Panduan Menulis Cerpen Layak Kompas




Oleh: A.S. Laksana

SESEORANG pernah menyampaikan, di media sosial, tentang bagaimana menulis cerpen yang layak untuk koran Kompas dan merinci aspek-aspek apa saja yang harus ada di dalam cerpen itu sehingga redaktur jatuh hati dan memutuskan memuatnya. Mungkin perlu juga panduan menulis cerpen yang layak untuk Suara Merdeka, tampan untuk Kedaulatan Rakyat, dan berwibawa untuk Singgalang, Lampung Post, Haluan, Terompet Tangsel, Suara Sleman, Sangkakala Bojonegoro, dan sebagainya.

Ada orang-orang yang ingin sekali melihat cerpen mereka muncul di koran-koran dan mereka memerlukan panduan akurat tentang kecenderungan para redaktur tiap-tiap koran. Memang tidak akan lahir cerpen-cerpen bagus dari panduan tersebut, tetapi ia menjamin cerpen anda layak muat. Dengan catatan, anda tidak mengirimkannya ke alamat yang keliru, sebab cerpen yang layak Kompas kecil kemungkinannya bisa dimuat di Haluan, dan cerpen yang layak Singgalang belum tentu layak Pos Kupang.

Nanti akan saya singgung sedikit mengapa panduan semacam itu tidak membuat orang menulis cerpen bagus. Menulis bagus tidak pernah mudah. Untuk dimuat di media massa juga tidak mudah. Bahkan setelah 40 tahun berlalu sejak saya mengirimkan tulisan pertama ke majalah anak-anak, menulis tidak menjadi lebih mudah, dan saya masih menulis karena telanjur. Guru SD yang menjerumuskan saya. Ia memberi nilai sembilan untuk karangan saya tentang banjir tanpa memikirkan efek buruk dari nilai yang ia berikan: Saya seketika merasa pintar menulis. 

Itu malapetaka, sebab sebetulnya saya lebih suka membaca. Komik dan dongeng membuat hidup terasa menyenangkan, tidak hanya pada musim kemarau, tetapi juga pada musim hujan ketika rumah masa kecil saya terendam banjir tiap kali turun hujan deras.

Saya pikir menjadi pembaca besar tidak kalah hebat dibanding menjadi penulis besar.

Masalahnya, guru telanjur memberi nilai sembilan dan itu berarti saya harus mempunyai mesin tik dan saya mendapatkannya tujuh tahun kemudian pada umur tujuh belas. Ia seperti mesin pembawa mukjizat. Cerpen-cerpen saya tampak lebih bagus ketika diketik ketimbang ditulis tangan; saya yakin kali ini redaktur koran mana pun akan senang hati memuat cerpen saya. Dan saya keliru.

Pada masa ini, sambil belajar mengetik sepuluh jari, saya menyelesaikan pengetikan satu novel tipis, "Lelaki Tua dan Laut" (Hemingway). Tiga novel lain—"Dataran Tortilla" (John Steinbeck), "Prajurit Schweik" (Jaroslav Hasek), dan "Frankenstein" (Mary Shelley)—saya ketik ketika kesepuluh jari saya sudah cukup mahir mengetik.

Semuanya novel bagus. "Lelaki Tua dan Laut" menceritakan nelayan tua yang bertarung melawan waktu—pengkhianat yang diam-diam menggerogoti kita dan memukul jatuh pada saat kita sudah rapuh. "Dataran Tortilla" sangat lucu; ia memberi pengalaman tentang perkawanan orang-orang kelas bawah dan muslihat mereka dalam mengakali kehidupan. "Prajurit Schweik" lebih lucu lagi; perlawanannya terhadap kekuatan yang menindas dalam beberapa hal mengingatkan saya pada humor gaya Yogya yang dibawakan oleh pelawak Basiyo: ia melakukan reframing atas situasi untuk melahirkan cara baru dalam memandang segala sesuatu. 

Buku terakhir, "Frankenstein", adalah satu-satunya novel yang saya komentari begitu saya selesai membacanya. Di halaman kosong pada bagian belakang buku saya menulis kurang lebih seperti ini: “Cerita yang menggugah kesadaran tentang makna kehidupan, menyampaikan secara indah dan menakjubkan tentang kesunyian dan hasrat untuk mendapatkan kawan. Sangat mengharukan dan akan meninggalkan bekas yang mendalam bagi siapa pun yang membacanya.”

