Inilah Para Istri Nabi Muhammad



NABI Muhammad SAW sebagai utusan terakhir Allah, memiliki keistimewaan tersendiri, dan Allah SWT menganugerahkan kepada beliau istri-istri sebagai pendamping hidup, juga menjadi contoh keteladanan bagi umat Muslim. Dalam hidupnya, Nabi Muhammad menikahi sejumlah wanita. Ada 11 istri Beliau.

Semua istri Beliau tidak hanya memainkan peran penting dalam kehidupan pribadinya, tetapi juga dalam perkembangan Islam. Mereka adalah;

1. Khadijah binti Khuwailid
2. Saudah binti Zam’ah
3. Aisyah binti Abu Bakar
4. Hafshah binti Umar
5. Zainab binti Jahsy
6. Ummu Salamah
7. Maria al-Qibtiyah
8. Safiyyah binti Huyay
9. Juwairiyah
10. Ummu Habibah binti Abu Sofyan
11. Maimunah binti Harits

Mari kita mengenal lebih dekat istri-istri Nabi Muhammad dan peran mereka dalam sejarah Islam;

Buku-buku sirah dan biografi banyak berisi penjelasan tentang para istri Rasûlullâh, akan tetapi alangkah bagusnya bila kita memberikan sedikit penjelasan tentang mereka walaupun dalam bentuk yang sangat ringkas.

Jumlah istri-istri Rasûlullâh adalah sebelas orang, dua di antara mereka meninggal dunia saat Beliau masih hidup, adapun sisanya (sembilan orang) masih hidup tatkala Beliau wafat. Berikut penjelasan singkat tentang mereka:

1. Khadîjah binti Khuwailid al-Quraisyiah al-Asadiyah

Rasûlullâh menikahinya sebelum diangkat menjadi Nabi  saat berumur 25 tahun dan umur Khadîjah saat itu 40 tahun. Nabi tidak menikah lagi dengan wanita lain sampai Khadîjah wafat. 

Semua anak Rasûlullâh didapatkan dari Khadijah kecuali Ibrahim Radhiyallahu anhu. Ibrahim merupakan anak yang Rasûlullâh dapatkan dari Mariyah Qibtiyyah. Khadîjahlah yang menemani Rasûlullâh di saat Beliau diangkat menjadi Nabi. Dia juga berjihad bersama Nabi dengan harta dan jiwanya. Khadîjah meninggal dunia tiga tahun sebelum Hijrah Rasûlullâh ke Madinah.

Di antara keutamaan Khadîjah:
a. Allâh mengirimkan salam kepadanya melalui Malaikat Jibril  lalu Nabi menyampaikan salam tersebut kepada Khadîjah. Imam al-Bukhâri dan Imam Muslim meriwayatkan hadits ini dari Sahabat Abu Hurairah:

أَتَى جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذِهِ خَدِيجَةُ قَدْ أَتَتْكَ وَمَعَهَا إِنَاءٌ فِيهِ إِدَامٌ أَوْ طَعَامٌ أَوْ شَرَابٌ، فَإِذَا هِيَ أَتَتْكَ فَاقْرَأْ عَلَيْهَا السَّلَامَ مِنْ رَبِّهَا عَزَّ وَجَلَّ وَبَشِّرْهَا بِبَيْتٍ فِي الْجَنَّةِ مِنْ قَصَبٍ، لَا صَخَبَ فِيهِ، وَلَا نَصَبَ

Jibril mendatangi Nabi dan berkata, "Wahai Rasûlullâh! Ini Khadîjah telah berjalan menuju kepadamu seraya membawa lauk atau makanan atau minuman. Apabila dia telah sampai kepadamu maka sampaikanlah padanya salam dari Rabbnya dan dariku! Dan berilah kabar gembira padanya dengan sebuah rumah di surga yang terbuat dari qashab (perak) tidak ada kegaduhan (suara-suara keras) di dalamnya tidak ada pula rasa lelah (payah)".

b. Khadijah tidak pernah menyakiti dan membuat Rasûlullâh marah. Rasûlullâh tidak pernah menghardik, mencela, tidak pula memboikotnya.
c. Khadijah adalah wanita pertama yang beriman dengan Allâh dan Rasulnya dari ummat ini.

