Jaga Jarak dengan Manusia, Bukan dengan Sang Maha



/Oce

JARAK sosial, sebetulnya istilah ini mengerikan. Di tengah kehangatan sosial dan bernegara kita sedang retak karena politik, corona datang. 
Kita kembali dipaksa keadaan menjaga jarak. 

Bahkan merapatkan shaf di masjid pun dianjurkan untuk ditunda karena adanya uzur wabah -- dan itu bagus, saya setuju -- kita menjadi was was terhadap siapa pun. 

Karena kita tak memiliki cukup alat alamiah untuk menebak, menerka-nerka, mendeteksi apakah seseorang -- bahkan yang kita kenal sekali pun -- sudah tertular atau belum oleh si corona itu. Masa inkubasinya bukan sehari dua hari tapi 14 hari atau bisa lebih. Di masa 14 hari kita terlihat sehat secara kasat mata, tapi sesungguhnya telah dihinggapi virus super mikro itu. Rentan menular.

Kecepatan penyebarannya seperti ini,  saya selipkan pesan teman di WA:

(Lihat Angka-angka ini!
H1 = 2
H6 = 9
H9 = 29
H11 = 69
H12 = 96
H14 = 117
H18 = +/- 300an
Dan seterusnya... 

Jangan anggap enteng pandemi Covid-19 ini. Penyebarannya eksponensial. Terpapar 1 orang, ada risiko 100 orang di sekitarnya. Mari terlibat aktif ikut memutus mata rantai penyebarannya.  Kalau dibiarkan, bulan Mei bisa mencapai 1 juta orang yang terpapar.) sangat cepat.

Lantas bagaimana nan kan baik? Atau  bagaimana menyikapinya?

Apakah kita cukup bersikeras dengan pendapat kita untuk melawan anjuran social distancing itu? Kita bersikeras, dengan alasan tak mau mengalah oleh corona demi menunaikan kewajiban beribadah jamaah? Atau bersikeras melawan anjuran menjaga jarak sosial di masa-masa krisis ini demi melawan apa yang kita duga ada konspirasi untuk melunturkan semangat keberagamaan kita? 

Saya bukan ahli fikih, bukan alim. Saya awam. 

Nah, orang-orang dengan kualitas cetek semacam saya ini bagaimana menyikapi silang pendapat terkait hal ini?

Maka, mau tak mau, menurut saya, lebih baik saya memercayakan kepada ahli-ahli fikih yang berhimpun dalam institusi ulama yang dipercaya. Menyerahkan ketidaktahuan  tentang hukum agama kepada mereka yang diakui mumpuni. Menyerahkan kekosongan ilmu kesehatan kepada pakar-pakar, dokter dan ilmuwan. Menyerahkan kelemahan saya dalam menjaga diri kepada mereka yang berwenang untuk itu: pemerintah.

Pokok soalnya adalah, serangan corona ini bukan lagi wabah atau endemik, tapi sudah menjadi pandemik. Penularanya berlangsung cepat dan masif, lintas negara.

Dari negara komunis, kapitalis hingga negara Islam, Arab Saudi. Semuanya mengambil kebijakan social distancing alias menyepi dari kerumunan massa. Dan kini, negara Pancasila juga mengikutinya, mau tak mau, apa boleh buat.

Saya setuju dan bahkan iri pada orang yang semangat keberagamaannya tinggi. Sementara saya,  (yang dalam istilah agama)  hanyalah seorang yang jahil alias bodoh. Ke mana orang bodoh sebaiknya mengikut? Tentu kepada orang alim alias berilmu.

Saya sudah baca fatwa MUI terkait ketentuan/praktik  menjalankan ibadah berjamaah (jumatan dan salat jamaah di masjid) di situasi serangan pandemik. 

Saya sudah tonton pendapat Ustad Firanda, juga terkait soal ini.

Saya sigi juga beberpa pendapat. Senada.

Intinya, pandemik corona adalah uzur (alasan pembenar) untuk mengganti ibadah dengan ibadah lain.  Ingat, mengganti artinya bukan meniadakan. Mengganti tentu berarti membayar dengan hal lain yang harganya dinilai sama.  Sekali lagi mengganti tidak sama dengan meniadakan.

Karena itu (Oh ya maap, ini bukan tausiyah lho, saya bukan orang alim, perangai saya masih cingkahak 😁), dalam situasi yang serba tak menentu ini, pilihan terbaik adalah ikuti saran/anjuran/fatwa/rekomendasi pihak-pihak yang berkompeten yang memang punya kapasitas untuk memberikan saran, anjuran, fatwa, dan rekomendasi itu.

Saya tak mau konyol. Karena tidak paham dengan kondisi kesehatan diri sendiri. Karena hidup di kota yang notabene majemuk, lalu lintas orang dan interaksi yang cepat, risikonya sangat besar.

Di kampung di desa-desa mungkin masih bisa dimaklumi, anjuran social distancing ini diabaikan.  

Jarak sosial, tak hanya untuk kegiatan berbadah jamaah. Ada banyak aktivitas masyarakat yang mengharuskan mereka masuk dalam kerumunan massa. Pasar misalnya. Untuk ini, kita harapkan warga tetap menjaga diri. Sudah disampaikan dibanyak media bagaimana menjaga kebersihan. Anda sudah paham.

Terakhir, bagaimana dengan mereka yang saat ini tengah menjalin hubungan asmaradana? Soal ini tentu tak perlu diajari dan dibahas.
Kekadang LDR itu mengasyikkan, bukan?

Demikian bincang2 kita sore ini.
Kopi sangaaah, Ni Ros......! 

Oce Satria, Ulama bukan, Dokter bukan.
Redaksi TNCMedia

Support media ini via Bank Rakyat Indonesia (BRI)- 701001002365501 atau melalui Bank OCBC NISP - 669810000697

Posting Komentar

Silakan Berkomentar di Sini:

Lebih baru Lebih lama