Cerpen: Untuk Ibuku dan Lelakiku : Meremas Isak

Cerpen: Oce Satria

RINDU pada kelebat masa kanak-kanak begitu membubung. Mungkin menggelembung, bahkan nyaris tak kuat menahan sesaknya. Desak yang senantiasa hampir meledak. Untung saja tidak. Aku masih mencoba mencari-cari alasan untuk berdiam, meski limbung..

Menikam jejak, aku tak akan sanggup. Sesudut palung hatiku masih menabung harap. Aku pucat.




Kelebat itu datang memohon. Kuterima surat dari Zul, lelaki masa laluku itu. Setelah sepuluh tahun, kini. Pintanya, aku harus pulang memungut hari-hari yang tercecer sia-sia. Aku tak sebiadab persangkaanmu, rajuknya di helai surat yang dititipkan lewat temannya. Hampir aku menyerah. Tapi tidak mungkin, sedang aku masih berbenam diri dengan gemerutuk dendam dan kecewa seperti virus yang tak kunjung ditemukan obatnya.

Ketika selepas pengumuman kelulusan belum sehari kami nikmati, Zul, lelaki yang membingkai masa kanak-kanakku, datang ke rumah, sore itu. Aku akan menyambutnya dengan teriakan atau guyonan atau cubitan bertubi-tubi di punggungnya bila saja ia datang sendiri seperti biasanya.

Tapi sore itu aku mendadak bersiberai keringat, ia datang dengan serombongan orang berpakaian lengkap: jas dan kebaya. Beberapa perempuan paro baya menenteng kue-kue. Uff! Seperti hendak melakukan prosesi lamaran saja.


Tetapi Ibu membenarkan dugaanku. Mereka datang hendak melamar. Tetapi siapa yang akan dilamar di rumah kami? “Ikuti saja acaranya!” kata Ibu.

O, pantas saja Bapak dan ibu dari selepas ashar kulihat sudah rapi. Bapak memakai jas simpanannya, juga peci yang tampak masih bagus meski sudah seumur Rojak, adikku yang sudah kelas empat SD. Jas dan peci itu seakan memberitahu betapa jauh susut tubuh Bapak dalam sepuluh tahun.

Wajah bapak memberitahukan ketidaknyamanannya dengan jas dan peci itu. Ibu terlihat lebih muda dengan kebaya kuning gadingnya. Di beberapa bagian pinggir kebaya Ibu jelas terlihat benang jahitannya meluncur dari jalurnya.

 Tetapi kenapa tak memberi tahu apa-apa soal ini padaku? Lalu siapa kembang ayu yang hendak dipetik para tamu itu? Aha, sudah pasti Kak Nay, kakak tercantikku yang masih berkutat dengan kuliahnya di Bogor itu. Empat adikku masih SD dan Dina SMP kelas dua. Dan aku baru sehari menyelesaikan sekolah. Jadi bukan kami sasarannya.

Aku mengedip nakal pada Zul, disambung juluran lidah dan cubitan. Ibu malah mendelik marah menyaksikan tingkahku. Ah, Ibu seperti lupa kalau Aku dan Zul adalah dua sahabat yang sudah terekat semenjak kami masih ingusan.

Sialnya Zul tak merespon dengan cara yang sama seperti lazimnya. Serius amat! Aku jengkel saat itu sambil berjanji dalam hati hendak melakukan cubitan yang lebih menyakitkan padanya. Awas!


Aku sempat was-was bahwa lelaki yang akan meminang Kak Nay itu adalah Zul, sahabat masa kanak-kanakku bahkan sampai menyelesaikan bangku SMA. Sebab dalam rombongan itu hanya Zul seorang yang masih muda, tiga laki-laki lain dalam rombongan itu tak jauh beda perawakannya dengan Ayah Zul.

Hmm..., kalau itu benar betapa akan bertambah keras cubitan yang bakal ia terima lantaran merahasiakannya dariku. Diam-diam selenting nada cemburu melintas malu-malu di relung hati.

Tetapi semuanya buyar, dan jantungku berasa pecah, dadaku sesak dan tangis mengiris perih ketika semuanya menjadi jelas. Akulah kembang ayu itu, dan kaulah, Zul lelaki yang hendak memetiknya.

Aku terperanjat manakala orangtua Zul mengutarakan maksud kedatangannya. Berkali-kali mataku menyorot wajah orang-orang yang kukenal, bergantian. Ibu merespon dengan tatapan lindap, sementara bapak menerkamku dengan matanya yang berkilat-kilat. Dan, hei! Zul membalas tatapanku dengan tatapan yang belum pernah kurasakan selama pertemanan kami. Apa-apaan ini, heh? Keterlaluan main-main ini.

Tetapi Zul membenarkan dengan anggukan kecil. Tubuhku luruh lampai di pelukan Ibu. Mengisak tangis. Dengarlah apa kalimat-kalimat yang Bapak urai di pangkal telingaku, di gelanggang mata orang banyak.

“Fatma, kiranya sudah cukup sampai SMA saja, tak perlu mengikuti kakakmu. Toh, setelah nanti berumah tangga itu sudah sepenuhnya tanggung jawab Zul sebagai suami. Bukan begitu, Pak Tayeb?”

