KISAH TAK TERUCAP (1)



Cerita: Oce Satria

SIANG, bulan Mei tahun itu terasa sangat menyengat. Musim kemarau telah berlangsung beberapa hari. Namun, sengatan matahari tak membuat gerah. Hanya jilatan sinarnya membuat kulit perih. Orang-orang di kota ini tetap saja membungkus tubuh mereka dengan sweater. Begitulah kota kami, suhu dinginnya tak pernah surut meski dikepung kemarau.

Aku sudah akan menyudahi seruput terakhir kopi yang sudah sejam lalu kupesan, ketika di luar warung sekelebatan makluk manis itu melintas. Sontak saja darahku tersirap. Antara senang dan gugup. Lalu kupintas keluar.

"Hei...," sapaku sekenanya saat berpapasan dengan dia sepuluh meter dari dinding belakang kelas paling ujung.

Dia melempar senyum, semanis yang tersudah. "Hai..." sahutnya, sekenanya juga.

Hanya begitu saja. Tak ada lanjutan lagi dari perjumpaan dadakan itu untuk meneruskan percakapan. Lagi pula, sumpah, aku selalu gugup untuk membuat dua tiga kalimat untuk mengobrol dengannya. 

Selebihnya kami hanya saling lirik saja, dalam berbagai momen perjumpaan. Kadang aku yang memulai, sekali-sekali dia yang mencuri pandang, dan kepergok ujung mataku. Lalu kami saling kikuk.

Ah, mengapa Tuhan membekali aku dengan keberanian sedikit saja. Padahal, saban hari aku selalu merancang skenario percakapan kalau-kalau ada kesempatan berdua dengannya. Tapi itu tak kejadian, skenario itu buyar. Lalu aku merutuk diriku sendiri. "Pandiir....!!" 

Pernah suatu kali siang sepulang sekolah di musim penghujan (kotaku memang berjuluk kota hujan) aku dan dia kebetulan naik mikrolet (angkot) yang sama menuju pusat kota. Kami duduk bersisian. Ada empat orang lainnya selain kami, dua orang nenek, satu anak SD dan satu lagi pemuda berpakaian mekanik bengkel. Nah, bukankah momen itu sangat spesial di mana aku bisa menawarkan percakapan dengan dia?  Kalaupun percakapanku kedengaran norak dan bego, mereka gak bakal tahu. Dan gak peduli. Tapi sialnya aku seperti laptop yang lemot dan ngadat lantaran kebanyakan menekan tuts dan laptopnya bingung. 

Setelah bersusah payah mengumpulkan keberanian, aku akhirnya melontarkan kalimat pembuka:

"Punya buku sosiologi, nggak? Boleh pinjam ...?" 

Dia menoleh, dan menampakkan senyum lebar. Alhamdulillah.

"Saya kan anak Bio, kami nggak belajar sosiologi...." jawabnya sambil senyum.

Matik aku! 
Busyeett!

"Oh, eh, iya.. lupa...." aku menjawab dengan gelagapan.  Rasanya waktu itu aku jadi manusia paling idiot di seantero Serambi Mekah. Koq aku bisa salah tanya begitu ya?

Lalu hening.
Dia melanjutkan  menatap ke depan, aku bersusah payah mengelola rasa malu.

"Bio berapa?" aku pantang menyerah.

"Wah, itu juga tak tahu, padahal sering lewat depan kelasku," ia membalas.

Sekali lagi aku seperti dieksekusi Satpol PP saking  pelupanya. 

"Hehe...hanya becanda aja koq. Enak gak belajar di Bio?" (tuuh, pertanyaan jenis apa itu coba? Pertanyaan tak berguna!) 

Dia senyum dikulum. Mungkin menertawakan pertanyaanku. Mungkin sambil berkata dalam hati: "Ini cowok koq nanyanya gak mutu gini ya?"

Dan perjumpaan langka di atas angkot itu berakhir begitu sopir melambatkan laju kendaraan, memutar sebentar masuk pangkalan,  lalu menginjak rem dan mematikan mesin.

Aku dan dia berpisah tanpa satu kata pun lagi terlontar.  Perempuan berambut ikal,  bermata bagus dan betis indah seperti padi bunting itu melangkah pergi tanpa melengos lagi.

Perjumpaan yang memalukan, dan memilukan.

-nulis iseng-

(Bersambung)
Redaksi TNCMedia

Support media ini via Bank Rakyat Indonesia (BRI)- 701001002365501 atau melalui Bank OCBC NISP - 669810000697

Posting Komentar

Silakan Berkomentar di Sini:

Lebih baru Lebih lama