Di bawah komentar itu saya membubuhkan tulisan “ttd” dan nama saya dan nama sekolah saya. Seperti remaja membuat grafiti. Seperti kucing jantan mengencingi teritori. Para pembaca berikutnya perlu tahu siapa gerangan yang telah membuat komentar sebagus itu.

Novel itu milik perpustakaan wilayah. Beberapa waktu kemudian saya meminjamnya lagi karena ingin membaca ulang. Hal pertama yang saya lakukan adalah membuka halaman belakang untuk membaca komentar saya sendiri. Ada komentar baru di bawahnya. Saya bisa mengingat persis bunyi komentar itu dan deretan tanda pentung di belakangnya: 

“Dobol!!!”

Muka saya panas seperti ditampar berandal.

Tetapi jangan-jangan si berandal itu benar: Frankenstein adalah sebuah “dobol” meskipun saya menganggapnya bagus. Saya selalu berpikir bahwa setiap cerita yang saya sukai pasti bagus. Ketika sedang menyukai Sherlock Holmes dan Hercule Poirot, saya menganggap cerita detektif adalah karya sastra paling bermutu dan saya memendam perasaan jengkel kepada para sastrawan dan pemikir kesusastraan yang tidak menganggap cerita detektif sebagai karya sastra.

Ketika mengidap keinginan tak terbendung untuk melihat cerpen saya dimuat, saya menganggap semua cerpen yang ada di koran adalah karya sastra bermutu tinggi. Jika ada cerpen yang terasa membosankan, saya akan menyalahkan diri sendiri: Pasti saya yang bermasalah, bukan cerpennya.

Nasib baik mempertemukan saya dengan "Casablanca: Cult Movies and Intertextual Collage", esai Umberto Eco yang secara dingin menguliti "Casablanca". Film itu, yang dianggap salah satu film terbaik sepanjang masa, oleh Eco  hanya dianggap campur aduk adegan-adegan sensasional, berisi karakter-karakter yang secara kejiwaan sulit dipercaya, dan para aktornya bertingkah laku tidak wajar.

Esai itu memberi ilham: Pada suatu hari nanti, saya ingin membaca ulang semua novel yang dulu saya anggap bagus untuk mengetahui apakah mereka memang bagus atau sama belaka dengan "Casablanca" di mata Eco. Sempat saya membaca lagi Sherlock Holmes dan tidak tahan, begitu juga dengan Hercule Poirot, begitu juga dengan cerita-cerita silat yang pernah membuat saya tiap hari begadang sampai dinihari. 

Ini mengkhawatirkan. Jangan-jangan semua yang dulu saya anggap bagus ternyata tidak bagus-bagus amat. Untunglah tidak demikian. Pippi dan Madita, serial anak-anak karya Astrid Lindgren, masih tetap menyenangkan ketika saya membacanya lagi dua tahun lalu. "Matilda", karya Roald Dahl, juga tetap bagus meski saya sudah membacanya berulang-ulang.

Novel-novel Angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru (baru sebagian kecil yang saya baca ulang), sebagian besar sulit disebut bagus. Beberapa waktu lalu anak saya membaca “Sitti Nurbaya” dan “Layar Terkembang”. Saya menanyakan kepadanya bagus atau tidak dan ia membuat jawaban aman: “Bahasanya aneh.”

Itu juga yang saya rasakan 34 tahun lalu ketika mendapat tugas dari guru bahasa Indonesia untuk mengulas “Sitti Nurbaya”. Pada saat itu pun bahasanya sudah terasa aneh. Dan bukan hanya bahasanya, cara berceritanya juga aneh. Satu yang saya ingat, setiap kali tokoh utama sedih, langit menjadi mendung; pada saat tokoh utama merasa bahagia, langit cerah.

Pada waktu itu, tanpa keberanian untuk menilai baik atau buruk, saya hanya mencatat dalam hati bahwa mungkin sastra memang aneh dan sastrawan boleh mengarang apa saja, tidak perlu masuk akal, tidak perlu cocok dengan kenyataan sehari-hari meskipun itu sebuah cerita realis. Dalam kehidupan sehari-hari, tidak mungkin langit berempati pada situasi manusia. Ia bisa cerah meskipun nenek saya sedang sedih, ia bisa mendung ketika tetangga saya sedang gembira.

