𝐒𝐄𝐍𝐉𝐎𝐄𝐌𝐀𝐍 𝐃𝐈 𝐃𝐄𝐊𝐄𝐓 𝐅𝐀𝐃𝐉𝐀𝐑
Ringkasan Kisah Bacaan Sastra “𝐓𝐣𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐑𝐨𝐦𝐚𝐧” No. 18, Juni 1930. 
Oleh: 𝐃𝐚𝐧𝐧𝐲 𝐓𝐣𝐢𝐚

“Kaloe akoe liat itoe ada satoe matjem kamoelia’an; Pengorbanan berat-enteng akoe nanti lakoehken zonder kesangsian; Tapi achirnja akoe merasa itoe ada satoe kakliroean; Seperti lakoehnja tonggeret poenja kebodoan; Mendjerit dimoesim oedjan – meratap dan berkeloean; Boeat iringken sang bajangan dari doenia impian.”

Demikianlah syair pembuka yang ditulis oleh 𝐓𝐚𝐧 𝐒𝐢𝐨𝐞 𝐓𝐣𝐡𝐨𝐚𝐧 sebagai nasihat untuk Moeljono, tokoh dalam novelnya yang berjudul: “𝐒𝐞𝐧𝐣𝐨𝐞𝐦𝐚𝐧 𝐝𝐢 𝐃𝐞𝐤𝐞𝐭 𝐅𝐚𝐝𝐣𝐚𝐫” yang diterbitkan oleh bacaan sastra “𝐓𝐣𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐑𝐨𝐦𝐚𝐧”, edisi bulan Juni 1930. Dengan akal, budi dan kecerdasannya, manusia jangan sampai hidup seperti tonggeret. Jenis serangga ini hidup hanya untuk makan dan melakukan tidur yang panjang; dan saat muncul ke permukaan tanah, ia hanya bisa meratap dan berkeluh-kesah (mengeluarkan bunyi bising, pen.) sesaat sebelum kematian tiba. 

Moeljono adalah putra tunggal dari Raden Andjikoesoemo, mantan Patih di Oost-Preanger, yang setelah pensiun bertempat tinggal di Tegal. Karena bekerja sebagai candidaat Gediplomeerd Ambtenaar Inlandsch Bestuur di Pratjat, maka Moeljono memilih tinggal di Slawi, rumah adik dari ibunya, Raden Rekso Mangoenwidjojo. Di kota Slawi inilah awal mula cintanya pada gadis bernama Noerjati, bersemi.

Kejadiannya berawal dari peristiwa kecelakaan yang nyaris menimpa diri Soepardi, adik angkat Noerjati. Soepardi yang asyik mengejar kupu-kupu, sampai ke tengah jalan, tidak menghiraukan seruan kakaknya bahwa ada mobil melintas di jalan tersebut. Moeljono yang kebetulan lewat dan melihat bocah Soepardi dalam bahaya, tanpa memikir keselamatan dirinya, memotong laju mobil dengan sepeda yang dikendarai. Tak ayal, tubuh Moeljono terpental ke trotoar dan darah mengucur dari dahinya. Antara sadar dan tidak sadar ia masih bisa mencegah warga yang hendak menghakimi pemuda Tionghoa pengendara mobil dengan berucap bahwa semua itu adalah kesalahan dirinya. Pemuda Tionghoa yang merasa tertolong menyampaikan terima kasih dan memuji kebaikan budi Moeljono. 

Karena kasihan dan kagum pada pemuda penyelamat adiknya, Noerjati dalam kebingungan tanpa ragu mengambil kain kerudungnya untuk menyusut darah Moeljono. Dengan bantuan pemuda Tionghoa tersebut, Noerjati lalu membawa Moeljono ke klinik Doekoehwringin dan menungguinya sampai dokter klinik selesai menjahit dan mengobati luka pemuda penyelamat adiknya. 

Sejak peristiwa tersebut, timbul rasa suka dalam diri Moeljono terhadap perlakuan dan sikap lembut yang ditunjukkan oleh Noerjati saat ia dirawat di klinik Doekoehwringin. Perasaan yang sama juga dirasakan oleh Noerjati. Gadis putri Tirtodiredjo ini merasa bahwa Moeljono bukan hanya pemuda yang baik, tetapi sangat bertanggungjawab dan mempunyai rasa kemanusiaan yang tinggi. Oleh karena itu, beberapa waktu berselang, saat Moeljono menyatakan rasa cinta pada dirinya, Noerjati tidak menampik cinta pemuda yang dibesarkan dari lingkungan keluarga priyayi ini.

Hubungan dekat Moeljono dan Noerjati tidak lama terendus oleh Siti Resijah, istri dari mantan Asisten Wedana wilayah Pemalang Regentschapen, Raden Rekso Mangoenwidjojo. Tanpa sepengetahuan Moeljono, keluarga Raden Rekso Mangoenwidjojo dan Raden Andjikoesoemo ternyata mempunyai rencana lama untuk menjodohkan Raden Moeljono dengan Raden Adjeng Arinah, putri Raden Rekso Mangoenwidjojo, yang tidak lain adalah putri pamannya sendiri. Atas laporan dari Raden Rekso dan Siti Resijah, keluarga Raden Andjikoesoemo merasa khawatir atas hubungan dekat Moeljono dengan Noerjati. Selain tidak sesuai dengan rencana perjodohan putra-putri mereka, Noerjati dianggap kurang pantas bersanding dengan Moeljono yang berasal dari kalangan priyayi. 

Sepulang kunjungan ke Tegal, Raden Rekso Mangoenwidjojo mengundang Tirtodiredjo ke rumahnya dan meminta ayah Noerjati ini memutuskan hubungan anaknya dengan Moeljono. Permintaan Raden Rekso ini dianggap sebuah penghinaan oleh Tirtodiredjo yang dikenal sebagai satu macan dari Desa Kemanglen. Ia yang selama ini memberikan kebebasan kepada anaknya untuk memilih jodoh yang diinginkan lantas menggebrak meja tamu sang priyayi, dan menyatakan siap menghadapi langkah apapun yang akan diambil oleh keluarga Raden Rekso dan Raden Andjikoesoemo.  

Sesampai di rumah, Noerjati mendapati ayahnya tidak seperti biasa. Tirtodiredjo nampak murung seperti memikirkan sesuatu yang amat berat. Sejatinya ia tak sampai hati menceritakan masalah yang dihadapi kepada Noerjati, anak kesayangan yang telah ditinggal mati ibunya sejak usia kecil. Namun, karena desakan Noerjati, akhirnya Tirtodiredjo menyampaikan permintaan keluarga Raden Rekso agar Noerjati menjauhi Moeljono karena mereka dianggap tidak pantas bersanding dengan alasan perbedaan tingkatan sosial. Noerjati yang penurut dan mewarisi watak keras ayahnya menyatakan siap menerima permintaan tersebut walau hatinya sangat terluka. Ia menolak rencana ayahnya membalas sakit hati dan penghinaan yang telah diterima dengan cara pertumpahan darah.

Moeljono yang tidak tahu apa-apa perihal pembicaraan Raden Rekso dengan Tirtodiredjo, dan keputusan Noerjati untuk tidak mau lagi menerima kunjungan Moeljono, membuat pemuda ini menjadi bingung dan tidak mengerti. Karena terus bertandang dan berusaha keras menemui, akhirnya Noerjati memberi sedikit kesempatan buat Moeljono untuk bertemu. Dengan wajah pucat pasi dan hati yang luka, Noerjati menyampaikan bahwa hubungan mereka telah berakhir. Noerjati tidak mengungkap alasan sesungguhnya dari keputusannya itu, sebab ia tidak ingin melihat keluarga Moeljono menjadi berantakan. Noerjati hanya mengatakan bahwa ia telah salah langkah saat menerima pernyataan cinta Moeljono; dan kini, setelah sadar dari kesalahan, ia memutuskan untuk menjauh dari kehidupan dan mimpi-mimpi muluk untuk bersanding di pelaminan bersama pemuda pujaannya itu. 

Karena tidak mengetahui alasan sesungguhnya dari pemutusan hubungan mereka, Moeljono beranggapan bahwa Noerjati telah mengkhianati cintanya. Moeljono lalu pergi dengan hati yang luka dan hancur. Ia segera meninggalkan kota Slawi dengan menumpang kereta api jurusan Poerwokerto tanpa maksud dan tujuan yang jelas. Pekerjaannya ia tinggalkan pula dengan risiko diberhentikan sebagai candidaat Gediplomeerd Ambtenaar Inlandsch Bestuur. Selama hampir dua minggu ia tidak pernah keluar dari “Trom-hotel”, kecuali untuk mencari makan. Itu pun jika berselera. Dari gelagatnya nampak Moeljono tidak mampu mengatasi masalah dan menyiksa dirinya dengan pertanyaan yang belum terjawab: “Kenapa kesucian dan kesungguhan cintanya dikhianati oleh gadis lembut penuh perhatian yang selama ini dipuja-pujinya?”

Keberadaan Moeljono di “Trom-hotel” Poerwokerto secara tidak sengaja diketahui oleh Liem Hwat-soen, pemuda Tionghoa yang pernah menabraknya saat ia menyelamatkan bocah Soepardi di jalanan kota Slawi. Hwat-soen merasa prihatin melihat kondisi Moeljono yang nampak tertimpa masalah berat. Ia menyapa Moeljono, dan setelah berusaha menyegarkan kembali ingatannya, Hwat-soen mengundang Moeljono untuk mengunjungi rumahnya jika ia masih berada di Poerwokerto.

