Nasib berkehendak lain. Itu juga yang terjadi pada Sidney Poitier. Ia mungkin hanyalah seorang pencuci piring di New York City pada usia 20 tahun, tapi siapa sangka hidupnya akan berubah begitu drastis?
Sebagai seorang pemuda yang datang dari Bahama, Sidney kesulitan membaca—bahkan kata-kata yang terdiri dari tiga suku kata saja terasa seperti tantangan besar baginya. Namun, suatu hari nasib seolah ingin mengujinya. Setelah kehilangan pekerjaannya sebagai pencuci piring, dia melihat sebuah iklan di koran yang berbunyi: "Dicari Aktor". Bagi Sidney, kata "dicari" terasa seperti undangan pribadi.
Dengan semangat, Sidney pergi ke alamat yang tertera di iklan itu. Begitu sampai di sana, seorang pria besar memberinya dua halaman naskah untuk dibaca. Dengan aksen Karibia yang kental, Sidney mulai membaca perlahan, kata demi kata. Namun, bukannya mendapat pujian, pria besar itu justru marah. Ia menarik Sidney keluar dengan kasar dan berkata, "Berhenti membuang-buang waktu orang! Kamu tidak bisa berbicara dan tidak bisa membaca. Kembalilah mencuci piring!"
Saat berjalan ke halte bus, Sidney merenung, "Bagaimana dia tahu aku seorang pencuci piring?" Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, hingga akhirnya Sidney menyadari, itulah cara orang melihat dirinya—hanya seorang pekerja kasar, tak lebih. Sidney merasa sangat tersinggung, namun ia juga tahu pria itu benar. "Aku harus memperbaiki ini," pikir Sidney. Di saat itu, ia memutuskan untuk menjadi aktor. Bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk membuktikan bahwa orang-orang salah menilai dirinya.
Sidney tetap bekerja sebagai pencuci piring, tapi ia mulai bekerja keras untuk mengembangkan dirinya. Dia audisi di American Negro Theater di Harlem, berharap bisa belajar di sana. Namun, ketidaktahuannya tentang cara memperoleh naskah drama membuatnya menghafal artikel dari majalah True Confessions. Sidney tidak diterima, tapi ia menawarkan diri menjadi petugas kebersihan tanpa bayaran asalkan ia diizinkan belajar. Tawaran itu diterima, dan Sidney pun bekerja sambil belajar.
Meski demikian, setelah beberapa bulan, ia diberitahu bahwa dirinya tidak memiliki bakat akting dan diminta pergi. Namun, tiga temannya yang menyukai Sidney meminta kepala sekolah untuk memberinya kesempatan kecil dalam pertunjukan berikutnya. Awalnya, kepala sekolah menolak, tapi akhirnya ia membuat Sidney sebagai pemeran pengganti untuk peran utama—meskipun ia tidak berniat memakainya.
Nasib berkehendak lain. Pada malam pertunjukan, pemeran utama, Harry Belafonte, harus membantu ayahnya yang berprofesi sebagai tukang kebun mengangkat enam kotak abu yang berat. Alhasil, Sidney yang naik panggung. Dia berhasil menghafal semua dialognya, dan meski grogi, ia melakukan yang terbaik. Di antara penonton malam itu, ada seorang produser yang tertarik dan menawarkan Sidney peran kecil di drama berikutnya.
Namun, pengalaman pertama di atas panggung tidak semudah yang dibayangkan Sidney. Ketika melihat ribuan penonton melalui lubang kecil di tirai, ia dilanda ketakutan hebat. Saat muncul di panggung, Sidney malah memulai dialognya dari baris ketujuh! Meski demikian, penonton tidak menyadari kesalahannya dan menganggap karakter Sidney yang gugup dan bingung itu menarik.
Ketika berjalan pulang, Sidney merasa ingin menyerah menjadi aktor. Tapi saat membaca ulasan di koran keesokan harinya, ia terkejut. Namanya disebutkan dalam tiga koran, dan bahkan dipuji sebagai "pemuda lucu yang muncul di awal." Pujian itu memotivasinya untuk terus berjuang dalam dunia akting.
Tahun 1954, Sidney mendapat audisi untuk sebuah film. Tapi ketika membaca naskahnya, ia merasa tidak bisa memainkan peran itu. Peran yang ditawarkan adalah seorang janitor yang menyaksikan kejahatan namun memilih diam setelah anaknya dibunuh oleh gangster. Sidney benci karakter itu, karena bagi dia, seorang ayah sejati pasti akan bertindak. Sidney, yang sangat membutuhkan uang saat itu, menolak tawaran $750 yang ditawarkan, meskipun dia sangat membutuhkan uang untuk membayar tagihan rumah sakit untuk kelahiran putrinya yang kedua.
Ia akhirnya menggadaikan furnitur untuk mendapatkan uang dan membayar rumah sakit. Beberapa bulan kemudian, agen yang menawarinya peran itu menghubunginya lagi. Agen itu terkesan dengan prinsip Sidney dan memutuskan untuk menjadi agen tetapnya. Hubungan kerja itu bertahan hingga Sidney memenangkan Academy Award untuk Aktor Terbaik dalam film Lilies of the Field pada tahun 1963.
Pada malam penghargaan Oscar, Sidney berdiri di atas panggung dengan piala Oscar di tangannya, ia menjadi aktor kulit hitam pertama yang memenangkan penghargaan Aktor Terbaik. Momen itu bukan hanya puncak dari kariernya, tetapi juga simbol perubahan besar dalam industri film yang selama ini penuh dengan diskriminasi. Ketika Sidney memberikan pidato penerimaannya, ia mengenang perjalanan panjang yang telah dilaluinya, dari seorang pencuci piring yang direndahkan, hingga akhirnya menjadi salah satu aktor paling dihormati di dunia.
Lima tahun kemudian, Sidney ditawari peran utama dalam film In the Heat of the Night. Namun, lagi-lagi Sidney berhadapan dengan naskah yang tidak sesuai dengan prinsipnya. Ada adegan di mana karakternya harus menerima tamparan dari seorang pria kaya tanpa membalas. Sidney menolak memainkan adegan itu kecuali dia diizinkan membalas tamparan tersebut. Produser akhirnya setuju, dan adegan itu menjadi salah satu momen paling ikonik dalam film tersebut.
Sidney Poitier membuktikan bahwa dengan tekad dan prinsip yang kuat, seseorang bisa mengubah cara dunia melihatnya. Ia bukan hanya seorang aktor, tapi juga simbol perjuangan melawan stereotip dan ketidakadilan. Dan semua itu dimulai dari seorang pemuda yang hanya ingin menunjukkan bahwa ia lebih dari sekadar pencuci piring.
APA PENDAPAT ANDA TENTANG TOPIK INI?: