Oce Satria

ADA sebagian intelektual dgn bangga mencoba membuat rivalitas kuasa, antara Allah dengan Covid.

Dia bilang begini, HANYA COVID YANG MAMPU  melarang orang salat, melarang orang ke mesjid, jumatan..  dst, dst.

Kesimpulan itu seolah hebat.

Dia lupa, beberapa waktu saya jatuh dari motor, dan saya melarang diri saya sendiri jumatan, karena faktor force major itu; lutut dan ligamen tak bisa digerakkan, sulit sekali berjalan. Jumat Saya ganti dgn salat dzhuhur.

Apakah  ban bocor saya hebat hingga membuat saya gagal jumatan?

Tak ada yang hebat kalau soal itu. Allah yang bekerja atas semua hal, termasuk pandemi. 
Dan semua "halangan" itu tak serta merta mendown grade alias menurunkan martabat Allah. Kewajiban tetap harus dipikul dengan pilihan subtitusi yang diberikan Allah. Ada pengganti yang nilainya sama dgn kewajiban yang diganti.

So, bukanlah Covid telah mengalahkan Allah, tetapi kehendak Allah-lah yang sedang Dia tunjukkan. Dan Dia sekaligus menyertakannya dengan pilihan-pilihan yang harus kita peras dari kecerdasan insani kita. 

Dua dimensi takdir yakni qadha dan qadar mesti juga dipahami. Tentang ketetapan Allah Swt yang telah tertulis di Lauh al-mahfudz sejak zaman azali, yang bersifat fundamental. Pun tentang keputusan Allah Swt dalam kadar tertentu sesuai dengan kehendak-Nya, baik berupa keberuntungan maupun musibah.

Sesimpel itu memahaminya.

"kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Perkasa atas segala sesuatu." (Q.S: Ali  Imran [3]:189)

Allah menurunkan ayat 163 dari Surah Al-Baqarah, ketika orang-orang kafir Qurais meragukan kebesaran Allah sebagai Tuhan Sang Pencipta alam. Dan ketika orang kafir berkata, “Bagaimana tuhan yang satu bisa mengasihi seluruh manusia?” saat itu pula Allah menurunkan ayat ayat 164 dari Surah Al-Baqarah yang berisi tentang bukti-bukti kekuasaan Allah di alam semesta.


وَإِلَٰهُكُمۡ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞۖ لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلرَّحۡمَٰنُ ٱلرَّحِيمُ

“Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.” (QS: Al-Baqarah [2]: 163).

Adapun kandungan ayat bahwa “Ilah” adalah tempat manusia meminta pertolongan, tempat manusia bergantung kepada-Nya, menyembah-Nya, memuji-Nya, mensucikan-Nya, dan bersimpuh dan tunduk patuh kepada-Nya, memohon seluruh keperluan kepada-Nya, tempat berlindung dari segala marabahaya kepada yang Maha  satu, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala, tiada Ilah yang berhak disembah kecuali Dia. Ini sesuai dengan firman-Nya;

وَاِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِى الْبَحْرِ ضَلَّ مَنْ تَدْعُوْنَ اِلَّآ اِيَّاهُۚ فَلَمَّا نَجّٰكُمْ اِلَى الْبَرِّ اَعْرَضْتُمْۗ وَكَانَ الْاِنْسَانُ كَفُوْرًا

“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilang semua yang (biasa) kamu seru, kecuali Dia. Tetapi ketika Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling (dari-Nya). Dan manusia memang selalu ingkar (tidak bersyukur).” (QS: Al-Isra [17]: 67).

Dikuatkan juga dengan firman-Nya,

وَمَا بِكُمْ مِّنْ نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ ثُمَّ اِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَاِلَيْهِ تَجْـَٔرُوْن

“Dan segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allah, kemudian apabila kamu ditimpa kesengsaraan, maka kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan.” (QS: An-Nahl [16]: 53).