“Saya sudah serahkan usaha huller dan angkot pada Zul. Biar nanti mereka berdualah yang mengelolanya. Ngurusnya tak serumit ngurus perusahaan. Itu pekerjaan mudah!” Suara Pak Tayeb, bapak Zul terdengar jumawa.

“Bagaimana, Nak Zul?” tanya Bapak.

“Saya terserah Bapak dan Ibu Fatma saja.” Itulah jawaban Zul, terdengar seperti lenguhan kerbau bodoh.

Sulit mempercayai Zul mengikuti skenario orangtua kami. Ia terkenal di sekolah sebagai siswa yang kritis dan ketua Osis yang sering berseberangan pendapat dengan Pak Yanuar, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan. Nyatanya di sini ia tiba-tiba berubah jadi kerbau bodoh.

Aku yang limbung karena bingung masih terisak di bahu ibu. Celakanya semua orang menganggap begitulah perempuan, menyamarkan bahagia dengan sesenggukan tangis.

Semuanya mengumbar senyum senang. Seolah baru saja menuntaskan beban berat dari pundak mereka. Hanya Ibu saja mungkin yang paham kecamuk hatiku.

Aku tak dapat terima orang-orang memperlakukan diriku seperti sebidang tanah yang hendak dipindahtangankan. Tak pernah ada yang membicarakan perihal ini denganku. Tiba-tiba mereka sudah memutuskan. Seolah aku sebuah benda mati.

Malamnya Ibu mengurai semuanya sejelas-jelasnya, diselingi berkali-kali permintaan maafnya.

Tumpukan hutang keluarga kami pada orangtua Zul, penyebabnya.

Rupanya selama ini pinjaman dari Pak Tayeb, ayah Zul, yang telah membiayai sekolahku dan adik-adikku. Termasuk biaya kuliah Kak Nay. Tidak itu saja, separuh rumah kami ternyata dibangun dengan jutaan rupiah dari laci uang Pak Tayeb. Ia pemilik beberapa huller, belasan angkot dan banyak usaha lainnya, termasuk puluhan hektar sawah. Mujur saja seluruh hutang itu tak dibuntuti dengan rente. Meskipun kaya, ia bukan rentenir tetapi juga bukan orang pelit. Walau tak semua orang diberi pinjaman.

“Pak Tayeb sudah berkali-kali menanyakan perihal hutang kita padanya. Memang dia tak memaksa kita membayarnya segera. Tapi kalau tak dicarikan jalan keluarnya akan semakin berat, Fat. Jumlahnya sudah mendekati seratusan juta.” Kata Ibu mengelus rambutku.

“Lalu membarternya dengan diri Fat?!” kurenggutkan kepala dari tangan ibu.

“Tidak. Bukan begitu Fat....”

“Lalu apa namanya kalau bukan barter?”

“ Zul yang mengusulkan penyelesaian seperti ini.”

“Zul?” Aku tersedak

“Bapaknya tidak setuju, sebenarnya. Tapi Zul ‘kan anak kesayangannya. Dan Zul juga yang mengatur agar sampai maksud lamaran tadi diutarakan, kamu sengaja tidak diberi tahu.”

“Bu? Zul.....?”

“Ia menyukai kamu, sejak lama. Kau, tentu memiliki perasaan yang sama. Sejak dari SD kalian bergaul.”

Entahlah, bagaimana menjelaskan gejolak hatiku. Ketika tahu lelaki yang selama ini diam-diam terpatri di sudut hatiku, ternyata menyimpan gelora yang sama. Ada gemintang menyilau dalam hati. Tapi dengan segala apa yang telah terjadi kini, matahari kemarahan telah membuat semuanya hangus. Mengabu. Mengapa Zul tega bertindak sebegitu menyakitkan?

Entah apa menelingkup benaknya hingga istana impian yang ia bangun tega dihargai sebanyak hutang Bapak. Lelaki bodoh macam apa, engkau, Zul? Kau tak pernah belajar dari cerita Siti Nurbaya, rupanya. Atau kau tengah mengikuti cara Datuak Maringgih? Oh, di zaman apa kau hidup, Zul?

"Aku tak mengapa melepas kesempatan kuliah, asal dapat segera menyuntingmu. Aku takut, kau jadi menguak rantau seperti biasa dilakukan para gadis di kampung kita, lalu aku bakal kehilanganmu."

Begitu kalimat Zul yang lain dalam helai surat yang sama. Ah, mengapa juga masih mengungkapkan kecemasan masa jahiliyahnya. Tidakkah seharusnya ia memikirkan saja masa depannya bersama anak dan istrinya?

Tapi aku sudah mengambil kata putus. Kutinggalkan Singgalang tanpa siapapun tahu. Tidak juga Bapak dan Ibu, sebab aku sudah kepalang kecewa. Bahkan aku tak mau peduli bagaimana gunungan hutang itu bisa terlunasi. Kehormatanku hanya seharga seratusan juta. Meski menurut ibu tak tepat seperti itu simpulanku. Bukankah hutang-hutang itu semuanya demi rumah kami, demi Kak Nay dan kelangsungan sekolah adik-adikku? Ibu coba menghibur dengan mengatakan bahwa itulah yang disebut dengan pengorbanan.