2. Saudah binti Zam’ah bin Qais al-Qurasyiah

Setelah Khadîjah wafat, Rasûlullâh menikah dengan Saudah binti Zam’ah bin Qais al-Quraisyah. Rasûlullâh pernah akan mentalaknya, akan tetapi Saudah memberikan hari yang menjadi bagiannya (jatahnya bersama Rasûlullâh) kepada Aisyah, sehingga Rasûlullâh mengurungkan niatnya untuk mentalaknya. Ini merupakan salah satu keutamaan Saudah. Ia memberikan bagiannya kepada orang yang dikasihi oleh Rasûlullâh dalam rangka mendekatkan diri kepada Rasûlullâh, dan sebagai bukti cintanya kepada Rasûlullâh serta mengutamakan kedudukan Aisyah di sisi Rasûlullâh. Terkadang Nabi memberikan bagian (dari ghanîmah) kepada para istrinya yang lain, sedangkan Saudah tidak Beliau  beri bagian, akan tetapi Saudah ridha dengan hal itu semua. Ia lebih mementingkan ridha Rasûlullâh. Saudah meninggal di akhir masa kekhilafahan Umar bin Khattab, semoga Allâh meridhai mereka berdua, dan meridhai semua Sahabat.

3. Aisyah binti Abu Bakr

Rasûlullâh menikahi Aisyah binti Abu Bakr as-Shiddiq pada bulan Syawal dua tahun sebelum hijrah ke Madinah. Ada juga yang mengatakan bahwa ia dinikahi tiga tahun sebelum hijrah, ketika itu Aisyah  berumur enam tahun. Kemudian ia hidup serumah dengan Rasûlullâh di awal-awal kedatangan di Madinah pada tahun pertama hijriyah, saat itu Aisyah telah berumur sembilan tahun (riwayat lain menyebut sekitar usia 17-19).

Sebelum Rasûlullâh menikahi Aisyah, Malaikat pernah menampakkan Aisyah kepada Nabi dalam mimpinya dengan berbalut kain sutra. Disebutkan dalam Shahîh al-Bukhâri dan Muslim dari Aisyah:

أُرِيتُكِ فِي الْمَنَامِ مَرَّتَيْنِ أَرَى أَنَّكِ فِي سَرَقَةٍ مِنْ حَرِيرٍ وَيَقُولُ هَذِهِ امْرَأَتُكَ فَاكْشِفْ عَنْهَا فَإِذَا هِيَ أَنْتِ فَأَقُولُ إِنْ يَكُ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ يُمْضِهِ

"Tahukah kamu? Kamu sudah diperlihatkan kepadaku dalam mimpi sebanyak dua kali. Aku melihat seorang laki-laki datang membawamu dengan berbalut sepotong kain sutra, kemudian laki-laki itu berkata, ‘Ini adalah istrimu, maka singkaplah (hijab)nya.’ Ternyata wanita itu adalah kamu. Lalu Aku mengatakan, ‘Jika ini memang dari Allâh, maka pasti Dia akan menjalankannya.”

Di antara keistimewaan Aisyah adalah ia merupakan istri yang paling dicintai oleh Rasûlullâh, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhâri dan Muslim, tatkala nabi ditanya oleh ‘Amr bin al’Ash:

أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ قَالَ عَائِشَةُ فَقُلْتُ مِنْ الرِّجَالِ فَقَالَ أَبُوهَا قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَعَدَّ رِجَالًا

Siapakah orang yang paling Anda cintai? Beliau menjawab, ‘Aisyah.’ Kemudian aku bertanya, ‘Dari kaum laki-laki?’ Beliau menjawab, ‘Bapaknya Aisyah.

Rasûlullâh tidak pernah menikahi gadis selain Aisyah. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhîri dari Aisyah, "Saya berkata kepada Rasûlullâh, ‘Ya Rasûlullâh, seandainya engkau mampir di sebuah lembah yang berisi sebuah pohon yang sebagian buahnya telah dimakan, dan sebuah pohon yang buahnya belum dimakan sama sekali, maka di manakah kamu akan melepaskan (mengikatkan) untamu? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Pada pohon yang belum dijamah.’

Maksud Aisyah adalah Rasûlullâh tidak pernah menikahi gadis selain dirinya.

Rasûlullâh pernah menerima wahyu sementara saat itu  sedang berada dalam satu selimut bersama Aisyah. Ini tidak pernah terjadi dengan istri-istri  yang lainnya. Dalam hadits yang shahih, dari Nabi bersabda:

يَا أُمَّ سَلَمَةَ لَا تُؤْذِينِي فِي عَائِشَةَ فَإِنَّهُ وَاللَّهِ مَا نَزَلَ عَلَيَّ الْوَحْيُ وَأَنَا فِي لِحَافِ امْرَأَةٍ مِنْكُنَّ غَيْرِهَا

Wahai Ummu Salamah! Jangan kamu menyakitiku pada diri Aisyah, karena demi Allâh tidak pernah wahyu turun kepadaku di saat aku berada di dalam selimut salah seorang di antara kalian selain Aisyah.

Keutamaan Aisyah yang lainnya, Allâh membersihkannya dari tuduhan dan fitnah keji yang dilontarkan oleh para pendusta yang menuduh Aisyah berzina. Allâh menurunkan ayat yang berkenaan dengan bersihnya Aisyah dari tuduhan tersebut, sebuah ayat yang akan terus dibaca oleh kaum Muslim baik dalam shalat ataupun di luar shalat sampai hari kiamat. Allâh juga memberikan persaksian bahwa Aisyah termasuk wanita yang baik. Allâh juga berjanji akan memberikan pengampunan dan rezeki yang sangat mulia. Tentang ini, Aisyah berkata dengan penuh ketawaduan, “Sungguh kedudukan pada diriku lebih rendah dari pembicaraan Allah Azza wa Jalla mengenai aku dengan suatu perkara yang akan dibaca (al-Qur’an)”

Aisyah merupakan istri Nabi yang paling faqih (paling paham tentang agama) dan yang paling banyak ilmunya dibandingkan dengan istri-istrinya yang lain, bahkan Aisyah lebih faqih dari semua wanita ummat ini secara mutlak. Para pembesar Sahabat  menjadikan Aisyah sebagai rujukan dan meminta fatwa kepada dia.

Rasûlullâh meninggal dunia di rumah Aisyah, pada hari yang menjadi giliran Aisyah, meninggal di pangkuan Aisyah dan dikuburkan di rumah Aisyah.

Aisyah meninggal dunia di Madinah pada tahun 58 hijrah dan dimakamkan di pekuburan Baqi’. Sebelum meninggal, ia sempat berwasiat agar dishalatkan oleh Abu Hurairah.

Para Ulama berbeda pendapat tentang masalah siapakah yang lebih utama antara Khadîjah dan Âisyah. Di antara mereka ada yang berpendapat Aisyah lebih utama, sebagian yang lain berpendapat Khadîjah lebih utama, ada juga yang memilih diam.

Ibn Qayyim mengatakan, “Saya pernah bertanya pada guru kami Ibnu Taimiyah rahimahullah, beliau menjawab, ‘Masing-masing dari mereka berdua memiliki keistimewaan. Khadîjah memiliki pengaruh kuat di awal-awal Islam. Beliaulah yang menghibur, menguatkan dan menenangkan Rasûlullâh. Khadijah menginfakkan hartanya dalam rangka membantu dakwah Rasûlullâh , sehingga beliau mendapat ghurratal (cahaya di akhirat) Islam. Khadijah bersabar menanggung derita demi membela Allah dan Rasul-Nya. Pertolongan Kjadijah untuk Rasûlullâh datang tepat pada waktu yang sangat dibutuhkan.

4. Hafshah binti Umar bin Khattab

Rasûlullâh menikahi Hafshah binti Umar bin Khattab pada tahun ke-3 Hijrah. Sebelum menikah dengan Rasûlullâh Hafshah pernah menjadi istri Khunais bin khuzafah yang merupakan salah seorang Sahabat Rasûlullâh yang pernah ikut serta dalam perang Badar. Hafshah bin Umar al-Khatthab meninggal dunia pada tahun ke-27 atau ke-28 hijrah.

