MAL, MASJID, dan KITA yang BAPERAN




Cikarau/Oce Satria

KETIKA tiga hari lalu saya berteleponan dengan Amak, saya meyakinkan Amak, mudah-mudahan bisa berlebaran di kampung. Lagi pula jaraknya hanya sekitar 270 km. Bersantai-santai saja dengan Mio J, insyaallah sebelum berbuka puasa terakhir saya akan sampai di pintu rumah Amak. 

Tapi respon Amak justru tak saya sangka-sangka. "Kan sedang ada wabah. Ndak apa-apa ndak beriraya di kampung tahun ini. Patuh sajalah pada aturan pemerentah...."

Jawaban itu tentu bukan karena Amak tak kangen anaknya. Tapi Amak sedang memahami situasi pandemic, dan risiko yang akan dihadapi bila kita melawan tata aturan alias protokol sekaitan dengan Covid-19......

Tapi mendadak semuanya menjadi buyar. Bagaimana mau mematuhi pemerintah, jika semuanya dimentahkan oleh lidah mereka sendiri?

Pemerintah yang telah memilih pembatasan sosial berskala besar secara bertubi-tubi tengah mementahkan lagi aturan yang mereka buat. 

Paham makna 'sosial'? Silakan cari sendiri di buku-buku atau googling di yahoo. Maknanya dalam kaitan dengan pandemi adalah bahwa semua aktivitas sosial yang mengarah pada persentuhan fisik (berkumpul, berkerumun, bersalaman, pelukan dst dst) dilarang, demi tak terjangkit penularan virus corona. 

Aturannya sudah ada, protokolnya jelas. Dan pegangannya haruslah aturan yang dibuat penguasa pusat dan daerah: UU, Permen Pergub atau Perwako dll. 

Semua itu buyar gara-gara statemen tanpa dasar hukum yang berhamburan dari mulut para pejabat. Mal dibolehkan buka, mobilisasi melalui bandara juga tak dilarang. Lalu soal batasan usia yang boleh masuk kerja, dan usia yang tak boleh bekerja (termasuk pasti dia yang berstatemen amburadul itu). Semuanya lahir dari statemen yang seolah-olah sudah serupa sabda.

Di Riau, Gubernurnya yang baru saja menerapkan PSBB juga berwacana abu-abu. Saat Rabu kemarin meninjau penerapan PSBB Dumai bersama Kapolda, Dandrem, dan Ketua DPRD dia bertolak-angsur (permisif) dengan aturannya sendiri. "PSBB tidak melarang, tapi hanya membatasi". 

Begitu diterjemahkan secara gamblang, saya kesulitan mencerna maksud Pak Gub ini. Ngambang, abu-abu, dan membuat kening berkerut.

Sikap pejabat seperti itulah yang dikritik  Gubernur DKI Anies Baswedan dalam nasehatnya untuk presiden dan pejabat pusat di acara ILC kemarin. Bahwa, di saat seperti ini, statemen-statemen ngasal pada akhirnya akan kontra produktif, karena bisa mengombang ambingkan rakyat. Aturan tentang PSBB tahu-tahu dilabrak sendiri dengan aneka statemen tanpa dasar hukum. Berstatemen tanpa didahului perangkat aturan. Banyak sekali statemen ngawur. "PSBB ya PSBB, titik. Jangan ditambahi dgn statemen-statemen yang aneh-aneh.

Statemen tanpa alas hukum itu lantas menjadikan mal dan bandara kembali ramai, dan sebaliknya dengan tegas melarang salat jamaah di masjid. Hal itu seolah sedang memposisikan tempat ibadah seperti masjid sebagai pihak yang di-persona-non-grata-kan, dikucilkan.  Hasilnya, fakta itu memancing reaksi ummat menjadi liar. Kesimpulannya,  apa yang diperbuat penguasa dicurigai sebagai upaya mengucilkan masjid, atau lebih kasarnya hendak menekan Islam dst dst.....

Parahnya, ummat Islam kebanyakan memang baperan. Mereka  meradang dan bersikeras kembali memenuhi masjid, utamanya saat 1 syawal nanti. "Mal dibuka, kenapa masjid kami dilarang buka?" 

Suara ummat rupanya sejalan dengan MUI. Atau sejatinya MUI juga sedang berstatemen tanpa dasar hukum dan mengabaikan aturan PSBB?

Media memberitakan,  MUI tidak melarang salat Idulfitri berjamaah di masjid dan lapangan. Hanya mengimbau tidak salat berjamaah di masjid dan lapangan.

