MENGGAGALKAN CAWAKOT (Kisah Tak Terucap - 4)



Cerita:  Oce Satria

Warung bakso Uda Mas Juo terletak paling pojok belakang pasar. Sebelah kirinya toko grosir Koh Su Tan yang menjual segala macam kebutuhan dapur, rokok, peragat kamar mandi, segala obat nyamuk sampai pempers bayi dan wanita dewasa. Di depan warung bakso itu adalah kedai pengukuran kerambil dan santan.

Pukul satu siang warung bakso belum begitu ramai.
Layar tivi di dinding warung sedang menyiarkan hasil survei salah satu lembaga survei ternama. Dengan teknologi augmented reality, tiga capres dihadirkan di ruang studio. Tentu saja sosok mereka bukan aslinya. Teknologi AR mampu menghadirkan objek asli menjadi seolah nyata. Ketiga sosok itu ditampilkan sedang mengobrol. Tanpa suara. Sementara si pemilik lembaga survei sibuk memaparkan hasil survei. Seperti banyak dugaan orang, survei mereka hanyalah akal-akalan saja. Sebab mereka tak menjelaskan dengan terus terang seperti apa dan model apa pertanyaan yang diajukan pada sample yang disurvei. Konon pertanyaan bisa dibuat sedemikian rupa agar hasilnya sesuai pesanan si pemesan survei. Jadi tergantung siapa yang bayar. Rupanya cara kuno itu masih tetap efektif. Padahal ini sudah tahun 2074, harusnya kecerdasan rakyat makin terasah. Namun rupanya setiap pemilu, rakyat mendadak jadi pelupa, dan gampang digiring dengan memodifikasi opini. Begitulah. 

Si anchor dan tukang survei asyik bertanya jawab menguliti hasil survei. Aku tak begitu tertarik. Karena di dalam warung bakso, sosok manis yang selalu menggoda mimpi sudah menunggu.

Kulihat Oceana sudah menunggu di meja paling pojok. Tapi yang membuatku kaget adalah, dandanannya. Memakai blues coklat tortilla dengan kulot hitam. Seperti dandanan mahasiswi bimbingan skripsi. 

Ujung-ujung rambutnya yang keriting tanggung sebahu berayun-atun dikisar angin dari kipas yang menggantung di atas. Wajahnya yang tak begitu oval, dan dagu tak begitu lancip yang menggantung membuat Ana terlihat sangat ayu. Matanya yang jernih dengan bola mata membulat, dilindungi alis yang cukup tebal, mengapit hidung yang ujungnya ditenggeri butiran kecil keringat. Dan yang membuatku agak shock adalah bibirnya yang biasanya innocent itu siang ini tahu-tahu sudah berlapis merah muda tipis. Wow.

Oceana sesiang ini terlihat sangat dewasa. Seperti perempuan yang baru delapan bulan menikah. Ranumnya membuat kepalaku pusing.

"Dari sekolah pulang dulu?" Aku langsung menyodorkan tanya.

Oceana menggeser duduknya. Lalu dengan mimik sedatar meja ia menggumam, "Aku bolos hari ini."

Aku memilih duduk di seberangnya. Menaruh tas, lalu megedarkan pandang ke seantero warung bakso. Masih sepi. Hanta terdengar bunyi bising mesin kukur kerambil dari depan.

"Oalah, sampai memboloskan diri. Sepenting apakah urusan ini?" ujarku.

Ana mengulaskan sedikit senyum. Ia tak langsung menjawab. "Aku mau traktir kamu bakso. Suka bakso kan?"

"Ini hanya urusan traktir bakso?"

"Sabar dong. Isi perut dulu. Biar kamu semangat. Maaaaas...... Sini dua ya!" ia memesan dengan suara sedikit berteriak.

Selesai menandaskan dua mangkok bakso, aku dan Oceana kembali ke urusan semula. Proyek rahasia.

"Jadi, rencana apa yang akan kamu tawarkan?"

"Papa ingin jadi walikota. Ikut Pilwakot nanti."

Hah?!! Pak Gabrin mau nyalon walikota? Bagaimana ceritanya Ketua Yayasan Sekolah kami itu sampai kepikiran mau jadi walikota, karena sepanjang kami tahu, beliau anti politik. Dia lebih bersemangat berkutat dengan buku dan kitab-kitab usang. Pak Gabrin tipikal lelaki penyendiri, jarang terlibat dalam kegiatan bersama orang banyak. Ia lelaki rumahan. Dan agak kolot.

"Terus?" aku mendelik, heran.

Ana menggeser mangkok bakso ke pinggi meja. Lalu melongokkan wajahnya hingga wajahku dan wajahnya hanya berjarak sekitar dua jengkal. 

"Aku akan menggagalkannya!" ucapnya dengan suara pelan. Tapi seperti menyimpan kegeraman.

"Lho, kenapa? Bukannya bagus tuh, Papamu jadi walikota. Itu hebat!"

"Pokoknya harus digagalkan!"

"Caranya?"

"Aku akan mengajakmu naik gunung. Gunung Marapi...."

Aku nyaris tersedak begitu Ana berucap. Naik gunung? Ada setan apa tang membisikinya hingga mau berencana naik gunung. Tak satu iota pun bahkan tak pernah terkilan-kilan dipikiran siapa pun kalau anak ini sampai mau naik gunung. Aneh bin ajaib binti tak masuk akal. Lagi pula, apa hubungannya dengan keinginannya untuk menggagalkan rencana Papanya? 

"Hei,...soriii. Ini yang ada depanku benaran Oceana Metthasa putri Ketua Yayasan SMA Gemala, Gabrin Sukwan MHum, MSi?. Apa aku mimpi?" aku makin tak paham sedang bicara apa dan dengan siapa. 

"Mau, kucubit?" Ana mengancamkan jempol dan telunjuknya ke depan wajahku, sambil celikikan.

"Awwww......jangaaan!"

***

Next.......🔜

Redaksi TNCMedia

Support media ini via Bank Rakyat Indonesia (BRI)- 701001002365501 atau melalui Bank OCBC NISP - 669810000697

Posting Komentar

Silakan Berkomentar di Sini:

Lebih baru Lebih lama