5. Zainab binti Jahsyi

Selanjutnya, Rasûlullâh menikahi Zainab binti Jahsyi dari Bani Asad bin Khuzaimah. Zainab  merupakan anak dari bibi Rasûlullâh yang bernama Amimah bintu ‘Abdil Muttalib. Sebelum menikah dengan Rasûlullâh, Zainab menjadi istri Zaid bin Hâritsah, salah seorang bekas budak Rasûlullâh. Setelah Zaid menceraikan Zainab, Allâh menikahkan Zainab dengan Rasûlullâh langsung dari atas tujuh lapisan langit dan Allâh Azza wa Jalla menurunkan ayat-Nya:

فَلَمَّا قَضَىٰ زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا

Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia [Al-Ahzâb/33:37]

Kemudian Rasûlullâh berdiri dan masuk ke tempat Zainab tanpa meminta izin. Zainab membanggakan dirinya di hadapan para Istri Rasûlullâh yang lain seraya berkata, “Kalian dinikahkan oleh keluarga-keluarga kalian, sedangkan aku dinikahkan langsung oleh Allâh dari atas tujuh lapisan langit.“

Ini termasuk salah dari keistimewaan Zainab binti Jahsyi.

Ia meninggal dunia pada tahun 20 hijrah, dan dimakamkan di pekuburan al-Baqi’. Zainab adalah istri Nabi yang paling awal meninggal dunia setelah Rasûlullâh wafat. Diriwayatkan dari Â’isyah, ‘Rasûlullâh bersabda:

أَسْرَعُكُنَّ لِحَاقًا بِي أَطْوَلُكُنَّ يَدًا . قَالَتْ عَائِشَةُ : فَكَانَتْ أَطْوَلَنَا يَدًا لِأَنَّهَا تَعْمَلُ بِيَدِهَا وتَتَصَدَّقُ

Yang paling cepat di antara kalian yang menyusulku (meniggal dunia) adalah yang paling panjang tangannya.’ 

Âisyah berkata, "Zainab adalah istri Beliau yang paling panjang tangannya, karena dia sering bekerja dan banyak bersedekah dengan tangannya."

Zainab dijuluki Ummul Masâkin (ibunda kaum miskin) karena sering memberi makan kepada orang-orang miskin.

6. Ummu Salamah

Rasûlullâh menikah dengan Ummu Salamah yang bernama Hindun binti Abi Umayyah bin al-Mughirah al-Quraisyah al-Makhzûumiyah. Rasûlullâh menikahinya pada tahun ke-4 hijrah.

Ada yang mengatakan bahwa Ummu Salamah adalah istri Rasulûllâh yang terakhir meninggal dunia. Ia meninggal pada tahun 62 hijrah dan dikuburkan di pekuburan al-Baqî’. 

Di antara keutamaan Ummu Salamah adalah ketika Jibril pernah datang kepada Nabi  sedangkan Ummu Salamah sedang ada bersama Rasûlullâh sehingga ia bisa melihat malaikat Jibril dalam rupa salah seorang Sahabat yang Dihyah al-Kalbi. Disebutkan dalam Shahîh Muslim dari Abu Utsman, ia berkata, ”Aku dikabari bahwasanya Jibril mendatangi Nabi sementara di samping Beliau ada Ummu Salamah. Ia berkata; kemudian Jibril mulai berbicara dengan Rasûlullâh lalu pergi, kemudian Rasûlullâh bertanya kepada Ummu Salamah Radhiyallahu anha, Siapakah dia?”

7. Mariyah al-Qibthiyah

Mariyah al-Qibthiyah adalah salah satu istri Nabi Muhammad SAW. Ia berasal dari Mesir dan merupakan seorang budak yang dihadiahkan oleh penguasa Mesir, Muqawqis, kepada Nabi. Nabi kemudian membebaskan dan menikahinya. Mariyah juga dikenal sebagai ibu dari putra Nabi, Ibrahim. 