Sekarang saya berani menyimpulkan bahwa karya-karya lama seperti "Azab dan Sengsara", "Sitti Nurbaya", "Layar Terkembang", dan sebagainya menjadi penting bukan karena mutu penulisannya, melainkan karena di dalamnya kita melekatkan aspek kesejarahan. Aspek kesejarahan itulah yang membuat mereka terus disebut-sebut dalam pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Tanpa itu, kita akan sulit membicarakan mereka sebagai karya sastra.

Para sastrawan generasi berikutnya jauh lebih bagus, dan beberapa memeragakan teknik penulisan yang lebih canggih. Putu Wijaya memukau dengan novel maupun cerpen-cerpennya dan membuat saya ingin juga menulis cerita yang aneh-aneh. Budi Darma menyihir dengan "Orang-Orang Bloomington" dan "Olenka" dan "Rafilus". Pernah saya menulis cerpen dengan membubuhkan catatan kaki, sebab “Olenka” menggunakan catatan kaki. Ahmad Tohari juga mengagumkan dengan trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk” dan saya mencatat satu hal yang waktu itu membuat saya takjub: ada makian “asu buntung!” di sana. Nama-nama lain adalah Y.B. Mangunwijaya, Umar Kayam, Hamsad Rangkuti, Danarto, Seno Gumira Ajidarma, dan lain-lain.

Beberapa dari mereka masih menulis, dan cerita pendek mereka yang dimuat di koran-koran membuat saya penasaran: Apakah buku-buku mereka yang dulu saya anggap bagus itu masih tetap bagus dibaca hari ini?

Pertanyaan itu muncul karena para penulis yang saya kagumi di masa lalu ternyata hanya menulis cerpen yang biasa-biasa saja—kalau bukan buruk—di koran-koran. Budi Darma masih tetap menyenangkan untuk dibaca, tetapi ia tidak sekuat dulu dengan cerpen-cerpen panjangnya. Ahmad Tohari terus mengulang-ulang keluguan orang desa, dunia yang diakrabinya. Danarto dalam cerpen-cerpen terakhirnya menunjukkan mutu yang anjlok jauh dibandingkan mutu cerpen-cerpennya di “Godlob” dan “Adam Makrifat”.

Kadang-kadang saya berpikir bahwa cerpen mereka dimuat karena redakturnya sungkan menolak. Kali lain saya berpikir bahwa redakturnya memang tidak tahu baik dan buruk; ia hanya orang yang ditugasi atasan untuk menangani rubrik cerpen, maka ia memilih karya-karya yang ia sukai. 

Dan cerpen jenis apa yang ia sukai? 

Ini salah satunya, sebuah cerita pendek dengan dialog panjang-panjang seperti karnaval tujuh-belasan:

“Manusia adalah serigala kata Thomas Hobbes. Untuk menggembalakannya perlu macan,” kata bajingan itu bangga. “Maka, aku jadi Raja Rimba. Hukum sudah tak bertaring lagi. Hukum hanya sandiwara untuk menipu sejarah. Itu bukan infrastruktur peradaban, bukan pasukan pengawal-pengaman kehidupan, bukan Robin Hood dari rimba Sherwood. Hukum hanya ular kobra, black mamba, bagi rakyat kecil. Hukum hanya pilar kekuasaan untuk mengamankan keangkaraan kesewenang-wenangan kekaisaran yang hanya bercita-cita tunggal: membekukan kita sebagai abdi Kaisar! Berhala yang mencincang kebebasan-kemerdekaan itu harus dicincang rata dengan tanah. Di atasnya kita bangun kerajaan masa depan yang tanpa batas. Itulah kemerdekaan sejati yang asli. Dan, aku yang akan menjamin tak seorang pun yang akan berani melanggar aturan ketertiban dan kedamaian. Karena baru sampai ada getaran niat saja di dadanya sudah langsung aku sikat musnah tandas zonder basa-basi permisi lagi yang isinya cuma bau tai!”

Pernyataan panjang bajingan itu kemudian ditanggapi secara panjang juga; tidak jelas siapa yang bicara, tetapi ia mewakili suara rakyat.

“Kenapa pernyataannya tak sedikit pun menunjukkan kegentaran ketakutan menghampiri saat eksekusi, seperti umumnya kita manusia normal? Apakah dia binatang? Itu menakjubkan. Apakah sarafnya sudah putus? Atau di dasar jiwanya ada iblis membisikkan ia berada di jalan Tuhan, yang menjadikan dia gagah berani, bahkan bahagia meninggalkan timbunan dosanya dalam kehidupan. Tidak gentar berpisah dengan sanak saudara dan handai taulannya karena percaya ia sudah disediakan lapak di surga? Alasan seperti itukah yang menyebabkan orang jadi nekat jahat, bejat, tidak toleran, antikemanusiaan, dan radikal? Atau, atau mungkinkah, mungkinkah, mungkinkah sesungguhnya dialah sebenar-benarnya yang adil, betul dan benar?” 

