, sejak ia berhenti bekerja di tahun 2014.

Nuim mengaku tak ada alasan lain untuk tinggal di Melbourne, Australia, selain untuk bekerja bersama lembaga penyiaran publik Australia, ABC.

Tapi mengapa setelah berhenti bekerja, ia lebih memilih menghabiskan pensiun di Melbourne, ketimbang pulang ke tanah kelahirannya di Medan?

"Kalau orang Medan mengatakan tempat jatuh lagi dikenang, inikan pula tempat bermain," katanya kepada ABC Indonesia.

Pria kelahiran tahun 1938 tersebut mengaku menjadi pilihan yang berat untuk meninggalkan Melbourne.

"Ketika masih kerja di RASI, saya bayar pajak lebih dari AU$ 30.000 per tahun, jadi saya ikut membantu pemerintah [Australia]," katanya.

Kini setelah tak bekerja lagi, Nuim merasa giliran pemerintah Australia membantunya, karena sebagian pengeluarannya ditanggung oleh pemerintah Australia.

Nuim bekerja untuk ABC selama lebih 40 tahun dan ia merasa keberadaannya sebagai warga Indonesia di Australia telah "memanfaatkan dan dimanfaatkan".

Ia menjelaskan salah satu misi RASI adalah untuk saling memperkenalkan dua bangsa dan berharap bisa memberikan rasa saling pengertian.

"Kami memberikan penjelasan kepada masyarakat di Australia mengenai Indonesia dan dalam kasus tertentu mengenai Islam," ujar Nuim.

"Kemudian kepada para pendengar Radio Australia di Indonesia, kami mencoba memberikan penerangan, keterangan, penjelasan, mengenai keadaan yang sebenarnya di Australia."

Nuim mengaku merasa beruntung pernah menjadi wartawan saat rezim Orde Baru di bawah pimpinan Suharto berkuasa.

Tentu ada tantangan dan kekhawatiran saat memberitakan laporan yang tidak diinginkan pemerintah untuk didengar rakyatnya saat itu.

"Tapi dalam setiap pemberitaan kita menyiarkan tanpa rasa takut dan tanpa pilih kasih," tegas Nuim.

Banyak warga Indonesia yang menyukai RASI saat itu, menurut Nuim, karena selalu mampu melaporkan pemberitaan yang "cepat dan tepat" tanpa melewati filter atau sensor, seperti media-media lainnya di Indonesia saat itu.

"Kita memberitahu kepada rakyat Indonesia apa yang tidak mereka dengar dari pemerintah Indonesia, karena banyak kejadian di Indonesia yang oleh pemerintah waktu itu tidak ingin disampaikan kepada rakyatnya."

Rezim Orde Baru merasa terancam, karena mereka tidak mampu memblokir siaran-siaran luar negeri seperti dari RASI lewat gelombang pendek, tambahnya.

RASI menghentikan siarannya karena terus-menerus mengalami pemotongan anggaran dan kini hanya menyediakan layanan digital dengan nama ABC Indonesia.

Tak ada yang menyangka jika Nuim pernah tinggal secara ilegal di Arab Saudi, kampung halaman ayahnya.
Ia bahkan pernah menjadi tenaga kerja selama berada di sana, termasuk menjadi guru bahasa Inggris.




Namun karena tidak punya izin menetap ia dipulangkan ke Indonesia.

Lulusan Fakultas Sastra dari Universitas Islam Sumatera Utara ini kemudian sempat menjadi dosen, sebelum akhirnya mendapat tawaran menjadi penyiar RASI di Melbourne.

"Saya sempat juga jadi penyiar BBC, tapi saya lebih suka Melbourne daripada London, jadi tak lama disana dan kembali ke RASI."

"Rumah dalam hati saya itu ada dua, di Indonesia dan di Melbourne, meski saya bergaul dengan orang australia, saya tetap mempertahankan ciri-ciri saya sebagai orang Indonesia."

Karenanya, Nuim menolak untuk menyelipkan kata-kata Bahasa Inggris saat berbicara dalam Bahasa Indonesia.

Anak bungsu dari 8 bersaudara ini mengaku kedua orang tuanya adalah yang paling berjasa dalam hidupnya hingga bisa menjadi wartawan di luar negeri, meski bukan mimpinya saat kecil.

"Karena orang tua itu memberi bekal, selain dari bekal agama dan lain sebagainya, ayah mengatakan untuk hidup senang jangan cerewet," ujarnya.

"Nomer dua, sukai apa yang engkau kerjakan, jangan kerjakan apa yang engkau sukai, nanti susah," tambahnya. (*)


Sumber ABC dan Wikipedia