Dinamika Tradisi Pernikahan di Pariaman dan Payakumbuah



DALAM masyarakat Minangkabau, pernikahan bukan hanya melibatkan dua individu, tetapi juga dua keluarga besar yang masing-masing memiliki peran penting dalam prosesi adat. Ketika seorang perempuan dari Payakumbuh dan seorang laki-laki dari Pariaman memutuskan untuk menikah, perbedaan dalam cara pandang dan penafsiran terhadap adat antara kedua belah pihak seringkali dapat menimbulkan ketegangan, bahkan menghalangi kelancaran prosesi pernikahan itu sendiri.

Sebagaimana diketahui, masyarakat Minangkabau menganut sistem matrilineal, yang berarti bahwa garis keturunan diturunkan melalui ibu. Namun, meskipun ada kesamaan prinsip dalam sistem keluarga matrilineal, masing-masing daerah di Minangkabau memiliki penafsiran yang berbeda terhadap adat dan proses pernikahan.

Payakumbuh dan Pariaman, meskipun berada dalam satu rumpun adat, memiliki perbedaan mendasar dalam cara mereka melaksanakan pernikahan, khususnya dalam hal peran keluarga besar, perundingan adat, dan pemberian pembekalan. Di Pariaman, tradisi Bajapuik adalah simbol penghormatan yang sangat penting, di mana pihak perempuan memberikan pembekalan berupa uang jemputan, emas, atau lahan pertanian sebagai bentuk penghargaan terhadap keluarga laki-laki yang akan meminang anak perempuan mereka. Adat ini memiliki nilai simbolik yang sangat kuat dan sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Pariaman.

Di sisi lain, di Payakumbuh, meskipun adat Minangkabau tetap dijunjung, pelaksanaan Bajapuik cenderung lebih fleksibel dan tidak sestriktif di Pariaman. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh modernisasi dan penyesuaian terhadap gaya hidup yang lebih pragmatis.

Perbedaan ini seringkali menimbulkan ketegangan ketika seorang perempuan dari Payakumbuh menikah dengan laki-laki dari Pariaman, atau sebaliknya. Mamak dari kedua belah pihak seringkali bersikeras dengan adat masing-masing, yang mengarah pada konflik dalam proses perundingan adat.

Misalnya, pihak perempuan dari Payakumbuh yang mungkin tidak setuju dengan tradisi Bajapuik yang terlalu berat atau membutuhkan pembekalan yang signifikan, sementara pihak laki-laki dari Pariaman menganggap bahwa adat tersebut adalah simbol kehormatan dan penghargaan terhadap keluarganya.

Salah satu titik konflik yang sering muncul dalam prosesi pernikahan antara pihak Payakumbuh dan Pariaman adalah dalam hal perundingan uang suduik dan pembekalan dalam bentuk lainnya. Di Pariaman, uang suduik atau pembekalan yang diberikan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki dianggap sebagai simbol keseriusan dalam hubungan, serta penghargaan terhadap kedudukan keluarga laki-laki.

Sebaliknya, di Payakumbuh, meskipun adat pernikahan tetap dijaga, pihak keluarga perempuan cenderung melihat pembekalan tersebut sebagai beban yang bisa memberatkan prosesi pernikahan, sehingga sering kali terjadi penurunan jumlah atau pengurangan pembekalan yang diajukan.

Ketika perundingan ini tidak mencapai kata sepakat, ketegangan seringkali muncul. Mamak dari pihak laki-laki yang berasal dari Pariaman merasa bahwa pembekalan tersebut adalah bagian yang tak terpisahkan dari tradisi, dan apabila tidak terpenuhi, maka pernikahan tersebut bisa dibatalkan atau ditunda.

Sebaliknya, mamak dari pihak perempuan yang berasal dari Payakumbuh merasa bahwa pembekalan tersebut tidak mencerminkan nilai-nilai yang relevan dengan kebutuhan mereka dalam membangun rumah tangga, terutama ketika pembekalan tersebut dianggap terlalu berat.

Ketika ketidaksepakatan dalam adat antara pihak Payakumbuh dan Pariaman tidak dapat diselesaikan, sering kali ini mengarah pada pembatalan atau penundaan pernikahan. Proses pernikahan yang seharusnya berjalan lancar menjadi terhalang oleh ketidakcocokan dalam adat yang dijalankan oleh masing-masing pihak keluarga.

Dalam beberapa kasus, hal ini bahkan dapat menimbulkan rasa malu atau ketidaknyamanan bagi kedua belah pihak. Keluarga perempuan yang berasal dari Payakumbuh mungkin merasa diperlakukan tidak adil karena dianggap tidak cukup memberikan penghargaan kepada pihak laki-laki.

