Nasib Wartawan Kontributor

ilustrasi: lovepik.com




Surat Terbuka Rieska Wulandari
Anggota Asosiasi Jurnalis Independen dan Asosiasi Jurnalis Asing di Italia. 
Ketua IKATAN SARJANA (ILMU) KOMUNIKASI  (ISKI) Cabang Eropa, mukim di Milan, Italia.

Dengan segala hormat, kepada manajemen media massa di tanah air dan para pembaca yang budiman. 

Waktunya Merenungkan "Kaum Nombok".

Istilah kontributor terdengar prestisius, tapi justru sangat melemahkan posisi jurnalis di manapun, sebab sesuai arti kata, maka  konteks keterlibatan mereka pada produksi laporan, dianggap sebagai "penderma". 

Kerja kerasnya tidak diakui secara profesional, alih-alih mendapat perlindungan secara keamanan independensi dan finansial, mereka adalah kaum paling nombok. 

Dalam konteks kontributor, praktek jurnalisme dianggap hobi, bukan dianggap profesi. Artinya, honornya pun suka-suka perusahaan tersebut. Kalaupun ada standar, tak jelas berdasarkan apa.

Saya secara pribadi, menentang istilah kontributor karena tidak mencerminkan niat baik dari manajemen perusahaan dan media. 

Menjadi kontributor tidak akan serta merta mengangkat harkat jurnalis semasa kariernya dan sepanjang hayatnya karena tidak ada jaminan akan diangkat menjadi karyawan tetap apalagi masuk dalam jejaring jenjang karier jangka panjang. 

Diantara kolega-kolega jurnalis, ada kontributor yang sudah lebih dari lima tahun tahun tak juga diangkat jadi karyawan tetap. 

Menjadi kontributor, mereka tidak mendapat gaji bulanan, hanya honor berdasarkan berita. Kalau beritanya sering dimuat dan diakumulasi, kelihatan banyak, tapi jika dibandingkan biaya produksi, kerap kali, secara matematis dan ekonomi, jangankan untung, yang ada nombok!

Kontributor media di Indonesia yang berlokasi  di daerah juga di luar negeri, hanya memiliki hak budget yang sangat terbatas untuk memproduksi berita yang berkualitas. 

Demikian juga honorarium, bisa dikatakan sangat tidak imbang dengan upaya mereka dalam menghasilkan sebuah reportase. 

Ada istilah lain yang lebih "manusiawi dan profesional" yaitu koresponden/stringer/freelancer/jurnalis lepas, mereka biasanya setelah jurun waktu tertentu (maksimal 2 tahun),  bisa diangkat menjadi karyawan.

Jurnalis lepas,  tidak perlu diangkat jadi karyawan karena mereka meliput atau ditugaskan oleh banyak media dengan  honor yang cukup masuk akal, agar dia mampu menjaga kualitas dan independensi laporan-laporanya.

Lalu ada yang berseloroh; kalau begitu, jadi koresponden media asing saja, honornya  lebih banyak. Ya itulah yang terjadi, para senior dan jurnalis hebat memilih melapor kepada media asing, mereka jelas terjamin secara ekonomi dan mampu menjamin kredibilitas laporan mereka.

Namun, perlu diingat, media asing hanya akan membahas kebutuhan dan perspektif negara mereka sendiri. Meski jurnalis harus menghamba pada kebenaran, tiap media punya kebijakan redaksinya internal, sesuai dengan konteks dan kebutuhan negara mereka sendiri, ini yang disebut perspektif.

Kalau semua jurnalis bekerja pada media asing, bagaimana media menjamin kebutuhan masyarakat terhadap informasi yang faktual dan benar?

Negara dan perusahaan media nasional  punya tanggungjawab besar pada kepentingan ini. 

Sekali lagi, publik pembaca/pemirsa punya hak untuk mendapatkan berita berkualitas dan itu dimulai dari menjamin keamanan dan kebutuhan harkat dan martabat pelapor-pelapornya. 

Bagaimana nasib para kontributor di daerah dan luar negeri? 

Di luar negeri kontributor kebanyakan adalah para mahasiswa/i/Ibu rumah tangga yang dikaryakan untuk menyumbang pandangan mata mereka kepada media. Ini tidak Salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Karena mereka tidak memiliki cukup wawasan, apalagi akreditasi, untuk bisa menyampaikan sebuah laporan yang bisa dijamin standarnya. Karena dianggap kerja sambil lalu, dan honornya juga tidak masuk akal, bisa dibayangkan sulitnya mendapat kontributor yang punya kualitas.

Sementara di lapangan, kontributor juga harus bisa memperlihatkan/mendapatkan akreditasi untuk mengumpulkan bahan liputan dan akses wawancara pada tokoh-tokoh yang relevan dan kompeten dengan isu yang sedang dilaporkannya atau diminta oleh medianya.

Para kontributor daerah, nasibnya juga tak lebih baik. Mereka sedemikian kesulitan dengan ekonomi sampai harus tergantung pada berbagai kompromi.

Jangan sampai ada pendapat "sudah diangkat jadi kontributor saja sudah syukur" tapi ingatlah berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan kalau harus mengirim jurnalis seketika itu juga ke sebuah lokasi yang jauh dari kantor pusat.  

Jika jurnalis mulai berkompromi karena motif ekonomi, ini sangat berbahaya bagi media dan bagi pembaca, karena produk tulisannya tak lagi kredibel.

Nasib kontributor jelas sangat harus menjadi perhatian semua pihak. 

Laporan pada tautan di bawah ini bisa menjadi referensi menarik. 

https://kediripedia.com/kontributor-makhluk-apakah-itu/

Semoga tulisan ini bisa menjadi masukan yang positif bagi manajemen dan perusahaan pers di Indonesia dalam membangun kualitas sumber daya manusia yang masuk dalam jaringannya. 

Selamat Hari Pers Nasional!

Rieska Wulandari.
Alumni Jurusan Jurnalistik, Fikom Unpad.
Anggota Asosiasi Jurnalis Independen dan Asosiasi Jurnalis Asing di Italia. 
Ketua IKATAN SARJANA (ILMU) KOMUNIKASI  (ISKI) Cabang Eropa, mukim di Milan, Italia.

Posting Komentar

0 Komentar

Below Post Ad