Kultwit: Inilah Inklusif Itu



Teologi inklusif digelorakan oleh kaum liberalisme dengan pura-pura embel islam. Ada fikih lintas agama, Jaringan Islam Liberal dan Paramadina yang menjadi dedengkotnya. Teologi ini menganggap semua agama sama, memiliki kebenaran yanaga sama tapi cara berbeda menuju tuhan. 

Banyak juga ummat islam khususnya anak-anak muda yang terpengaruh. Bagaimana sesungguhnya inklusifisme tersebut? Berikut saya muat kultwit dari Akmal Sjafril dalam tweetnya di @malakmalakmal

Semoga bermanfaat:

01. Sebelum zhuhur tadi saya melihat ada sebuah kultwit singkat tentang inklusivitas Islam. Saya merasa perlu angkat bicara. 

02. Hal pertama yang harus kita sadari adalah bahwa “inklusif” ini adalah istilah yang berasal dari luar khazanah pemikiran Islam. 

03. Dengan demikian, maknanya harus kita telusuri hingga ke akarnya, untuk menghindari salah paham. 

04. Masalah peristilahan ini, kalau diabaikan, akan menjadi sangat ruwet. Contohnya untuk istilah “pluralisme”. 

05. Ada yang bilang, pluralisme itu maknanya positif, meskipun ada juga yang menggunakan dalam pengertian negatif. 

06. Orang boleh saja berargumen bahwa kita bisa menggunakan makna yang berbeda sesuai hasil pemikiran kita sendiri. 

07. Akan tetapi, sikap seperti ini hanya akan membuat suasana makin keruh, dan diskusi menjadi tidak ilmiah. 

08. Sebagaicontoh, jika ada lembaga bernama “Yayasan Peduli Pluralisme” minta sumbangan, bagaimana sikap kita? 

09. Bisa jadi ada yang dengan senang menyumbang, karena yang ada dalam benaknya pluralisme itu toleransi, tenggang rasa dll.

10. Padahal bisa saja yang minta sumbangan mendefinisikan pluralisme sebagai paham bahwa semua agama itu sama.

11. Kembali pada istilah inklusif, memang nampak sebagai kebalikan dari “eksklusif”.

12. Nurcholish Madjid dan Jalaluddin Rakhmat menempatkan inklusif di antara “eksklusif” dan “pluralis”.

13. Eksklusif adalah sikap yang menganggap bahwa kebenaran hanya ada pada diri/kelompoknya sendiri.

14. #inklusif adalah sikap yang menganggap bahwa diri/kelompok lain pun memiliki kebenaran.

15. Pluralis adalah sikap yang menganggap bahwa semuanya dapat dianggap sebagai kebenaran yang sah. 

16. Beda inklusif dengan pluralis adalah bahwa inklusif masih menggunakan standar kebenarannya sendiri-sendiri.

17. Kita bisa lihat penelusuran John Hick utk mencapai rumusan pluralismenya. 

18. John Hick menggarisbawahi doktrin Kristen yang menyatakan bahwa di akhir zaman, semua manusia akan menjadi Kristen. 

19. Akan tetapi, ia melihat kenyataannya tidak demikian. Justru prosentase umat Kristen makin berkurang. 

20. Ini terjadi karena adanya perpindahan agama, juga karena pertumbuhan di negara-negara non-Kristen jauh lebih pesat. 

21. Bagaimanapun, Hick masih mempercayai doktrin agamanya tersebut. 

22. Oleh karena itu, ia berkesimpulan bahwa umat-umat non-Kristen pada hakikatnya adalah 'Kristen implisit'. 

23. Artinya, mereka adalah umat-umat yang sedang dalam ‘tahap pencarian’. Mereka sedang menuju Kristus. Inilah paham inklusif

24. Maka agama-agama lain pun dianggap sebagai jalan kebenaran, namun kebenaran absolut tetaplah agama Kristen. 

25. John Hick merasa pemahaman ini sudah lebih baik, namun masih belum cukup baik. 

26. Maka ia pun beralih pada paham pluralisme, yang rumusannya kurang lebih sama dengan formulasi Wilfred Cantwell Smith. 

27. Menurutnya, semua agama itu menyembah Tuhan yang sama, hanya saja perspektifnya berbeda-beda. 

28. Tuhannya sama, hanya titik tekan dari masing-masing agama berbeda-beda. Kesemuanya adalah cara yang valid. 

29. Demikianlah sedikit pemaparan tentang asal muasal istilah inklusif. Dengan demikian, kita dapat pahami maknanya dengan lebih baik.

30. Sebagaimana istilah “pluralisme”, istilah inklusif pun kini digunakan untuk berbagai macam pengertian.

31. Dalam artikelnya yang ini >> http://bit.ly/dqYdMR, Moqsith Ghozali juga menggunakan istilah inklusif

32. Menurutnya, Khadijah ra. insya Allah masuk surga, meskipun tak pernah shaum Ramadhan. 

33. Mengapa yang tidak pernah shaum Ramadhan bisa masuk surga? Karena Tuhannya inklusif. Begitu pendapatnya.

34. Pendapat ini dapat kita sanggah dengan mudah, karena syariat memang tidak turun sekaligus. 

35. Dengan kata lain, amal-amal saleh Khadijah ra. diterima sebatas kewajiban syar’i yang telah diturunkan pada masanya. 

36. Tentu saja setelah shaum Ramadhan diwajibkan, maka ia harus dilaksanakan oleh semua org yang beriman. 

37. Kita juga dapat melihat bagaimana Moqsith memberi kesan bahwa shaum itu adalah ibadah yang ada di semua budaya dan agama. 

