MONOPOLI NARASI



DALAM beberapa hari perang Iran-Israel ini, ada sebuah gugatan yang berasal dari kesadaran baru: Sudah benarkah kesimpulan kita berdasar narasi-narasi yang selama ini kita konsumsi? Narasi yang membuat sebagian besar kita menyimpan kebencian pada Syiah, bahwa Syiah ini adalah begini dan begono, yang bermuara pada penilaian buruk?

Kesadaran yang lain sebenarnya telah lebih dulu didapat publik di Amerika, Eropa dan masyarakat non-muslim lainnya. Bahwa mereka yang selama ini percaya begitu saja dengan stigma Islam jahat, bengis, teroris dan lainnya. Sehingga islamophobia mengental dalam hati dan pikiran mereka. Mereka, masyarakat barat yang dicecoki dengan narasi dikotomi Suni-Syiah dan membenci salah satunya.

Penyakit akut itu akhirnya berangsur-angsur pulih. Obatnya ternyata adalah kemajuan dunia teknologi internet, android, smarphone yang melahirkan media sosial. Sehingga sumber informasi kini tidak lagi dimonopoli oleh media mainstream (koran, televisi dan radio) milik para kapitalis. Jika selama ini berita-berita miring tentang Islam, tentang dunia Islam, tentang politik Islam diproduksi oleh media-media barat dan lokal yang berafiliasi ke kapitalis barat, sekarang peran jahat itu tak lagi sepenuhnya mereka kendalikan. Sebaliknya, citizen journalism atau jurnalisme warga ala media sosial mengambil alih pencarian dan penyebaran informasi. Mulai dari pesan SMS, blog pribadi, Facebook, Instagram, WhatsApp, TikTok hingga kanal Youtube, semuanya kini leluasa memberitakan. Akibatnya, publik mendapatkan perspektif baru perihal peristiwa demi peristiwa. 

Hal baru inilah yang diteriakkan anak-anak muda di barat dalam protes kepada pemimpin negara mereka. "Kami tak bisa dibohongi lagi. Sekarang kami sudah tahu semuanya apa yang sebenarnya kalian lakukan selama ini!" teriak mereka.

Sementara di kalangan umat Islam, kejumudan cara padang yang cenderung dibuat oleh narasi para pemimpin agama, kini mulai mencair. Bayangkan, umat muslim selama berpuluh tahun sibuk bertengkar dan berebut narasi saling menyalahkan, saling mengharamkan, saling membid'ahkan dan saling mengklaim pemahaman fiqih merekalah yang paling benar. 

Kesadaran anak-anak muda dan masyarakat barat dari kebuntuan informasi, harusnya juga menginspirasi umat muslim. Bahwa selama ini kita dicecoki dengan narasi-narasi berbau kebencian antara Sunni vs Syiah, Wahabi vs Aswaja, dsb. 

Dengan peristiwa Operasi True Promise III ini tiba-tiba kita menjadi bertanya-tanya, narasi permusuhan  yang disampaikan para pendakwah selama ini tentang Syiah apakah harus ditelan mentah-mentah? Apakah kita harus percaya begitu saja lantaran yang menyampaikan adalah para ustad yang notabene  konon memiliki otoritatif keilmuan, dan kita tak boleh membantah?

Misalnya, dalam banyak artikel yang membahas Syiah, hampir pasti selalu dimunculkan poin-poin keburukannya, bahkan kadang disebut munafik, berkamuflase, diam-diam bersekutu dengan yahudi, dsb, dsb. Tulisan-tulisan semacam itu bertahun-tahun kita konsumsi. Sementara sebagai konsumen informasi kita tidak mendapatkan informasi lain dari sumber berbeda. Jadilah kita percaya dan akhirnya ikut membenci Syiah. 

Selama ini kita juga tidak mendengar para da'i dan pehdakwah membahas perilaku para penguasa di negara-negara berbasis Islam. Para da'i kita hanya tenang-tenang saja melihat bagaimana politik ambisius dan munafik dimainkan oleh anggota kerajaan atau keluarga para emir dengan Amerika, Inggris, Perancis dan negara kapitalis lainnya. Mereka sibuk mengamankan tahta kekuasan dengan membayar Amerika sebagai bodyguard. Sementara, di sebalik dapur mereka, Palestina terkapar dianiaya Zionis berpuluh tahun.

Ayathollah Ali Khamenei sebenarnya juga menyimpan kegusaran serupa. Ia meminta umat Islam di seluruh dunia berhenti dari memperuncing perbedaan yang selalu diprovokasi barat. Termasuk kritiknya pada sebagian rakyat Iran yang termakan provokasi dengan membenci kaum Sunni. Kalau sejak dulu persatuan umat Islam bisa dilahirkan, maka tak akan ada negara  Zionis, katanya. 

Boleh jadi bagi sebagian orang ini trik Ali Khamenei agar mendapat dukungan total umat Islam. Tapi, yang harus diingat, Iranlah satu-satunya yang tersisa yang terang-terangan melawan Israel. Kalau selama ini Iran memakai proxy Houthi di Yaman, Hisbullah di Libanon dan Hamas di Palestina untuk melawan Israel, kini Iran turun tangan langsung. Iran percaya diri, karena pengalaman 46 tahun diembargo barat tak membuatnya melemah dan mengemis aliansi, mereka tetap eksis dan bahkan kini membuat kejutan besar. (Oce)
Tags

Posting Komentar

0 Komentar

Below Post Ad