Cerpen: Abak



Cerpen Satria Paling Nancep


KUPIKIR Abak melarangku. Tetapi dari bibirnya yang coklat kering itu Abak malah melepaskan senyum. Dan itu artinya Abak setuju aku berhenti kuliah. Ya, terlalau mengagetkan bagiku. Sebab sesungguhnya (itu dapat kuketahui dari pembicaraannya dengan ibu saban malam) ia menumpangkan harapan yang terlalu tinggi padaku. Toh dari lima orang anaknya, cuma aku yang bisa menginjak bangku perguruan tinggi, selebihnya cuma sampai SMP atau SMA. Jadi, boleh dikata aku ikut mendongkrak martabat keluarga.

"Kalau itu yang terbaik untukmu, silakan jalani. Kupikir kau sudah dewasa untuk memutuskan sesuatu untuk diri kau," kata Abak dengan senyum yang masih hangat. 

Aku tak berucap apa-apa. Kekagetanku atas tanggapan Abak masih belum habis, meskipun cuma kusimpan dalam dada. Kukira Abak tak mengetahuaianya. Celaka kalau ia sampai tahu. Sebab ia sudah pasti menuduh aku belum siap. Belum siap menghadapi kemarahannya, misalnya.

"Kau pasti terkejut atas tanggapanku, Raldi."

Oh, dia membaca isi dadaku. Betapa tajamnya pandangan mata batinnya. Pengalamankah yang mengajarkannya seperti itu?

"Tapi, seberapa pun terkejutnya kau,bukanlah aku akan menganggap kau tidak siap menghadapi tantangan. Kurasa itu sangat wajar. Manusiawi sekali. Artinya kau masih mdeletakkan perasaanku pada tempat terhormat. Bagus," sambungnya sambil menyulut rokok putih kegemarannya.

Aku masih duduk dengan perasaan yang amat kaku. Sudah kuduga, meski ini bukanlah kemarahan Abak, tapi jawabannya barusan merupakan tantangan pertama yang harus kuhadapi.

Tantangan lain yang sudah pula akan mengahdang. Angapan tetatngga, Mak Etek, Pak Tuo dan terutama Da Indra dan Da John bakal menjadi tamparan-tamparan yang tak mungkin kuelakkan. Sudah pasti aku akan dianggap telah berubah akal memutuskan berhenti kuliah hanya karena alasan yang tak masuk akal: Bosan. Kebosanan toh bisa diatasi dengan berbagai cara. Tak perlu dan tak masuk akal dijadikan alasan. Yang jelas mereka juga akan menyalahkan Abak. Abak terlaluaa lunak. Abak terlalu memercayai kedewasaan. Kenapa usia dijadikan ukuran kedewasaan? Pasti demikian tuduhan mereka.

"Saya tahu Abak bakal sama orang nanti. Seolah....," nyaris serak, suarku tercekat.

"Terima anggapan orang lain dengan dada lapang, Raldi. Macam-macam anggapan orang lain, semua mungkin menilai kau berhenti kuliah lantaran aku. Abak kau iani tak mampu mnembiayai kulihamu. Kenapa kau menjadi cengeng sekarang, setelah kau memutuskan sesuatu yang bagi orang lain mengjutkan? Aku tahu kau benar-benar tak berminat dengan kuliahmu. Kau merasa tak punya bakat di situ, bukan? Nah, bagiku semua itu sudah cukup menjadi alasan yang masuk akal. Aku tak suka memaksa-maksakan sesuatu, apalagi terhadap kau, yang dari dulu memang tak suka diatur." 

Suara Abak begitu ringannya. Namun jauh di dasar hatiku terasa amat berat menghunjam, seolah  menikam kedirianku yang nyaris lepas dan kandas.

Abak dulu seorang pekerja yang baik. Ia menjadi pegawai di sebuah perusahaan di kota ini. Sayang Abak keluar sebelum masa pensiun datang.  Menurut cerita Abak, di antar sesama pegawai di perusahaan  tempatnya bekerja tersebutterjadi intrik-intrik kotor. Termasuk Abak yang menjadi korbannya. Dan sebelum namanya dijelek-jelekkan di depan bos, ia putuskan untuk keluar. Dan Abak menganggap itu harus ia lakukan. Meski, tak ayal, Ibu mengomel menyesali tindakan Abak yang dinilainya kelewat nekad.

"Kuputuskan untuk menggarap tanah dan sawah peninggalan nenek kau di kampung ini," Abak bercerita ketika aku masih SMA kelas dua. \


o0o


Semua cerita itu setahun lewat. Masih tersisa gurat-gurat kenangan di hatiku sampai hari ini. Dari kehidupan kampus aku berkutat dengan garangnya kehidupan Jakarta. Menyesakkan! Teranyata menempuh kehidupan yang kuimpikan dulu tidak segampang cerita yang kudengar. Aku harus menelan ludah, menunggu kesempatan baik, agar bisa menjadi pemain film, meskipun itu untuk sekadar menajdi figuran sekalipun!

Kenapa kenyataan yang kudapati tidak seperti apa yang kubayangkan dulu? Wajahku kukira tak kalah tampannya dibanding bintang film paling top di negeri ini. Tapi aku tetap saja belum mampu menembus barikade di depan gerbang kehidupan dunia film.

Ingat kalimat-kalimat Abak yang meluncur dari mulutnya setahun lalu, "Perhitungan, Raldi. Perhitungan. Orang yang mampu berhitung ia akan mampu menemukan jalan."

"Tapi kenapa Abak tak memperhitungkan kemungkinan kehidupan kita seperti saat ini, ketika dulu Abak memutuskan keluar dari perusahaan tempat Abak bekerja?" aku mencoba mendebat.

"Jadi, kau anggap kehidupan kita macam begini tidak layak? Atau kau pikir layakkah hidup di tengah intrik yang tak berujung pangkal seperti yang kuhadapi di perusahaan itu?"

"Kenapa tak Abak cari pemecahannya?"

"Keluar dari sana dan menjalani kehidupan dengan menggarap tanah sawah itu tih adalah sebuah  pemecahan," balas Abak mantap.


o0o


Penantianku rupanya berakhir setelah seorang assisten sutradara me ngajakku untuk ikut dalam sebuah film yang akan digarapnya. Aku bersorak. Habis sudah cerita Abak!

Tiga bulan aku bergumul dengan kerja film yang cukup menyenangkan, meskipun, tak ayal, aku sempat jatuh sakit. Tapi aku tetap gembira karena ini merupakan langkah awalku. Beruntung juga aku, sebab dalam film itu aku dipercaya memegang peran yang cukup lumayan.

Abak tentu akan gembira mendengar aku sudah menembus pagar betis dunia film yang dipercaya Abak, akan membuatku bisa menemukan diri.

Kukabarkan tentang keberhasilanku untuk yang pertama. Kuharap Abak akan bercerita lagi. Cerita yang sangat menarik.

Lalu aku kabarkan bahwa aku akan keliling Indonesa dalam rangka promosi film yang kubintangi. Pasti Abak akan bangga dan teramat senang terutama banyak harapannya pada Raldi untuk keluarga.

Namun, hari ini kabar datang seperti petir menyambar di siang hari. Ibu kosku tiba-tiba mengantar sesuatu ke kamarku. Telegram. Kabar yang menghancurkan kebahagiaanku. "Abak wafat. titik segera pulang titik"

Tak ada yang bisa kuperbuat. Semuanya tiba-tiba buram dan hitam. 


Dimuat di Haluan Minggu, 30 Januari 1994


Redaksi TNCMedia

Support media ini via Bank Rakyat Indonesia (BRI)- 701001002365501 atau melalui Bank OCBC NISP - 669810000697

Posting Komentar

Silakan Berkomentar di Sini:

Lebih baru Lebih lama