Berikut beberapa poin penting mengenai Mariyah al-Qibthiyah:

- Asal Usul: Mariyah adalah seorang wanita Koptik dari Mesir, keturunan Suku Qibti. 

- Hadiah dari Muqawqis: Muqawqis mengirimkan Mariyah dan saudara perempuannya, Sirin, sebagai hadiah untuk Nabi Muhammad setelah menolak ajakan memeluk Islam. 

- Pernikahan dengan Nabi: Nabi Muhammad menikahi Mariyah setelah menerima hadiah tersebut. 

- Ibu dari Ibrahim: Mariyah melahirkan putra Nabi yang bernama Ibrahim, namun sayangnya Ibrahim meninggal dunia saat masih kecil. 

- Perlakuan Istri-istri Nabi: Kehadiran Mariyah sempat menimbulkan kecemburuan di antara istri-istri Nabi lainnya, sehingga Nabi memindahkan tempat tinggal Mariyah. 

- Wafat: Mariyah wafat pada tahun 16 H (637 M), beberapa tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad. 

8. Juwairiyyah bin al-Hârits bin Abi Dhirar

Kemudian Rasûlullâh menikahi Juwairiyyah bin al-Hârits bin Abi Dhirar al-Mustaliqiyah. Dia merupakan tawanan pada perang Bani Musthaliq dan masuk dalam bagian (ghanîmah) Tsâbit bin Qais. Tsâbit bin Qais  membebaskannya dengan syarat dia harus membayar sejumlah uang. Rasûlullâh melunasinya lalu menikahinya pada tahun keenam hijriah. Juwairiyyah  meninggal dunia pada tahun 56 H.

Di antara keutamaan Juwairiyah   adalah kaum Muslim membebaskan seratus budak dan tawanan yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan Juwairiyyah ketika mereka tahu ia dinikahi Rasûlullâh. Para Sahabat mengatakan bahwa para tawanan itu telah menjadi saudara-saudara ipar bagi Rasûlullâh.

Ini merupakan salah satu berkah Juwairiyah Radhiyallahu anha untuk kaumnya.


9. Ummu Habîbah, Ramlah binti Abi Sufyân Shakhr bin Harb

Istri Nabi selanjutnya adalah Ummu Habîbah yang bernama Ramlah bintu Abi Sufyân Shakhri bin Harbi al-Quraisyi al-Umawiyah. Ada yang mengatakan bahwa nama Ummu Habîbah adalah Hindun. Rasûlullâh menikahinya saat Ummu Habibah sedang berhijrah di negeri Habasyah. Raja Najasyi memberikan kepadanya empat ratus dinar sebagai mahar dari Rasûlullâh. Kemudian ia dibawa dari Habasyah menuju Rasûlullâh di Madinah. Ummu Habîbah Radhiyallahu anha meninggal dunia di masa kepemimpinan saudaranya yang bernama Mu’âwiyah bin Abi Sufyân.

10. Shafiyah binti Huyai bin Akhtab 

Pada tahun ketujuh hijriyah Rasûlullâh menikah dengan Shafiyah bintu Huyai bin Akhtab, tetua bani Nadhir dari keturunan Nabi Hârûn bin Imrân saudara Nabi Musa. Dia termasuk wanita paling cantik di dunia ini. Pada awalnya dia adalah seorang budak (dari tawanan perang) kemudian Rasûlullâh menikahinya dengan mahar dibebaskan atau dimerdekakan dari status budak. Ini termasuk bagian dari keutamaannya.

11. Maimunah binti al-Hârits al-Hilaliyah

Kemudian Rasûlullâh menikahi Maimunah bintu al-Hârist al-Hilaliyah pada tahun ketujuh hijrah setelah umrah qada’. Ia adalah wanita terakhir yang dinikahi Rasulullâh. Ia meninggal di daerah Saraf pada tahun 63 H di masa kekuasaan Mu’âwiyah.

( Disarikan kembali dari tulisan Prof. Dr. Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad Al-Badr di Majalah As-Sunnah Edisi 03-04 - 2014)

Bila Anda punya informasi lain terkait topik artikel ini silakan tuliskan di kolom komentar. Terimakasih
Tags

Posting Komentar

0 Komentar

Below Post Ad