Sepulang Hwat-soen dari “Trom-hotel”, Moeljono yang belum sepenuhnya mengingat jatidiri Hwat-soen, karena saat peristiwa kecelakaan dirinya berada dalam kondisi antara sadar dan tidak sadar, merasa penasaran dan memutuskan untuk menerima undangan berkunjung ke rumah Hwat-soen. Bukan main senangnya hati Hwat-soen saat Moeljono mau mengunjungi rumahnya. Ia lalu mengenalkan istrinya, Mariani, kepada Moeljono. Saat mengetahui bahwa istri Hwat-soen adalah seorang perempuan bersuku Jawa, tapi kehidupan mereka penuh kerukunan, luka hati Moeljono kembali terkoyak. Ia berpikir, kenapa cinta dua orang berlainan sukubangsa bisa mewujud dalam mahligai pernikahan, tapi cinta sucinya pada Noerjati berakhir dengan sebuah pengkhianatan.

Di kota Slawi, Moeljono tidak mengetahui bahwa kehancuran hati yang dialami oleh Noerjati justru lebih hebat. Karena memendam rasa sakit di hati dan cinta yang terhalang tembok tinggi, Noerjati berkali-kali mengalami muntah darah. Rambutnya awut-awutan dan tubuhnya tinggal kulit dan tulang. Saat sang ayah ingin membalaskan sakit hatinya dengan mendatangi rumah Raden Rekso, Noerjati tetap menghalangi niat ayahnya dan berpesan agar jangan sampai terjadi pertumpahan darah. Karena tak lagi mau menyentuh makanan, akhirnya hari kematian Noerjati pun tiba. Sejak kematian sang anak, Tirtodiredjo menjadi limbung. Untuk menenangkan diri, ia sering duduk bersemedi dan tidur di pusara anaknya. Sampai pada hari yang naas, ia mendapati Raden Rekso tengah berjalan bersama seorang kawan, dekat tanah pekuburan Noerjati. Dengan beringas Tirtodiredjo menghunus keris dan mengejar Raden Rekso. Sebuah tusukan keris hanya membuat luka di tangan Raden Rekso, tapi sejurus tendangan temannya membikin Tirtodiredjo jatuh tersungkur dengan keris menembus dada. Tirtodiredjo tewas dengan amat mengenaskan. Peristiwa ini disaksikan oleh Soepardi yang waktu itu mengikut ayah angkatnya mengunjungi pusara Noerjati.

Melihat kondisi Moeljono yang semakin memburuk, sehingga harus dirawat di rumah sakit, Hwat-soen mengambil inisiatif untuk memberitahu keluarganya. Karena tidak mendapatkan alamat dari Moeljono, Hwat-soen mencari alamat Raden Rekso dengan bertanya kepada sejumlah orang yang tinggal di Slawi. Ketika sampai ke alamat yang dituju, kebetulan di rumah Raden Rekso ada Raden Adjeng Arinah yang tengah mengambil cuti dan pulang ke rumah orangtuanya. Mendengar kabar tentang kondisi Moeljono, Raden Adjeng Arinah yang sejak usia kanak-kanak sangat dekat dan sayang pada Moeljono memutuskan berangkat ke Poerwokerto untuk merawat kangmasnya. 

Kehadiran Raden Adjeng Arinah cukup membantu pemulihan kesehatan Moeljono, terlebih Arinah sangat telaten dan sayang pada kakak sepupunya itu. Perlahan Moeljono sembuh dari sakitnya dan bisa pulang untuk menjalani perawatan jalan. Tapi, begitu akan menyelesaikan administrasi pembayaran rumah sakit, Moeljono terkejut ketika mendapati bahwa semuanya telah dibereskan oleh Hwat-soen. Moeljono merasa berhutang budi, namun dibalik semua itu ia mendapat pelajaran berharga tentang nilai sebuah persahabatan. 

Setelah sembuh, Moeljono dan Arinah memutuskan untuk pulang ke Slawi. Setelah beberapa hari tinggal di rumah Raden Rekso, ia berkesempatan menemui Soepardi yang saat itu sudah bersekolah di Taman Siswo kota Slawi. Dari Soepardi ia mendapat cerita tentang keadaan Noerjati sebelum meninggal dan apa yang dialami oleh Tirtodiredjo sebelum menemui ajalnya. Betapa terpukulnya hati Moeljono karena ia merasa sangat bersalah dengan dugaan-dugaan buruk tentang pengkhianatan cinta Noerjati. Moeljono pingsan di samping Soepardi. Setelah siuman, ia minta diantarkan ke pusara mantan kekasihnya itu dan Moeljono meminta maaf atas segala kesalahannya dengan mendoakan agar roh suci Noerjati bisa diterima di sisi Allah yang Mahakuasa karena kemurnian hatinya.

Di akhir cerita, Moeljono yang bersifat keras akhirnya bisa menerima permintaan ibunya untuk berjodoh dengan Raden Adjeng Arinah yang berhati lembut. Selain untuk menunjukkan bhakti pada orangtua, jodoh yang dipilih oleh kedua orangtuanya ternyata adalah adik sepupu sendiri yang sejak kecil sudah sangat dekat dan sangat dicintanya. “Sang Goak (gagak) boleh tjoba loekisken pemandengan; Diatas tangkei itoe Perkoetoet jang zonder pasangan; Bagimana hatinja kaloe dilengkepin itoe kekoerangan; Apakah ia bakal djadi bersedi atawakah kagirangan.”

Sumber FB Masa Hindia Belanda -  Mawar Merah