Rendra memang monumental, baik sebagai pribadi maupun keseluruhan perjalanan berkeseniannya bagi bangsa ini. Tetapi ia bukanlah monumen, tugu mati yang sesekali dikerubuti, dijadikan latar berfoto dan lebih banyak dilewati begitu saja. Tidak disengaja, tidak dirindukan, dan yang menyedihkan tidak dibutuhkan. Layaknya tugu, ia hanya perlu diingat sesekali. Rendra bukanlah tugu, yang bisu dengan kemegahannya sebagai landmark di tengah kota.
Boleh jadi Rendra tidak memerlukan kredo untuk seluruh kata-kata yang ia bidani dan ia rawat dengan tekun. Tak perlu pula ia memberi nama, karena nama hanya memerangkap kita pada kecenderungan mencari asal-usul. Yang terpenting adalah, apakah kata-kata yang lahir mampu mewakili kepentingan lebih banyak orang. Kata-kata tidak dilahirkan hanya sebagai ujud halusinasi lantas disenggemai sendiri dan mendapatkan kenikmatan yang palsu. Kata-kata adalah guide bagi orang-orang buta, kusta dan teraniaya sekaligus bentakan bagi mereka yang mengaku pemimpin.
“banyak orang dirampas haknya// aku bernyanyi, menjadi saksi.....” di Kantata Taqwa Rendra mempersembahkan kepenyairannya untuk tidak sekadar menjadi bunga-bunga pemanis rupa di negeri ini. Kata-kata baginya juga tidaklah sekadar jumbai-jumbai di selendang pesta, melainkan harus menjadi selendang itu sendiri. Selendang bisa multifungsi dalam segala kemungkinan.
Puisi bukanlah sekadar wangi, mentereng dan berwarna-warni. Puisi lebih dipilih karena berisi dan diisi. Potret pembangunan dalam puisi akan menjadi pamflet bukan album.
Selamat jalan Mas Willy!
[pdklp - 7/8/2009]
IKUT bERduka CITa atas berpulangnya budayawan DAN SENiman Besar INI..
BalasHapusAPA PENDAPAT ANDA TENTANG TOPIK INI?: