Oce Satria
DALAM keseharian pekerjaan mengedit tulisan kolega, saya hampir tak pernah tidak menemukan penggunaan kata tertentu yang -- selama ini -- dicap salah karena kata tersebut dianggap kata tidak baku menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Kadang-kadang muncul omelan, "Bodoh!" bila mendapati ada kata yang 'salah' ditulis.
Kita dalam keseharian baik dalam pengucapan maupun penulisan, menemukan berbagai kata yang masuk kelompok kata baku-tidak baku, seperti;
1. Capek: (tidak baku) - Capai (baku)
2. Cenderamata: (tidak baku) - Cinderamata (baku)
3. Cemilan: (tidak baku) - Camilan (baku)
4. Sekedar (tidak baku) - Sekadar (baku)
5. Sholat (tidak baku) - Salat (baku)
6. Cengkeh: (tidak baku) - Cengkih (baku)
7. Antre: (baku) - Antri (tidak baku)
8. Agamis: (tidak baku) - Agamais (baku).
Karena dianggap tidak baku (tak sesuai KBBI) maka kita akan mencoret sebuah kata dan mengatakan, kata yang digunakan salah karena menyelisihi KBBI.
Anggapan atau bahkan tindakan kita menghukumi sebuah kata salah atau benar berdasar KBBI, sebenarnya tidaklah "salah-salah benar" (salah amat). Karena begitulah kita diberi pemahaman oleh pengetahuan bahasa tentang 'berbahasa Indonesia yang baik dan yang benar'. Wajib sesuai KBBI, kalau tidak maka Anda salah!
Namun, pada kenyataannya kita hidup dalam dinamika perkembangan sosial dan teknologi. Atau dalam istilah di Minang dikatakan 'manusia bakakambangan, alam bakalebaran' yang bermakna dunia ini dinamis, selalu berubah. Kata juga mengalami perkembangan, perubahan makna, perubahan susunan huruf berdasar pengucapan. Tak bisa dielakkan.
Lalu kembali ke soal penggunaan kata dalam percakapan atau penulisan. Soal baku-tidak baku, salah-benar. Pakar bahasa boleh saja bersitungkin memperjuangkan ide pemakaian bahasa baku, namun praktek berbahasa dalam kehidupan sehari-hari, tak bisa diharapkan mendekati ide itu. Sederhananya, bahasa itu milik bersama, milik komunitas, dan milik pribadi. Tiga-tiganya bebas disampaikan dengan syarat bisa dimengerti, baik dalam ruang formal atau informal.
Mau sesuai KBBI atau tidak yang penting orang mengerti. Itu saja.
Kadang-kadang orang terlalu berlebihan menjadikan KBBI bak KUHP. Karena sebenarnya KBBI sesuai singkatannya hanyalah kamus besar, bukan kamus benar. KBBI hanya mencatat. Ia hanya sebagai pedoman saja (bila ingin berbahasa Indonesia dengan baku). Artinya, tidak baku bukan berarti tidak benar.
Mengapa demikian? Karena dalam perjalanannya sampai pada edisi ke-6 yang diluncurkan dua tahun lalu, KBBI juga tak lepas dari kritik. Kamus ini telah dikritik karena terlalu selektif, dan mengeluarkan kata-kata yang umum digunakan.
Menarik mengutip tulisan Dr. Nikolaos van Dam, mantan Duta Besar Belanda di Indonesia, pernah menulis tentang KBBI di Jakarta Post dengan judul "A Sophistication Unfolds in a New Dictionary" seperti ini;
Kata-kata asing tertentu sedang dalam proses asimilasi ke dalam bahasa Indonesia, meskipun belum sepenuhnya mengikuti kaidah tata bahasa. Sukses, misalnya, pada awalnya diserap menjadi mensukseskan ("membuat berhasil"), mempertahankan "s", alih-alih diubah menjadi menyukseskan. Semakin banyak orang merasa nyaman menggunakan kata serapan seperti itu seolah-olah itu adalah kata asli, semakin banyak bentuk yang terakhir dapat digunakan. Meskipun mensukseskan masih umum digunakan, termasuk dalam pidato resmi termasuk di tingkat presiden, KBBI hanya menyertakan bentuk menyukseskan yang "benar" secara tata bahasa, dengan demikian MENGABAIKAN SEBAGIAN REALITAS LINGUISTIK bahasa Indonesia.
(Oce Satria, Redaktur)
APA PENDAPAT ANDA TENTANG TOPIK INI?: