Oleh H Basril Djabar

PERS di Padang panas-panas dingin, karena Harian Tribun (Kompas Grup) akan membuka kantor di Padang. Beredar cerita harganya satu eksamplar seribu perak, bandingkan dengan koran lokal yang Rp3500 dan Rp4000 per eksamplar. Pasar sempit, pemain banyak, kini datang raksasa bernama Kompas. 

Saya tak takut berhadapan dengan Kompas. Jakob Oetama (JO) adalah sahabat, karena itu mesti ditemui, jika ia sendiri bicara kepada saya bahwa Kompas Grup akan masuk Padang, maka saya baru percaya. Kemudian Pemred Singgalang Khairul Jasmi (KJ) kontak-kontak dengan wartawan Kompas di Jakarta, Yurnaldi. Waktu itu awal Januari 2010,  saya dapat telepon dari Naldi tentang pesan saya untuk ditolong agar bisa bertemu dengan Jakob. Sebentar saja, tanggal pertemuan sudah didapat, maka saya pun terbang ke Jakarta dengan Bung KJ. 

Esoknya pada pukul 10.00 saya dan KJ ditunggu Yurnaldi dan terus ke lantai 6 ruang kerja pak JO di kantornya, Kompas Gramedia Jalan Pal Merah.

"Jangan lama-lama ya Pak, kondisi beliau kurang sehat," kata sekretaris JO kepada saya.

"Ya nanti tergantung Pak Jacoblah," jawab saya.

Kami masuk ke ruang kerja JO nan lega. Ia sambut kami dengan keramahan dan bahasa yang halus.
"Hai Bung gimana kabar," sapanya sembari mempersilahkan duduk. Di kalangan pers, panggilan Bung sudah sangat lazim.

"Baik Mas," jawab saya sembari memperkenalkan Bung KJ. 

Lalu, JO berkisah tentag Sumatera Barat kepada kami orang Sumatera Barat. Sudah lama ia kagum pada provinsi yang satu ini, kesannya begitu mendalam, terutama pada bapak-bapak bangsa yang urang awak. Sebelum dan sesudah Proklamasi, ia lapazkan nama-nama tokoh itu dengan fasih dan hampir tidak ada yang tercecer. Lalu ia bercerita pula tentang ekonomi Sumatera Barat.

Ceritanya tentang kebudayaan dan budayawan serta sastrawan Minangkabau malah lebih mendalam. Ia menghormati para sastrawan, seperti AA Navis. Tentu saja kami kagum atas pengetahuannya yang luas.

"Wak bali se galeh Pak JO ko lu," bisik saya sama KJ. 

Dan, 30 menit berlalu, saya mulai mambantangkan lapiak tentang kondisi media cetak saat ini di Padang. Saat kami bertemu itu, Mas JO masih menduduki posisi Ketua Dewan Pertimbangan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) dan saya wakilnya. Kantor SPS ada di gedung Dewan Pers Jalan Kebon Sirih. Di sini juga berkantor PWI pusat.

"Bagaimana Singgalang Bung?" Dalam sepersekian detik, komunikasi isyarat saya dan KJ selesai, maka mulailah ""mission impossible" kami.

Kemudian saya ceritakanlah bagaimana kondisi Singgalang dan pandangan saya atas kondisi rata-rata pers daerah. Hampir semuanya  sudah berafiliasi dengan media-media besar nasional seperti Kompas, Jawa Pos, Media Indonesia dan Bisnis Indonesia. Yang non afiliasi tersisa tak seberapa seperti Singgalang dan Haluan di Padang, Pikiran Rakyat di Bandung, Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta, Suara Merdeka di Jateng dan lainnya. Kondisi ini menunjukkan, pers daerah sudah "sekarat" dan mendapat infus dari pers yang sehat. Yang non afiliasi mencoba bertahan dengan mencoba konvergensi, menghadirkan media lainnya dalam grup seperti Singgalang, dengan radio Sushi dan singgalangonline. Agak lama terdiam, dan dalam waktu diam itu saya langsung ke pokok masalah.

"Apa benar Mas JO mau masuk Sumbar?"

Tak ada jawaban, ia malah memutar kursinya agak serong, memencet bel dan sekretarisnya segera masuk. JO minta agar dihadirkan wakilnya, Mas Agung dan Koordinator Kompas wilayah Sumatera, Herman Darmo. Tak lama benar, kedua tokoh penting Kompas itupun masuk.