Di sisi lain, keluarga laki-laki dari Pariaman bisa merasa bahwa pihak perempuan tidak menghargai tradisi dan adat mereka, yang bisa mengakibatkan hubungan antara kedua keluarga menjadi renggang.

Konflik ini, meskipun berasal dari perbedaan pemahaman terhadap adat, mencerminkan bagaimana peran adat dalam pernikahan tidak hanya sekadar sebagai aturan sosial, tetapi juga sebagai simbol status dan kehormatan keluarga. Ketika adat tersebut dipertaruhkan, perselisihan bisa menjadi lebih kompleks, melibatkan bukan hanya calon pengantin, tetapi juga seluruh keluarga besar dan masyarakat adat.

Penting untuk dicatat bahwa meskipun terdapat perbedaan adat yang dapat menimbulkan konflik, dalam banyak kasus, penyelesaian masih bisa dicapai melalui musyawarah dan mufakat. Dalam masyarakat Minangkabau, proses perundingan dan musyawarah merupakan bagian penting dari penyelesaian masalah adat.

Pihak mamak dan tetua adat dari kedua belah pihak dapat memainkan peran penting dalam menjembatani perbedaan dan mencapai kesepakatan yang bisa diterima oleh semua pihak.

Selain itu, dalam beberapa kasus, pengaruh modernisasi dan pengertian yang lebih terbuka terhadap perubahan zaman membantu kedua pihak untuk lebih fleksibel dalam memaknai prosesi adat pernikahan. Ini memungkinkan pernikahan tetap dilangsungkan meskipun ada perubahan dalam cara pelaksanaan adat.

Dalam konteks adat pernikahan di Minangkabau, peran mamak sangatlah vital, terutama dalam menjaga dan menegakkan tradisi. Namun, dalam beberapa situasi yang melibatkan perbedaan adat, seperti antara Payakumbuh dan Pariaman, mamak juga dihadapkan pada tantangan besar, yakni harus menurunkan ego adat masing-masing agar prosesi pernikahan dapat berlangsung dengan harmonis.

Mamak, sebagai figur otoritatif dalam keluarga dan masyarakat adat Minangkabau, memiliki tanggung jawab besar dalam melaksanakan dan menjaga kelestarian adat istiadat. Sebagai pemimpin dalam keluarga besar, mamak bertugas untuk mengatur segala urusan pernikahan, mulai dari perundingan adat, pemilihan calon pasangan, hingga pembekalan yang akan diberikan dalam prosesi tersebut.

Mamak juga bertindak sebagai mediator antara keluarga laki-laki dan perempuan dalam memastikan bahwa adat dilaksanakan dengan benar. Namun, dalam praktiknya, peran mamak bisa menjadi lebih kompleks, terutama ketika pernikahan melibatkan dua keluarga yang berasal dari daerah berbeda, seperti Payakumbuh dan Pariaman.

Masing-masing daerah memiliki ciri khas adat yang sangat dijunjung tinggi, dan ini bisa menimbulkan ketegangan antara kedua pihak. Ketika seorang perempuan dari Payakumbuh dan seorang laki-laki dari Pariaman berniat untuk menikah, perbedaan dalam cara pandang terhadap adat pernikahan sering kali muncul.

Mamak dari kedua belah pihak sering kali bersikeras mempertahankan adat dan tradisi yang mereka anut, yang terkadang bisa berbenturan dengan adat yang diterapkan oleh keluarga pasangannya. Dalam banyak kasus, ini terjadi karena mamak merasa bahwa adat yang mereka jaga adalah cermin dari kehormatan dan identitas keluarga mereka.

Adat yang diterapkan dalam pernikahan bukan hanya sekadar aturan, tetapi juga sebuah simbol status sosial dan keberhasilan dalam menjaga tradisi. Namun, ketika kedua keluarga memiliki penafsiran yang berbeda tentang adat yang seharusnya diterapkan, sering kali terjadi pertentangan yang bisa berlarut-larut.

Pihak laki-laki yang berasal dari Pariaman, misalnya, akan merasa bahwa Bajapuik dan pembekalan yang diberikan oleh pihak perempuan adalah bagian dari kehormatan keluarga, sedangkan pihak perempuan dari Payakumbuh mungkin merasa beban tersebut terlalu besar dan tidak relevan dengan kebutuhan mereka.

