OcOk!, Jakarta --  Indonesia kembali kehilangan sastrawan terbaiknya. Sastrawan dan budayawan Radhar Panca Dahana dikabarkan meninggal dunia.

Radhar meninggal dunia malam ini, pukul 20.00 WIB, Kamis (22/4/2021). Pengarang buku itu meninggal di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

"Telah berpulang malam ini pukul 20.00 adik saya tercinta Radhar Panca Dahana di UGD RS Cipto Mangunkusumo," tulis kakak Radhar Panca Dahana, Radhar Tribaskoro, melalui akun Facebook-nya. seperti dikutip detikcom.

Radhar Tribaskoro meminta doa untuk sang adik yang telah berpulang. Dia juga meminta agar kesalahan Radhar Panca Dahana dimaafkan.

"Mohon maaf atas semua kesalahan dan dosanya. Mohon doa agar ia mendapat tempat yang terbaik di sisiNya. Aaminn YRA," lanjutnya.

Radhar Panca Dahana (lahir di Jakarta, 26 Maret 1965)  adalah sastrawan dan  budayawan Indonesia. Namanya dikenal melalui karya-karyanya dalam bentuk esei sastra, cerita pendek, dan puisi yang dipublikasikan di sejumlah surat kabar Indonesia. Selain itu, Radhar juga aktif menjadi pembicara dalam diskusi, seminar, maupun talkshow  di televisi. Ia menyelesaikan Program S1 Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Indonesia (1993) dan studi Sosiologi di École des Hautes Études en Science Sociales, Paris, Prancis  (2001). Radhar merupakan pendiri dari Perhimpunan Pengarang Indonesia dan presiden Federasi Teater Indonesia yang masih menjabat sampai saat ini. Tahun 2019, Radhar dipercaya oleh Komisi Pemilihan Umum untuk menjadi salah satu panel Debat Cawapres ketiga, bersama Rektor  Universitas Syiah Kuala, Samsul Riza, Rektor Universitas Hasanuddin, Dwia Aries Tina Pulubuhu, dan Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah.

Minatnya dalam bidang menulis terlihat sejak umur 5 tahun, saat dirinya sering tidak pulang ke rumah dan ditemukan di kawasan Bulungan sedang melihat teater. Kepiawaiannya dalam bidang sastra dan tulis-menulis kemudian membawanya menjadi seorang cerpenis dan reporter lepas di sebuah majalah remaja, Zaman. Saat itu, ia sangat giat mengirimkan karya-karyanya di berbagai rubrik majalah. Ia juga sering diminta mengisi kolom di rubrik olahraga, kebudayaan, pendidikan, berita kriminalitas, dan hukum.

Semasa kecil, ia sering memberontak dan tak mengikuti aturan yang ada. Baik itu di sekolah maupun di rumah. Didikan orang tuanya yang otoriter dan kerap memukul membuatnya ingin mengekspresikan diri. Ia memilih menyalurkan bakat di bidang kesenian meski orang tuanya tak setuju dengan pilihannya karena orang tuanya menginginkan Radhar menekuni bidang seni lukis.

Radhar yang memberontak rupanya saat itu juga mempunyai rasa takut terhadap ayahnya. Saat ia sering mengirimkan karya di berbagai media, ia takut ketahuan ayahnya dan akhirnya memakai nama samaran, Reza Mortafilini, yang mengibarkan namanya melalui dunia jurnalistik. Namun, tak lama berselang, Radhar kembali menggunakan nama aslinya. Hal inilah yang membuat kemarahan sang ayah semakin menjadi dan akhirnya membuatnya tidak pulang ke rumah dengan mulut berdarah dan teriakan "Tidak ada demokrasi di sini." Saat itu ia duduk di kelas 2 SMP. Saat ia bekerja sebagai wartawan lepas di majalah Hai.

Perjuangan dalam menunjukkan eksistensinya dalam dunia tulis-menulis dan sastra pada orang tuanya banyak menemui jalan terjal. Sampai akhirnya, namanya banyak dikenal orang dan membuatnya meraih penghargaan Paramadina Award pada tahun 2005. Tak hanya itu, faktor kesehatan yang nyatanya sangat mengganggu kegiatannya tak mampu membendung semangat berkaryanya. (Oce)


Sumber: detikcom, wikipedia