"Mas Agung dan Pak Herman, ini Bung Basril dan bung KJ dari Singgalang Padang datang pada kita dan barusan tanya saya apakah kompas mau masuk sumbar.Saya sengaja undang bung berdua untuk ikut pembicaraan ini dan mendengar langsung semuanya."

Lalu saya lanjutkan uraian tentang kondisi pers di Padang. Saya paparkan tentang kesanggupan Singgalang dan media yang lain di Sumbar untuk sarana komunikasi sesuai missi media pers dalam  mendukung pembangunan, pemerintahan dan bidang kemasyarakatan dalam arti yang luas baik ekonomi,sosial, seni dan kebudayaan.

"Nah begitulah kondisi kami di Sumbar, jadi saya minta Mas JO agar Kompas Grup jangan masuk Sumbar karena kue yang ada sangat kecil, tidak elok kalau Kompas ikut berebut pula, jelas akan mempersulit pers di Padang," kata saya. 

Oh ya, yang dimaksud dengan "masuk Padang" itu bukan Kompas dan Tribun beredar di Padang, tapi ada koran baru terbit di Padang, namanya Tribun. Tribun itu, milik Kompas, harga jualnya seribu perak, bahkan ada yang perai 3 bulan. Pers Padang tak sanggup melawan gaya bisnis seperti itu, akan sanggup kalau harga jualnya sama.

Terjadi dialog antara kami berlima dan saya melihat Pak Herman Darmo keningnya berpeluh karena dia tidak mau terdorong bicara mengingat Mas JO selalu bicara kedekatan kami dan simpati serta hormatnya pada tokoh- tokoh Minangkabau. Mereka hanya bicara seperlunya tapi tidak menyinggung substansi pembicaraan.

"Kalau soal Padang GIMANA PAK JACOB SAJA, " kata mereka berdua.  Saya lirik KJ yang rupanya sedang senyum manis seakan-akan menangkap apa yang akan diputuskan mas JO. Lalu JO memandang ke mata saya dan saya langsung nyeletuk.

"Sumbar itu secara bisnis tak ada artinya bagi Kompas," kata saya.

"Bung Basril, saya sangat hargai kunjungan ini dan saya menerima sepenuhnya argumen-argumen yang Bung ajukan dan MEMANG SEBAIKNYA KOMPAS TIDAK PERLU KE SUMBAR. Saya bicara ini di depan dan disaksikan Bung Agung sebagai wakil saya dan Bung herman Darmo selaku koordinator  Kompas di daerah," kata JO.

Saya dan KJ tercenung mendengar kata-kata Mas JO tersebut dan spontan kami berdua berdiri dan memberi salam hormat.

Saya selalu hormat dan kagum pada JO sebagai tokoh pers dan tokoh bisnis indonesia, saya peluk dia dan dia merasakan bahwa apa yang dia berikan sebentar tadi sesuatu yang sangat berharga dan tidak ternilai.

Karena yang dipinto alah dapek dan saya melihat pada arloji, sudah pukuk 11.30. Itu berarti kami sudah 1.5 jam bertemu. Kami tidak duduk lagi dan saya bilang pada Mas JO bahwa sekretaris mas JO pasti marah karena saya terlalu lama mengambil waktu. Kami langsung pamit dan JO ikut mengantar kami. Saya kira hanya sampai di pintu lift saja, tapi ternyata beliau mengantar kami ke lobby kantor Harian Kompas. Waktu menuju mobil karena saya bawa sendiri, adinda Naldi langsung gabung dan kami bersama terus makan siang di hotel mulia membahas pembicaraan tadi dan Naldi bilang sanbat surprise karena sebagai orang Kompas Naldi tahu persiapan Kompas masuk Sumbar itu sudah perfect sekali.

Setahun sesudah pertemuan itu ada kongres SPS dan mas JO diminta tetap sebagai ketua dewan pertimbangan. Yang meminta Ketua Umum SPS, mas Dahlan Iskan. Dia keberatan sebab sudah dua periode.

"Kalau begitu sebutkan satu nama, untuk pengganti," kata Dahlan.

"Basril Djabar," jawab JO. Saya tak bisa mengelak.

Dan kemarin saya mendapat kabar mengejutkan, JO telah pergi untuk selamanya. Selamat jalan sahabatku yang baik, semoga semua kebaikan engkau jadi amalmu untuk mengantar mas JO ke surga (*)

Catatan: Oetama meninggal dunia pada tanggal 9 September 2020, bertepatan di perayaan ulang tahun ke-9 Kompas TV, di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta dan disemayamkan di Gedung Kompas Gramedia. Pemakaman kenegaraan dilangsungkan pada tanggal 10 September 2020 di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata.