Jabarjyah, Qadariyah, Asy’ariyah, dan Corona



VIRUS CORONA memaksa ummat Islam saling berdebat tentang boleh tidaknya meninggalkan ibadah shalat Jum'at, shalat berjamaah di masjid dan menghadiri tabliq akbar. Hal itu karena dalam situasi penyebaran Covid-19 (nama resmi coronavirus) sudah bersifat eksponensial. Sulit dikendalikan jika tidak ada upaya pembatasan interaksi langsung antar orang. Apalagi dalam jumlah banyak. Karena tidak diketahui siapa yang belum atau sudah tertular.

Terlepas dari pro kontra menyikapi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan banyak ulama tentang anjuran mengganti ibadah jumaat dengan shalat zuhur, berikut tiga paham atau aliran terkait hal ini.

Tiga tarekat ini yang paling banyak penganutnya di Indonesia. Tapi, apa yang membedakan ketiganya? Berikut penjelasan singkatnya.

Aliran Qadariyah disebarkan oleh Ma‘bad al-Juhani dan Ghailan al-Dimasyqi. Menurut uraian sejarah, Ma’bad al-Juhani mati terbunuh pada 80-an Hijriah karena terlibat dalam pertempuran menentang kekuasaan Bani Umayyah. 

Pemikiran Qadariyah kemudian dilanjutkan oleh Ghailan al-Dimasyqi. Tetapi, Ghailan kemudian dihukum mati oleh Hisyam ibn Abdul Malik pada sekitar tahun 700-an.

Sedangkan aliran Jabariyah digagas oleh Ja’d ibn Dirham dan disebarkan oleh Jahm ibn Safwan. Figur Ja’d ibn Dirham dikenal memiliki pemahaman yang kontroversial seperti; Allah tidak berbicara dengan Musa as., Allah tidak menjadikan Ibrahim sebagai kesayangan-Nya. 

Besar kemungkinan karena pendapatnya tersebut maka ia dihukum pancung oleh Gubernur Kufah yakni Khalid ibn Abdullah al-Qashri. Adapun Jahm ibn Safwan juga dihukum mati pada 131 H setelah tertangkap karena melakukan pemberontakan terhadap Khalifah Bani Umayyah di Khurasan. Sebagaimana diketahui, Jahm ibn Safwan merupakan salah satu figur dalam aliran Murji’ah dari sekte al-Jahmiyah 





Jabariyah      

Secara harafiah Jabariyah berasal dari kata ja-ba-ra, yang memiliki arti keterpaksaan. Sebuah paham teologi dalam Islam yang meyakini bahwa alur hidup manusia merupakan ketentuan Tuhan yang memiliki kekuasaan mutlak dalam menentukan garis hidup manusia. Dalam hal ini, manusia tidak berdaya, segala tindakan manusia merupakan ketentuan Tuhan. 

Meskipun paham ini mengajarkan kepasrahan tetapi sesungguhnya paham ini banyak dimanfaatkan oleh para penguasa. Pada aliran ini, kekuasaan Muawiyah pertama mencari legitimasi dari kalangan pemberontak, terutama orang-orang Syi’ah. 

Ucapan Muawiyah yang cukup terkenal, “Apa yang terjadi pada diriku sudah ditentukan oleh Tuhan.” 

Paham demikian merupakan paham yang menyebabkan timbulnya banyak korupsi yang dilakukan oleh banyak para pemegang jabatan.


Pemahaman Keagamaan Jabariyah

Aliran Jabariyah bisa disebut merupakan kebalikan dari Qadariyah. Jika Qadariyah menonjolkan kiprah atau kuasa manusia dalam perwujudan kemauan dan kehendaknya, maka Jabariyah memiliki paham sebaliknya di mana manusia dipandang tidak memiliki kuasa. 

Sirajuddin Abbas memaknai Jabariyah sebagai “tidak ada kuasa bagi manusia”. Ada juga yang memaknai Jabariyah dengan keadaan “terpaksa”.

Pandangan-pandangan Jahm ibn Safwan sebagai penyebar Jabariyah antara lain;

1. Bahwa manusia tidak memiliki daya, kehendak, maupun pilihan,
2. Syurga dan Neraka tidak kekal,
3. Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati,
4. Tidak memberi sifat kemanusiaan kepada Allah SWT.

