Media dan Pemberitaan Habib Rizieq Syihab




Tulisan lama, barangkali kontekstual utk peristiwa berdarah di tol kemarin dan cara media menyikapinya.🙏

SEBERAPA GREGETNYA MEDIA

*Oce Satria (Tukang Kabar)

Sudah ngopi belum?
Kalau belum, seduhlah dua sendok kopi dan gula sepertiga dari itu. Aduklah sembari membaui asap yang mengepul dari gelas sambil memejamkan mata me-reka fantasi. Dan tunggu sampai suhu yang memungkinkan lidah mengecapnya. Kita ngobrol.

Perbincangan di mana-mana hari-hari ini masih seputar Reuni 212 yang spektakuler itu. Perasaan takjub, tak percaya, dan tentu saja bangga menggelayut di dada setiap pribadi yang mengikuti, mereka yang menyaksikan di televisi, membacanya di media (arus utama atau sosial). Responnya sama: kagum dan bangga.

Di seberang yang kagum dan bangga itu, berserakan juga mereka yang tak mau menampakkan dua hal itu. Mereka itu sesungguhnya malu-malu kucing mengakui kekaguman, apalagi memuji. Pantanglah bagi mereka berucap kagum. Reaksi yang diperlihatkan oleh mereka yang di seberang ini bahkan mencoba mendegradasi fakta tanggal 2 Desember di Monas itu, sembari menyematkan tuduhan dan kesimpulan sesuai posisi dari mana mereka berangkat (pastilah dari seberang).

Okelah, satu peristiwa disikapi berbeda. Ini hanya persoalan nisbi dan mutlak dalam sudut pandang orang. Tergantung pada apa yang disebut tadi: dari mana berangkatnya.

Dalam ilmu fisika, gerakan sebuah benda disebut relatif. Contohnya ketika kita berada di dalam mobil yang sedang bergerak dari titik A ke titik B. Kita dikatakan bergerak relatif terhadap posisi A. Akan tetapi kita tidak dikatakan bergerak terhadap mobil karena memang kita tetap di dalam mobil. Itu artinya, bahwa satu tindakan dapat diinterpretasikan dalam dua keadaan tergantung acuannya.

Lantas terkait cara media di Indonesia memperlakukan peristiwa Reuni 212 dalam tugas jurnalistiknya, kini juga berada dalam kenisbian itu. Jika dulu kita diterangkan soal independensi pers, dan itu terlihat gagah, kini orang mulai permissif atas ketidakindependenan media saat ini. Banyak teori dan alasan untuk memaklumi bahkan membenarkan sikap partisan media itu.

Dan seperti kebiasaan kita, menjadikan apa yang terjadi di luar negeri sebagai preseden, sebagai pemaklum, dan rujukan, bias media juga terjadi di Amerika. New York Times dan Washington Post dua media besar dan diketahui mereka beragama liberal. Yang lebih ekstrim lagi leberalnya adalah Huffington Post dan Mother Jones. Liberal kiri.

Di seberangnya ada Drudge Report yang sangat konservatis. The Blaze juga dianggap kanan ekstrem.

Mungkin hanya beberapa yang dianggap kelompok washatan (pertengahan) seperti Wall Street Journal, USA Today dan BBC.

Bagaimana di Indonesia?
Secara kasat mata kuat dugaan saya media bias itu lebih terlihat pada media-media nasional yang di belakang mereka hulunya dipegang para tajir yang sekaligus ketua partai politik. Bias itu terang-terangan. Diakui atau tidak.

Berbeda dengan media di daerah, apalagi media kecil, cenderung lurus-lurus saja  menyikapi pertarungan politisi. Framming dan insinuasi adalah kata yang asing bagi media lokal. Ideologi media di daerah saya kira masih sama: washataniyah. ***

*Pekanbaru 8 2012
Redaksi TNCMedia

Support media ini via Bank Rakyat Indonesia (BRI)- 701001002365501 atau melalui Bank OCBC NISP - 669810000697

Posting Komentar

Silakan Berkomentar di Sini:

Lebih baru Lebih lama