Tapi retak di jiwaku terlanjur meremuk. Dan lelaki itu telah meniupkan limbubu, menuntaskan remuk hingga mengabu. Dianggapnya gunung hutang cukup untuk membeli hidupku dan sim salabim aku sudah ada di genggamannya. Pfuiih!

Lagipula, bagaimana mungkin Bapak dan Ibu lupa bahwa tak patut menurut adat pihak laki-laki datang melamar. Sejak ranah terkembang belum pernah ada orang di kampung kami yang melakukannya. O, apakah memang uang sangat berkuasa meminggirkan tata cara adat?

***

Setelah sepuluh tahun merajuk rantau, aku tak mau melengos lagi masa lalu bahkan aku bersikeras tidak mau tahu bagaimana keadaan Bapak, Ibu dan adik-adikku. Hatiku membatu. Bertumpuk kecewa, mengapa Bapak harus menyandarkan semua masalah keluarga kami pada kekayaan orang tua Zul. Mengapa tak sekalipun Bapak berusaha membicarakan persoalan keluarga dengan kami, anak-anaknya. Membiarkan kami menganggap puluhan petak sawah yang dikelola Bapak adalah milik kami. Teganya Bapak mendustakan keadaan pada kami.

Pupus keinginan mengecap bangku kuliah, kutukar dengan membanting tulang bersama ratusan teman-teman lain di pabrik seberang laut. Aku bersikeras menghilang dari masa lalu. Tapi, ternyata benar kata orang, tak ada tempat untuk sembunyi di bumi. Surat Zul muncul entah dari siapa ia tahu alamatku.

Tanpa kusadari, dua lembar surat itu sudah kusut dalam remasan jariku. Meski belum tuntas kubaca, tapi beberapa kalimat saja sudah cukup menyeret pikiran ke tahun-tahun haru-biru.

Kubuka lagi lembar yang sudah remuk itu.

Kamu masih ingat cita-cita kita, Fat? Membuat pondok kecil di samping Masjid dekat rumahmu, menjadikannya perpustakaan! Andai kau bersedia pulang, kau akan menyaksikan betapa cita-cita ternyata bisa diwujudkan. Aku mengajak teman-teman remaja masjid membangunnya. Dan sekarang setiap hari selalu saja ada yang mengunjungi. Aku sengaja membiarkannya tidak dikunci. Seperti katamu, pustaka yang baik adalah pustaka yang bukunya banyak hilang. Tapi rupanya orang-orang di kampung kita tak berbakat jadi pencuri, walau jadi pencuri ilmu sekali pun.

Ya, dulu kami selalu mengeluhkan masjid di kampung kami tidak memiliki perpustakaan. Buku-buku milik masjid hanya disimpan di lemari yang ada di samping mihrab. Tak ada yang membacanya. Dengan nada bercanda kukatakan pada Zul bahwa cita-cita terbesarku adalah membuat sebuah perpustakaan di samping masjid di kampung kami.

Tapi rasa kecewa dan nelangsa masih terus terpelihara. Mungkin beratus-ratus tahun nanti ia tak akan hilang. Jadi percuma saja cerita tentang pustaka masjid itu. Aku sudah melupakannya sejak lama. Bahkan aku sudah tak ingat lagi bagaimana rasanya berada di masjid. Sudah lama aku tak menyentuh sajadah!

Aku diberitahu bahwa kamu pergi lantaran lamaran itu dikaitkan dengan hutang Bapakmu. Yah, betapa tololnya aku memutuskan cara seperti itu hanya karena ketakutan yang menggunung dalam dadaku bakal kehilanganmu. Tak bermaksud berkelit, aku memang naif bahkan teramat bodoh. Tapi percayalah aku sudah menyimpan keinginan itu sejak lama. Tapi ternyata, sekali lagi, aku amat sangat bodoh, tak mampu bahkan sangat pandir untuk sekedar memberi isyarat.

Hutang itu sudah kami ikhlaskan. Aku masih merasa kau akan pulang, aku masih kuat bertahan untuk tetap berharap. Tapi aku tak mampu membendung kelumpuhan yang mendera Bapakmu, juga penyakit darah rendah yang terus menerus diderita Ibumu. Mereka teramat mencintaimu. Paling tidak sekedar mendengar kabar darimu. Kemana mereka hendak mengalamatkan maaf untuk kekeliruan dan perlakuan mereka padamu?


Lembaran surat itu kembali lumpuh dalam kepalan tanganku. Meremas isak. Basah. Hangat.

*jakarta, mei 07




Bunda Linda

Blog ini berisi warna-warni pelangi seputar dunia anak dan rekan yang mewarnai hari-hari Bunda, Insyaallah banyak hal yang bisa kita petik dari dunia dan tingkah polah anak-anak yang seruuuu

6 Komentar

Silakan Berkomentar di Sini:

Lebih baru Lebih lama