Harun Nasution menyimpulkan bahwa aliran Jabariyah memiliki ciri-ciri antara lain;

1. Pemberian porsi yang kecil kepada akal.
2. Ketidakmampuan manusia dalam kemauan dan perbuatan. 
3. Kebebasan berpikir yang diikat oleh dogma agama.
4. Tidak mempercayai hukum kausalitas.
5. Menitikberatkan pada makna literal al-Qur’an.

Meskipun demikian, ada sebagian sejarawan yang menyebutkan bahwa sebagian pengikut Jabariyah memiliki pemahaman yang lebih moderat. Sebutlah misalnya al-Najjar yang menjelaskan bahwa Tuhan memang menciptakan segala perbuatan manusia, akan tetapi manusia memiliki andil atau bagian di dalamnya.

 

Qadariyah     

Qadariyah berasal dari kata-kata qa-da-ra, yang memiliki arti kehendak. Sebuah paham teologi yang mengatakan bahwa apa yang terjadi pada diri manusia merupakan kehendak pribadi. 

Aliran ini dipegang oleh kalangan Mu’tazilah yang menempatkan akal pada posisi tertinggi, lebih tinggi dari wahyu. 

Menurut paham ini perbuatan manusia sepenuhnya merupakan tanggung jawab. Pada paham ini, dalam politik menganjurkan sebuah kontrol terhadap jalannya sebuah kepemimpinan, melalui kontrak sosial. Bahkan, paham ini meyakini bahwa Tuhan tidak bertanggung jawab sama sekali terhadap perbuatan manusia karena Tuhan sepenuhnya telah memberikan akal kepada manusia. Paham ini dipegang oleh aliran rasional, Mu’tazilah.


Pemahaman Keagamaan Qadariyah

Sebelum dihukum mati, Ghailan terlebih dahulu diberi kesempatan untuk berdebat dengan ahli dari pemerintah Bani Umayyah yakni al-Audha’i disidang oleh pemerintah Bani Umayyah. Dalam perdebatan tersebut  Ghailan menyatakan bahwa manusia sendiri yang melakukan perbuatan baik atas kemauan dan kehendaknya sendiri. Sebaliknya, manusia sendiri yang melakukan atau menjauhi perbuatan jahat atas kemauan dan kehendaknya sendiri. Tokoh yang lain seperti al-Nazzam berpendapat bahwa manusia memiliki daya dalam hidupnya sehingga dengan daya tersebut ia berkuasa atas segala perbuatannya.

Menurut Harun Nasution, ciri-ciri pemahaman Qadariyah dapat dilihat dalam karakternya antara lain;

1.    Memberikan kedudukan yang tinggi kepada akal.
2.    Manusia memiliki kebebasan dalam kemauan dan perbuatan.
3.    Percaya ada hukum kausalitas atau yang disebut sebagai sunnatullah.
4.    Melalui akalnya manusia bebas berpikir yang hanya bisa dibatasi oleh ajaran dasar dari al-Qur’an dan Hadits.
5.    Mengambil makna metafor dari nash.

Beberapa ayat al-Qur’an yang sering digunakan oleh pengusung aliran Qadariyah antara lain;

    QS. Fusshilat: 40
    “…Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
 
   QS. Al-Ra’du: 11
    “…Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”


Asy’ariyah

Tidak ada istilah khusus bagi aliran ini. Aliran ini berkeyakinan bahwa apa kehendak manusia dan Tuhan terdapat porsinya tersendiri. 

Aliran yang dicetuskan oleh Abu Hasan al-Asy’ari, seorang murid Wasil bin Atha’ seorang ulama dari kalangan Mu’tazilah. 

Secara sederhana, aliran ini memiliki adagium yang cukup sederhana tetapi cukup mewakili, yakni, “Manusia berencana tetapi Tuhan yang menentukan.” Paham ini berusaha menempuh jalan tengah dari dua keyakinan yang berseteru: Qadariyah dan Jabariyah. 

Penganut paham ini menyebut diri mereka sebagai Asy’ariy, sebuah nama yang dinisbahkan kepada al-Asya’ari. 

Meski menghargai kehendak bebas manusia, paham ini dinilai oleh banyak pemikir kontemporer sebagai paham yang tidak jauh beda dengan Qadariyah, bahkan disebutkan sebagai pemikiran subvarian Qadariyah. Karena, meskipun manusia berkehendak bebas tetap saja Tuhan yang menentukan. ***


Dari berbagai sumber

Tags

Posting Komentar

0 Komentar

Below Post Ad