Ketegangan ini kemudian sering kali memunculkan sikap ego dari kedua belah pihak, yang pada gilirannya memperburuk situasi. Namun, meskipun ego adat seringkali menjadi penghalang dalam proses pernikahan, mamak, sebagai pemimpin dalam keluarga besar, memiliki kemampuan untuk menurunkan ego tersebut demi kelancaran acara pernikahan.

Sebagai mediator, mamak harus mampu melihat lebih jauh dari sekadar perbedaan adat yang ada dan memahami tujuan utama dari prosesi pernikahan, yaitu untuk menyatukan dua individu yang saling mencintai dan menghargai satu sama lain.

Ini adalah saat di mana mamak harus menurunkan egonya dalam mempertahankan adat yang mereka anut demi menjaga keharmonisan antara kedua keluarga. Salah satu cara yang dilakukan mamak untuk menurunkan ego adat adalah dengan membuka ruang dialog dan musyawarah antara keluarga besar dari kedua belah pihak.

Dalam musyawarah ini, setiap pihak diberikan kesempatan untuk menyampaikan pandangannya, termasuk dalam hal pembekalan, suduik, dan cara pelaksanaan adat lainnya. Mamak dapat berperan sebagai penengah yang bijaksana, mengarahkan kedua belah pihak untuk menemukan titik tengah yang bisa diterima oleh semua pihak.

Dengan kesediaan mamak untuk menurunkan ego adat, banyak kasus pertentangan dapat diselesaikan melalui konsensus bersama. Pihak perempuan dari Payakumbuh mungkin akhirnya dapat menerima beberapa elemen adat dari Pariaman, sementara pihak laki-laki dari Pariaman juga mengakomodasi kebutuhan atau pandangan adat dari pihak perempuan.

Pada akhirnya, mamak yang bijaksana akan melihat bahwa persatuan dan kebahagiaan calon pengantin adalah tujuan akhir yang lebih penting daripada sekadar mempertahankan ketatnya aturan adat.

Dalam masyarakat Minangkabau yang semakin dipengaruhi oleh modernitas, kemampuan untuk menurunkan ego adat dan menyesuaikan diri dengan perubahan zaman sangat penting. Adat Minangkabau yang kaya dengan tradisi dan filosofi, harus mampu beradaptasi dengan dinamika sosial yang ada, tanpa mengorbankan esensi dan nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya. (Pitradi, 2021)

Mamak, sebagai garda terdepan dalam menjaga dan melaksanakan adat, perlu memiliki pemahaman yang mendalam tentang pentingnya keberagaman dan fleksibilitas dalam menjalankan adat. Sebagaimana pepatah Minangkabau yang mengatakan, "Adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah," adat yang baik adalah yang sesuai dengan syariat dan juga bisa beradaptasi dengan kondisi zaman.

Mamak yang bijak akan mengerti bahwa adat bukanlah sesuatu yang kaku, melainkan suatu proses yang terus berkembang sesuai dengan kebutuhan dan keharmonisan masyarakat.

KESIMPULAN:

Pernikahan yang melibatkan dua keluarga dengan latar belakang adat yang berbeda, seperti antara Payakumbuh dan Pariaman, seringkali menimbulkan ketegangan dan pertentangan terkait adat yang harus diterapkan. Hal ini mencerminkan betapa pentingnya peran adat dalam kehidupan sosial masyarakat Minangkabau.

Ketika perbedaan adat ini tidak dapat dijembatani, pernikahan bisa terhalang atau tertunda. Namun, melalui musyawarah dan pengertian, mamak dari kedua belah pihak dapat menurunkan ego adat mereka demi kelancaran prosesi pernikahan.

Dengan adanya dialog dan musyawarah antar keluarga besar serta kesediaan untuk beradaptasi dengan perubahan zaman, konflik ini bisa diminimalisir. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun adat memiliki peran yang sangat penting dalam masyarakat Minangkabau, fleksibilitas dan kesediaan untuk beradaptasi dengan situasi dan perkembangan zaman adalah kunci dalam menjaga keharmonisan keluarga dan masyarakat.

Sehingga proses pernikahan dapat berjalan sesuai dengan kehendak kedua belah pihak tanpa meninggalkan esensi dan makna yang terkandung dalam adat Minangkabau.

Sumber: Skripsi dari Revalysa Zovi Nurjannah, Muhammad Nazif, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Andalas Dengan judul TRADISI PERNIKAHAN DI MINANGKABAU: PERBANDINGAN ADAT MAISI SASUDUIK DAN BAJAMPUIK

Editor: Yzh cover_minangindo

dari akun FB cover_minangindo
Tags

Posting Komentar

0 Komentar

Below Post Ad