38. Muncul kesan, Islam mengadaptasi shaum tersebut untuk dijadikan ibadahnya sendiri. 

39. Ini sejalan dengan misi orientalis yang berusaha memberi kesan bahwa Rasulullah saw. meramu ajaran berbagai agama. 

40. Ibadah haji pun dianggap sebagai tradisi jahiliyah, karena memang telah ada sebelum Nabi Muhammad Saw. 

41. Bagaimanapun, pendapat ini sangat lemah karena melupakan satu fakta penting, yaitu kesamaan risalah para Nabi.

42. Shaum memang telah ada jauh sebelum Rasulullah saw. Wajar, karema para Nabi sebelumnya pun mengajarkannya. 

43. Ibadah Haji pun telah diajarkan sejak jaman Nabi Ibrahim as. Diteruskan oleh Nabi Muhammad saw. 

44. Shaum dan ibadah Haji sejak awal adalah ibadah khas umat Islam, bukan tradisi jahiliyah. 

45. Dengan menyebut haji sebagai tradisi jahiliyah, itu sama saja mengatakan Nabi Ibrahim as. itu jahil. Na’uudzubillaah! 

46. Rasulullah saw. memang tidak membawa agama baru, melainkan syariat akhir jaman. 

47. Agama beliau sama denga agama Nabi-nabi sebelumnya. Syariatnya memang ada persamaan, ada perbedaannya juga. 

48. Untuk hal-hal di luar syariat, memang Islam membuka pintu untuk semua hal yang bermanfaat. 

49. Misalnya mata uang berbasis logam mulia yang digunakan oleh bangsa Romawi, itu bisa dimanfaatkan. 

50. Demikian juga taktik perang dengan parit ala Persia, boleh diadopsi. 

51. Tradisi budaya lokal pun tidak dilarang. Mau mendirikan masjid dengan gaya arsitektur apa pun silakan. 

52. Yang jelas, Islam memiliki kriteria sendiri. Tradisi boleh, asal tidak melanggar syariat. 

53. Misalnya Masjid dihias dengan ornamen berbentuk perempuan telanjang, itu jelas tidak dibenarkan. 

54. Ada juga yang membelokkan makna inklusif dengan konsep “hikmah”.

55. Menurut ajaran Islam, hikmah bisa diambil dari mana saja, dan kita harus berupaya mengambilnya. 

56. Kebenaran bisa saja terlontar dari lidah orang kafir, misalnya. Ini memang dimungkinkan. 

57. Meski demikian, jangan sampai itu membuat kita berpikir bahwa agamanya juga benar dan bisa diadaptasi dalam Islam. 

58. Konsep “hikmah” dan “inklusivisme” dalam hal ini tidaklah kompatibel. Kita tidak boleh bingung membedakannya. 

59. Jelaslah bahwa Islam tidak bisa begitu saja digabung-gabung dengan yang lain. Islam harus menjadi mindset atau worldview kita. 

60. Benar dan salah harus ditimbang dengan ukuran agama. Demikian juga budaya. 

61. Di sisi lain, budaya itu pun merupakan hal yang plastis, tidak rigid. Ia bisa berubah. 

62. Jika dulu masyarakat Papua biasa pakai koteka, apa kita harus paksa mereka pakai koteka terus? 

63. Tidak bolehkah mereka berpikiran lebih maju dan memilih utk menutup aurat? 

64. Inilah infiltrasi paham sekuler yang tidak mau menerima gagasan-gagasan dari agama, betapapun cemerlangnya. 

65. Ketika RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi diusulkan dahulu, muncul isu bentrokan antara agama dan budaya. 

66. Seolah-olah masyarakat Papua akan ditahan karena tidak menutup aurat. 

67. Padahal kalau disuruh referendum, mungkin lebih banyak yang pilih pakaian lengkap darpada koteka. 

68. Tapi karena konsep aurat itu berasal dari agama, maka kaum sekuler harus menolaknya. 

69. Inilah tabiat asli sekularisme, yaitu antiagama. 

70. Bagaimana pun budaya itu berkembang, contohnya pengguna jilbab terus bertambah dari tahun ke tahun. 

71. Apakah jilbab harus diberangus atas nama budaya? Mengapa jilbab tak bisa dianggap senagaj budaya kontemporer? 

72. Itulah shibghah. Ketika kita ridha menerima Islam sebagai pandangan hidup, maka ia terpancar dari diri kita. 

73. Perbuatan menjadi kebiasaan, kebiasaan menjadi karakter, karakter menjadi budaya. 

74. Kalau mau fair, seharusnya jilbab bisa dianggap sebagai budaya lokal di tempat-tempat tertentu seperti Aceh, Sumbar dll. 

75. Sayang, Islam dan budaya memang sering diadu domba. Seolah-olah tidak bisa didamaikan. 

76. Islam memang seringkali dipaksa untuk bersinkretisasi, atas nama inklusivisme atau pluralisme. 

77. Oleh karena itu, berhati-hatilah dengan istilah seperti inklusif


78. Gunakan istilah ini dengan bertanggung jawab. Jangan sampai orang tersesat karena kata-kata kita. Na’uudzubillaahi min dzaalik... 



Catatan Oce!: Untuk memperkaya pemahaman dan khazanah ilmu tentang keamburadulan pemahaman teologi inklusif ini, penting juga menyimak uraian Hartono Ahmad Jaiz dan Agus Hasan Bashori, MA di sini.

Posting Komentar

0 Komentar

Below Post Ad