MENANTI CAPRES MENCARI MENANTU



Oce Satria

Di kampung kami, menjelang dilakukan pesta pernikahan, para mamak, dan urang sumando (laki-laki yang menikah dengan perempuan dari suku lain) bermusyawarah lebih  dulu. Musyawarah dengan petatah petitih ini untuk mencari dan menentukan jodoh si perempuan.

Sebenarnya ini hanya seremonial belaka, formalitas yang dipelihara demi menjaga tradisi. Karena pada kenyataannya jodoh si perempuan sudah ada. 

Berbeda dengan zaman dulu, musyawarah benar-benar untuk mencari jodoh si gadis yang belum ada. Di forum itu orang-orang menyodorkan calon. Prosesinya menghabiskan waktu hingga dini hari. Kami menyebutnya mancari kabau alias calon suami.

 "Kami menyimpan pautan gagah, tanduknya tajam, badannya kokoh, dan buah bibir di gelanggang. Sangatlah sepadan berjodoh dengan kemenakan Tuan," salah seorang sumando bergelar Sutan Permato menawarkan calon. 

Hadirin pun menduga-duga, mereka-reka dan menebak, siapa gerangan kerbau gagah 
pautan Sutan Permato ini?

 "Kami juga punya jago yang tak akan berkedip mata mengagumi. Pautan kami, pamenan 
orang di gelanggang. Pantang digisir, tapi santun bertutur. Lasak tidak tapi gigih mencari makan. Senanglah hati jika pautan kami dipinang segera," Katik Bandaro pantang kelintasan, ia memberi alternatif dengan keunggulan calon yang membuat orang berdecak kagum.

Lalu empat atau lima orang lainnya ikut mencoba membuat prospek dengan pautan alias calon pengantin pria masing-masing.

Tapi itu zaman dulu. 

Sekarang prosesi seperti itu hanya seremonial. Karena adat harus diisi lembaga harus dituang, itulah bunyi aturan adatnya. Ritualnya mesti dijalankan, walaupun harus berlama-lama, menghabiskan waktu dan menguras biaya. 

Bukankah adat tak lapuk oleh hujan, tak lekang karena panas? Itu alasan pembenarnya.

#jelangdeadline
Tags

Posting Komentar

0 Komentar

Below Post Ad