Dialog di dalam cerpen itu sama sekali bukan dialog: ia adalah forum berbalas ceramah. Dan semua kutipan langsung di sana sama sekali bukan ujaran karakter, sebab memang tidak ada karakter di dalam cerpen itu. Yang hadir di sana adalah stereotipe—atau generalisasi tentang rakyat kecil, penjahat, penguasa—yang diperalat mentah-mentah untuk menyemburkan gagasan-gagasan penulisnya.

Sejujurnya, saya menampilkan contoh di atas dengan perasaan gundah. Itu dialog dari cerpen Putu Wijaya berjudul “Amnesti” yang dimuat Kompas pada September 2018. Saya jengkel kenapa redaktur koran itu memuatnya. Putu Wijaya adalah penulis yang saya hormati; di masa lalu ia memukau saya dengan permainan logikanya dan membuat saya pernah mencoba mengikuti gayanya menulis cerpen yang aneh-aneh. Saya tidak rela ia menulis cerpen seburuk itu.

Saya pikir redaktur cerpen Kompas perlu menyadari efek merusak yang ditimbulkan oleh pemuatan cerpen-cerpen jelek. Kompas, bagaimanapun, adalah suratkabar dengan nama besar; ruang cerpennya—bagi para pemula—dipandang sebagai puncak gunung tertinggi yang harus ditaklukkan. Masih ada lagi, sejak 1992 ia tiap tahun menerbitkan buku kumpulan cerita pilihan, sebuah tindakan yang makin meningkatkan gengsi rubrik cerpen koran tersebut.

Dengan tidak adanya majalah sastra, publik cenderung menganggap cerpen Kompas sebagai karya bermutu. Bahkan jika yang dimuat di sana adalah cerpen buruk, saya menduga pembaca akan tetap menganggapnya sebagai cerpen yang bagus. Beberapa pujian pembaca atas cerpen Putu Wijaya, yang saya sesalkan pemuatannya, membenarkan prasangka itu: “Superb!”, “Mencakar-cakar! Dahsyat”, “Teror mental”. 

Putu Wijaya berhak mendapatkan pujian setinggi itu, tetapi bukan untuk cerpen tersebut.

Namun dari pujian yang salah alamat pun kita tetap bisa mengais sejumlah hikmah, tiga di antaranya: (1) redaktur tidak akan pernah menyadari bahwa pilihannya buruk, (2) anda harus membuat cerpen dengan kualitas seperti itu jika ingin “mencakar-cakar” pembaca dan mendapatkan pujian “superb!”, (3) pujian-pujian yang keliru biasanya lahir dari masyarakat yang kurang sehat.

Kompas mungkin tidak akan memperhatikan kritik terhadap mutu rubrik cerpennya. Saya juga tidak peduli apakah Kompas peduli. Sebagai pembaca dan pelanggan koran tersebut sejak lama, saya hanya berharap rubrik cerpennya ditangani oleh orang yang memperlakukan sastra sebagai urusan serius dan tahu mana karya bagus, hampir bagus, atau buruk. Koran Tempo pernah memiliki redaktur cerpen seperti itu dalam diri Nirwan Dewanto. Ia mau berkomunikasi dengan penulis untuk urusan perbaikan naskah; ia tahu bahwa beda antara karya bagus dan hampir bagus kira-kira sama dengan jarak antara Sabang dan Merauke. 

Sesekali saya menanyakan kenapa pilihannya tidak bagus dan Nirwan mengakui kadang memang tidak ada naskah masuk yang cukup bagus. Tetapi, bahkan dalam pilihan terburuknya pun ia mampu menjelaskan, dengan pengetahuannya, kenapa memilih karya itu.

Kompas saya yakin memerlukan redaktur dengan kualifikasi seperti itu, kecuali rubrik cerpennya memang diniatkan untuk membawa efek merusak kepada sastra Indonesia. (*)


Sumber: Facebook As Laksana 6 November 2019
Redaksi TNCMedia

Support media ini via Bank Rakyat Indonesia (BRI)- 701001002365501 atau melalui Bank OCBC NISP - 669810000697

Posting Komentar

Silakan Berkomentar di Sini:

Lebih baru Lebih lama