Rosihan Anwar Ulung dalam Reportase



Berikut kicauan wartawan senior Goenawan Mohamad di twitter tentang Rosihan Anwar:

1. Pada reportase Rosihan Anwar berlaku apa yg pernah dikatakan orang: "Journalism is the first rough draft of history." #RA

2. Rosihan Anwar bukan pemikir. Ia pencatat peristiwa. Dan itu kelebihannya. Pemikir sering keliru karena ia mengabaikan fakta. #RA

3. Kebanggaan seorang jurnalis bukanlah ketika ia menulis opini, tapi ketika ia menulis reportase yg lengkap, rinci, memikat.@RA

4. Di masa mudanya, Rosihan ulung dlm reportase. Di situ ia setingkat di atas Mochtar Lubis, yg lebih kuat mengedepankan opini. #RA

5. Rosihan meliput pertempuran Surabaya Nov. 1945. Ia juga diingat krn reportasenya ttg kunjungan PM Uni Soviet Krushchev ke Indonesia. #RA

6. Pengamatannya tajam dan ia merekam angka dan fakta dgn baik. Bahasanya memang tak memikat, tapi efisien dan efektif. #RA

7. Pandangan politiknya dekat dgn kaum sosialis demokrat, khususnya dari Partai Sosialis Indonesia. Dan itu yg membuatnya dlm kesulitan. #RA

8. Di awal 1960-an, oleh Bung Karno dan Tentara koran Rosihan Anwar, 'Pedoman', ditutup. Ia menganggur, tapi tetap mencatat. #RA

9. Catatannya di masa pembungkaman itu kemudian terbit setelah Bung Karno jatuh, kalau tak salah disebut sbg "Djakarta Dairy". #RA

10. Dlm catatan itu bisa kita ikuti hal-hal yg selama "demokrasi terpimpin' di bawah Bung Karno tak akan dimuat dlm koran apapun. #RA

11. Setelah Bung Karno jatuh, dan 'Orde Baru' lahir, koran 'Pedoman' boleh terbit lagi. Tapi tidak begtu sukses. #RA

12. Waktu itu, akhir 1960-an, "Kompas" sudah terbit. "Pedoman' tak bisa menyainginya. Kedua koran itu punya audiens yg mirip. #RA

13. Kemudian ada aksi2 mahasiswa melawan Suharto. 'Pedoman' yg meliputnya, kena brangus. Setelah 1974, rezim Suharto makin ganas. #RA

14. Dgn demikian, spt Mochtar Lubis dan koran 'Indonesia Raya'-nya, Rosihan dgn 'Pedoman'-nya mengalami dua penindasan. #RA

15. Yg pertama waktu 'Demokrasi Terpimpin' Bung Karno. Yg kedua waktu rezim 'Orde Baru' Suharto. Kedua rezim itu tak suka pers yg bebas.

16. Generasi yg kini tak mengalami kedua masa represi itu sulit utk membayangkan bagaimana wartawan spt Rosihan mengayuh biduk.#RA

17. Tanpa koran 'Pedoman' yg dulu dipimpinnya, Rosihan menulis kolom di Kompas dan Pos Kota utk menyambung hidup. #RA

18. Sejak itu kita tak menemukan lagi karya2 jurnalistik Rosihan yg cemerlang. Tapi ia rajin, berdisiplin. Pada dia, wartawan tak mati2. #RA

19. Saya beruntung bisa belajar jurnalisme dari reportase Rosihan Anwar. Meskipun saya tak selalu setuju dgn ssikap + pandangannya.#RA

20. Yg menarik dlm sejarah jurnalisme kita: tiap nama penting yg muncul, seperti Rosihan, terlibat dlm usaha kemerdekaan bersuara. #RA






Berikut profil Rosihan Anwar, saya kutip dari Tirto.id

Rosihan Anwar adalah seorang wartawan, pekerjaan yang digelutinya sejak lulus dari sekolah menengah atas Algemeene Middelbare School (AMS) Yogyakarta pada 1942. Ia merantau ke Jawa sejak 1939. Rosihan adalah lelaki Minang asli, dilahirkan di Kubang Nan Dua, Sirukam, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, tanggal 10 Mei 1922.

Karier jurnalistik Rosihan Anwar dimulai sebagai reporter majalah Asia Raya pada era pendudukan Jepang. Profesi tersebut dilakoninya hingga proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Usai itu, Rosihan bekerja di harian Merdeka sebagai redaktur. Pada 1947 ia menerbitkan media sendiri, majalah berkala yang diberi nama Siasat. Rosihan menjadi pemimpin redaksinya ketika usianya terbilang masih muda, 25 tahun. Pada 1947 ini pula Rosihan menikahi perempuan pujaan hatinya, seorang gadis bernama Siti Zuraida.

Setahun kemudian, Rosihan menerbitkan surat kabar lagi, yaitu Pedoman, yang terbit setiap hari. Ia memimpin keredaksian Siasat selama satu dekade sebelum ia menyerahkan kendali majalah itu kepada Sanjoto pada 1957. Sanjoto sebelumnya menjabat sebagai wakil pemimpin redaksi. Rosihan sendiri selanjutnya lebih fokus mengurusi harian Pedoman.

Sayangnya, Pedoman kena beredel Orde Lama pada 7 Januari 1961. Presiden Sukarno tampaknya kurang menyukai beberapa pemberitaan yang dimuat surat kabar itu. Dengan dilarangnya Pedoman, maka tidak cukup dana yang tersisa untuk meneruskan penerbitan Siasat yang kemudian harus ditutup pula.

Sejak dua medianya gulung tikar, Rosihan tetap aktif menulis sebagai kolumnis untuk sejumlah majalah luar negeri, termasuk Business News, dan cukup produktif menulis buku.

Mulai tergerusnya kekuasaan Sukarno sejak terjadinya peristiwa 30 September 1965 meniupkan angin segar bagi karier Rosihan Anwar. Tawaran menulis berdatangan dari banyak surat kabar atau majalah dari luar negeri maupun media nasional.

Selain Business News, Rosihan juga menjadi kolumnis maupun koresponden untuk Asiaweek, The Age, Melbourne, Hindustan Times New Delhi, World Forum Features, Asian, dan lainnya. Untuk surat kabar dalam negeri, Rosihan menjadi kolumnis di Kompas, KAMI, serta Angkatan Bersendjata.

Puncak kebangkitan kiprah jurnalistik Rosihan terjadi pada 1968 ketika ia berhasil menerbitkan kembali harian Pedoman yang sempat mati lantaran terkena gebuk rezim lama. Saat itu, Orde Baru mulai menancapkan pengaruhnya di bawah kendali Soeharto yang perlahan tapi pasti mengambilalih kekuasaan dari Sukarno.

Di masa tuanya, sampai kematian menjemput, Rosihan sangat produktif menulis artikel-artikel retrospektif. Berbagai obituari tokoh-tokoh ia tulis berdasarkan ingatan dan kenangan personal yang ia alami sendiri saat berinteraksi dengan tokoh-tokoh tersebut. Pengalamannya melintasi berbagai zaman membuat artikel-artikel itu menarik dibaca karena selalu menempatkan seorang tokoh pada konteks zamannya.

Posting Komentar

0 Komentar

Below Post Ad