PROYEK RAHASIA OCEANA METTHASA (Kisah tak Terucap -2)



Cerita: Oce Satria

SEBUT saja namanya Bunga, eh bukan, anggap saja Oceana Metthasa, nama si rambut ikal itu. Namanya mungkin menggambarkan bahwa ia memang layaknya samudera, penuh misteri dan gelap. Dan Metthasa artinya mutiara impian. Hmmm....ayah dan ibunya hebat pula mencarikan nama untuk si gadis penuh misteri ini. 

Ana, si Oceana itu memang jarang senyum dan ngobrol. Setelah ngobrol yang memalukan di atas angkot dua bulan lalu,  sepertinya aku gak bakal pernah mengobrol lagi dengannya. Dia seperti manusia yang dingin. Tapi aura kecantikannya menghangatkan. 

Pernah sih sekali waktu aku langsir di depan kelasnya saat jam istirahat. Pura-pura mencari Yuki, teman sekelasnya dan teman kosku. Seperti biasa aku dan Yuki lebih sering ngobrol tentang kepenulisan. Kami sama-sama hobi menulis dan sering mengirimnya ke beberapa koran.

Tapi percakapan dengan Yuki tak lagi menarik. Hari itu rasanya membosankan. Diskusi tentang artikelku yang dimuat di Koran Santano tentang perjalanan mendaki gunung dan hantu gunung Singgalang, tak kutanggapi benar. Pasalnya, ada Oceana beberapa langkah di depan kami, sendirian menyandarkan punggung ke dinding kelas. Aku lebih sering mencuri pandang ke dia. Eh, dia pun berbuat hal yang sama: mengintai dengan lirikan. Oceana membelalakkan mata beloknya ketika aku menggerakkan alisku. Lalu bibirnya monyong, melengos, lantas pura-pura melempar pandangan ke kejauhan ke lapangan yang penuh anak-anak latihan drumband. Tapi ia sempatkan juga melirikku sekali lagi. Aiiiihhhh....

"Hei...kamu napa senyum-senyum? Ada apa sih?" Yuki membuyarkan adegan romantisme slowmotion aku dan Oceana. 

"Oh, nggak, nggak ada apa-apa. Emmmm...jadi gimana menurutmu artikel hantu gunungku?" Aku mencoba menetralisir suasana.

Yuki menggernyitkan keningnya. Matanya menyipit memusatkan kecurigaannya. Melirik Oceana, lalu menatapku penuh dakwaan.

"Kamu sedang masa pubertas?" tanya Yuki.

"Ha ha ha....gak baik curiga sembarangan. Kelasmu penuh wanita cantik ternyata," jawabku. Yuki tertawa.

Momen itu masih terkilan-kilan di mata dan ingatanku. Bahwa Oceana memang tipikal perempuan non-atraktif tapi pseudo konfrontatif. (dua istilah ini kukarang-karang saja). Ia seperti menawarkan komunikasi tapi tak menuntaskannya. Tak ada senyum pun. Begitulah kesimpulanku.

Kuduga dia dari keluarga yang menerapkan disiplin ketat dalam keluarga. Saking ketatnya disiplin, mereka tak memberi peluang untuk sekadar tertawa ngakak. Senyum pun mungkin jarang. Meski jarang senyum, sekalinya senyum, Oceana terlihat seperti putri di istana Sultan yang sedang melihat pemandangan lucu: angsa jumpalitan dikejar kelinci di halaman istana. Senyum manis nyaris tertawa membuatnya terlihat menggemaskan.

Karena fakta itulah aku berusaha mencari akal bagaimana caranya agar bisa memancing senyumnya, kunikmati, barang sekejap saja. Bila berhasil, pasti efeknya sangat krusial: pelajaran matematika yang aku benci, hari itu pasti akan berubah menjadi menyenangkan. Aneh ya, hubungan kausalitasnya? 

Tapi, siang ini tiba-tiba ia melempar senyum padaku saat aku sibuk mencari buku di rak perpustakaan. Ia setengah berlari menghampiriku. Lalu dengan wajah kembali serius Oceana berucap, "Kamu yang sering menulis di Koran Santano itu kan?" 

Aku masih gugup dengan cara dia mendatangiku. Ini pertama kali ia mengajakku bicara. Ada angin apa tiba-tiba putri Ketua Yayasan Sekolah kami ini mau melontarkan pertanyaan padaku?

Belum sempat aku menjawab, bahkan menganggukkan kepala, Oceana sudah menukas lagi, "Kamu mau cerita bagus gak? Bisa kamu tulis nanti,"

Aku menaruh kembali novel "Ladang Perminus" karya Ramadhan KH di antara deretan buku lainnya. Lalu menatap Oceana dengan wajah serius. "Kamu punya ide bagus, Ana?"

"Bukan ide. Ini fakta, dan bakal ada fakta-fakta berikutnya."

"Aku boleh nanya gak?"

"Gak ada larangan. Apa?"

"Kamu aneh. Jarang senyum apalagi ngobrol, tiba-tiba ngajak aku ikut proyekmu."

"Siapa bilang aku jarang ngobrol. Kamu aja yang gak mau ngajak ngobrol," ujarnya. "Eh, tapi ini bukan proyek. Murni nirlaba," sambungnya sambil tertawa. Duh, beneran manis kalau ketawa.......

"Lalu apa? Ini tentang apa sih?"

Ia melirik kanan kiri. Lantas dengan sedikit menjorokkan kepala dekat ke kupingku, ia berbisik.

"Besok kita ketemuan di warung bakso "Uda Mas Juo" samping "Basanding Dua Taylor"  belakang pasar. Tau kan?"

Masih dalam keadaan bingung aku hanya mengangguk seperti anak culun.

Oceana tahu-tahu sudah lesap dari ruang pustaka. Jam istirahat sudah usai. Proyek apa yang bakal ia ceritakan itu? Atau jangan-jangan dia kemasukan jin hingga tiba-tiba menemuiku, mengajak ngobrol, dan menawarkan proyek rahasia. 

Kenapa dia bisa berubah sedrastis itu ya? Ana yang setahuku gadis yang tertutup dan nyaris menurutku introvert, kenapa tiba-tiba bisa seatraktif itu? Atau jangan-jangan gara-gara lirikanku yang membuatnya galau dan.....siapa tahu dia naksir aku. Haha...

Ah, persetanlah apapun motif dan modus operandinya. Aku penasaran dengan cerita yang akan dia beberkan di warung Bakso "Uda Mas Juo" besok.

***
(sepertinya bersambung lagi)
Redaksi TNCMedia

Support media ini via Bank Rakyat Indonesia (BRI)- 701001002365501 atau melalui Bank OCBC NISP - 669810000697

Posting Komentar

Silakan Berkomentar di Sini:

Lebih baru Lebih lama