Sekretaris Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia Noor Achmad mengatakan penyelenggaraan salat Idulftri agar memperhatikan zonasi wilayah paparan Covid-19, apakah masuk area terkendali atau tidak.

"Zonasi wilayah dapat menyelenggarakan salat Ied erat kaitannya dengan Covid-19 suatu daerah terkendali atau tidak dengan penentuannya oleh pemerintah, Majelis Ulama Indonesia dan ormas-ormas Islam," kata Noor dalam telekonferensinya yang dipantau dari Jakarta, Rabu (20/5/2020).

Dia mengatakan terdapat daerah yang masuk zona Covid-19 tidak terkendali (merah) dan terkendali (hijau). Bagi kawasan masuk zona merah, warga diimbau tidak melaksanakan salat Ied di ruang publik seperti masjid atau lapangan.

Sebaliknya, kata dia, warga di daerah hijau bisa menyelenggarakan salat Ied di masjid atau lapangan dengan tetap menerapkan protokol kesehatan untuk menghindari penularan COVID-19.

Sejurus jalan pikiran MUI itu masuk di akal. Ya, yang daerahnya nol Covid, silakan berkontak fisik, yang ada kasus Covid berkegiatan, ibadah di rumah saja. 

Tapi, bagaimana cara dan trik mengetahui person-person yang datang berjamaah di wilayah (konon hijau) dijamin tak membawa virus? Dari mana mengetahuinya? Sedangkan untuk melakukan tracing dan tracking dari pasien positif saja bukan kerjaan mudah. Virus ini bukan semacam virus kada asoy atau TBC atau selesma yang mudah dikenali. Bukankah dalam kasus Covid ini ada yang disebut OTG, orang tanpa gejala?

Jadi, bagaimana mungkin MUI dan pemerintah bisa memastikan wilayah hijau aman dari bahaya.? Belum lagi kalau kita simak sinyalemen Gubernur Sumbar Irwan Prayitno tentang kepala daerah yang enggan melaporkan kasus demi mendapat predikat zero corona utk daerahnya?

Kenyataan bahwa mal kembali ramai karena statemen, memperlihatkan kepada kita bahwa sebagian masyarakat memang tak tahan untuk menahan diri. Bahwa pandemi belum merontokkan ekonomi mereka, itu memang benar adanya. Bahwa corona ini tak semenakutkan yabg kita bayangkan, toh buktinya banyak yang nekat bepergian ke luar daerah.

Kenyataan itu boleh jadi memberikan kesimpulan kepada kita bahwa konsumerisme - baik sebagai ideologi maupun gaya hidup sulit dikendalikan. Di tengah krisis, kondisi kita ternyata tak sekritis yang digembar-gemborkan.

Dua fakta kontras itu menghasilkan sikap perlawanan di tengah ummat Islam. Mereka akhirnya akan kembali  meramaikan masjid. Tragisnya, jika itu bukan karena murni ingin beribadah di tempat yang mulia, tapi karena dipicu kesal atas perlakuan berbeda dari penguasa. 

Maka, dibebaskannya mal buka. lalu membalasnya dengan beramai-ramai ke masjid.

Kalau itu yang terjadi, maka tak keliru disebut mereka sebagai ummat baperan. Mereka tak peduli risiko tertular virus corona, demi melawan fakta yang membuat kecewa: mal dibebaskan,  masjid ditutup.

Maka, seperti yang dicemaskan jubir Gugus Tugas Covid-19 Riau, dr Indra Yovi: pasca lebaran, bahaya menunggu.

Akhirul kalam, mari berpegang saja pada aturan awal pemerintah dan fatwa MUI. MUI telah mengeluarkan Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19. Dari fatwa itu terdapat anjuran agar umat Islam untuk sementara waktu menghindari kegiatan ibadah yang melibatkan konsentrasi massa yang besar, termasuk salat tarawih dan salat Ied.

Tujuanya, agar masalah ini tidak bertele-tele. Supaya kita tak meraba-raba di nan kelam, tak tahu kapan ini berakhir. Karena kita sama2 keras kepala: Pemerintah plin plan, masyarakat susah diatur. ✋
Redaksi TNCMedia

Support media ini via Bank Rakyat Indonesia (BRI)- 701001002365501 atau melalui Bank OCBC NISP - 669810000697

Posting Komentar

Silakan Berkomentar di Sini:

Lebih baru Lebih lama