Koin Prita dan Penghukuman Rakyat

Koin Peduli Prita, haruslah dilihat sebagai bentuk perlawanan rakyat kecil terhadap ketidakadilan hukum atas mereka selama ini. Gerakan ini juga adalah sebuah bentuk penghukuman atas mereka yang memiliki akses lebih leluasa pada sistem peradilan, mereka yang punya uang dan mereka yang memegang otoritas penuh untuk menghitam-putihkan konflik yang terjadi di negeri ini.Pengumpulan koin peduli Prita di posko utama sampai pukul 21.00 WIB, Kamis (10/12), yang berasal dari berbagai lapisan masyarakat dari berbagai daerah  mencapai Rp 151.542.425. Aksi pengumpulan koin peduli Prita dimulai sejak Jumat (10/12) sebagai dukungan moral terhadap Prita. Pengadilan Tinggi Banten Dalam sidang perdata, memenangkan Rumah Sakit Omni International Alam Sutra, Serpong, denda 204 juta dibebankan pada Prita.Gerakan pengumpulan koin untuk membantu membayar denda yang dijatuhkan terhadap Prita ini benar-benar sangat mencengangkan sekaligus memiriskan kita.

Dr. Harkristuti Harkrisnowo mengatakan bahwa seharusnya gejala bentuk penghukuman yang timbul dari rakyat ini mengusik para penguasa, entah itu di eksekutif, lembaga peradilan dan mereka-mereka yang dipercaya membidani lahirnya undang-undang di DPR.

Terlepas dari keyakinan kita bahwa setiap konflik harus diselesaikan melalui jalur yang memang digaris-bawahi oleh konstitusi yakni setiap warga negara bersamaan kedudukan di depan hukum, namun penting diingat bagaimana sistem hukum atau lebih spesifik, sistem peradilan kita menjalankan dan menegakkan supremasi hukum. Selama ini kita hanya terpenjara oleh semangat 'supremasi hukum', padahal jauh lebih substansial adalah bagaimana menegakkan 'supremasi humum yang berkeadilan' . Bismar Siregar, mantan Hakim Agung yang sangat dihormati, dalam suatu diskusi di Jakarta Lawyer Club bahkan dengan lantang mengatakan bahwa, demi keadilan, bila perlu aturan hukum akan dikesampingkan. Pernyataan Bismar ini tentu dalam konteks diskusi seputar hukum pidana. Sebagaimana kita paham, dalam hukum pidana, yang dicari adalah kebenaran materil bukan kebenaran formil , sebab kebenaran formil hanya ada dalam etalase, rumusan dan berita acara pemeriksaan yang 'dibuat' oleh penyidik.

Sudah saatnya para penegak hukum memasukkan ke dalam cara pikir dn tindakan dalam wewenang tugas mereka agar tidak senantiasa bersikeras bersembunyi di balik batu besar bernama 'proses hukum', hukum prosedural, atau formalistik-legalistik semata. "Keadilan Harus Tegak, Walau Langit Aturan Hukum  Runtuh", mungkin boleh jadi semboyan ini kita pakai.
Artikel terkait:
 

Posting Komentar

0 Komentar

Below Post Ad