Kodok dan Pohon Tumbang




Cerpen : Oce Satria 


SEGELAS air putih dan segenggam tablet terasa bagai banjir lumpur bercampur onggokan sampah yang hendak melewati sungai sempit dan gelap. Murtadi merasakan kerongkongannya tercekat seolah menunjukkan ketakutan dan minta jangan lagi dicecoki sampah-sampah itu.

Obat gula Daonil, obat darah tinggi Angioten, dan obat jantung Lasix ditambah obat tidur Frixitas serta beberapa tablet yang ia tak ingat lagi apa namanya, entah sudah berapa ratus butir meracuni tubuhnya.

Hidupnya seperti pohon tumbang. Murtadi merasa hidupnya mendadak terhenti begitu terkapar oleh kampak dan gergaji. Begitulah, berada di bawah maka beragam bau busuk leluasa menyengat hidung. Mustahil memencet hidung terus-menerus bila tidak mau mati lemas. Tikus dan kecoa serta puluhan binatang hina dina lainnya tak lagi punya rasa sungkan melintasi tubuhnya.

Ia hampir tak percaya segalanya berlangsung dengan cepat dan tak terduga. Mulanya ia mengira bakal menikmati masa pensiun ini layaknya pemain bola kawakan yang hengkang dari klub yang sudah dibelanya berpuluh musim.

Nyatanya, kini ia merasa dirnya tak ada bedanya dengan seorang pesakitan. Benar-benar seperti seorang pesakitan. Tanpa kuasa, terkungkung dan tak bisa mengelak dari hantu yang terus-menerus memburunya. Murtadi dapat merasakan hantu-hantu yang terus menggedor-gedor jantungnya.

Mempersetankan asam urat, diabetes, jantung, darah tinggi dan rematik mungkin Murtadi masih kuasa melakukannya. Tapi kini ia merasa seperti beringin angker yang tiba-tiba harus tumbang. Kodok pun dengan congkak bertengger sambil mendendangkan lagu kebangsaanya. Padahal dulu Murtadi paling benci mendengar suara kodok. Kalau bisa ia bahkan ingin merusak pita suara kodok-kodok itu. Mereka tak perlu bersuara, cukup nikmati saja sisa jamban dalam got!

Seluruh penghuni rumah telah sejak pagi tadi meninggalkannya sendiri. Hanya ada Isah, pembantunya. Sementara istrinya yang masih merasa dirinya sangat cantik itu sudah sejak pukul tujuh berpamitan. Katanya diundang ke pembukaan pameran anggrek milik sahabatnya. Tiga orang anaknya bahkan sudah sejak subuh mengejar kehidupan mereka, tanpa berucap sepatah kata pun.

“Obatnya udah kumplit, Tuan?” tiba-tiba suara Isah mengagetkan Murtadi. Nyaris saja obat yang ada di genggamannya berhamburan.

Murtadi mengelus dadanya. “Berkali-kali kubilang, jangan ngomong kalau aku tidak melihatmu! Jantungku tidak cukup kuat meladeni pertanyaan mendadak begitu.”

“Maaf, Tuan. Tapi obatnya harus segera diminum. Jangan telat.”

Murtadi serasa hendak meloncat ke hadapan Isah, meremas mulutnya. Bagaimana bisa pembantunya mulai berani menggunakan kata-kata harus, segera, dan jangan kepadanya? Bukankah kata-kata itu hanya boleh keluar dari mulutnya? Tidakkah itu seperti nyanyian kodok yang selalu dibencinya?

Raut muka Murtadi mengeras menahan geram.

Tapi mau kata apa, Isah sudah ngeloyor ke ruang dapur.

Tiga puluh tahun adalah waktu yang amat panjang bagi Murtadi menikmati bagaimana dengan leluasa ia menumpahkan setiap kegeraman yang menggumpal di benaknya. Sudah ratusan orang bawahan bahkan termasuk anak istrinya kebagian dampratan Murtadi. Ia memang dikenal sebagai atasan yang keras, disiplin dan berwibawa di berbagai kantor yang pernah dipimpinnya. Dianggap sebagai pejabat sukses. Tidak ada yang tahu pasti apa ukuran kesuksesannya. Hanya, barangkali hampir setiap hari wajah dan namanya selalu terpampang di koran-koran daerah. Punya beberapa mobil, rumah dan beberapa ekor kuda pacuan, cukuplah membuat orang takjub dan segan padanya.

Tapi pohon besar pada waktunya mesti tumbang juga. Waktu mengalir bahkan bagai tak ada pembendungnya. Tidak bisa diperlambat seperti air yang dibendung,. Waktu mengalir deras, cepat dan meluncur melewati kecuraman.

Murtadi lelah merangkum seluruh memori. Bibirnya mengumbar senyum manakala ingatannya membawanya ke masa silam. Tapi seringkali ia tiba-tiba meringis meremas dadanya ketika tersadar kalau dirinya kini tengah terduduk lemas di atas kursi rodanya.

Coba dihubunginya nomor seluler sang istri, berharap istrinya segera pulang.

“Aduh, Papa! Pembukaannya baru dimulai ini. Lagian, ada Ibu Gubernur di sini. Mama malu dong kalau harus meninggalkannya. Papa istirahat saja dulu. Nonton tivi, kek. Oke, Pa? Udahan, ya!”

Pohon tumbang itu meringis menahan sesak di dadanya. Murtadi mendapati omongan istrinya bagai nanyian kodok. Sangat buruk terdengar olehnya manakala kepala dan kaki kini rata menelungkup tanah. Dan kodok seenaknya bertengger dengan dendang yang sangat tak indah. Sambil kencing pula. 

Murtadi merasa nasibnya lebih buruk ketimbang pohon tumbang.

Selama empat puluh tahun, istrinya tak pernah berani mengeluarkan kalimat seperti itu. Ia kini merasa ringkih dan lapuk. Benturan yang amat kecil pun bahkan akan sangat mudah mematahkan tubuhnya menjadi potongan-potongan kecil, lalu berkeping dan lebur ditiup angin.

Murtadi memandangi beberapa tablet yang masih berada di telapak tangannya. Ia tak habis pikir, mengapa semua penyakit tiba-tiba saja begitu mudahnya hinggap di tubuhnya begitu ia memasuki hari-hari pensiun. Ia juga mesti menahan hasrat merokoknya. Apakah setiap orang yang menjalani masa pensiun harus melakoni hal yang sama seperti keadaanku sekarang?

Ia pun lama tak melahap koran. Itu lantaran tak diberi izin oleh istri dan anak-anaknya. Deritanya terasa lengkap ketika seluruh kanal TV lokal dihapus dari memori pesawat televisi. Murtadi hanya boleh menikmati tv luar negeri.

Itu pun belum cukup.

Istrinya merasa perlu menyingkir jauh dari hiruk pikuk kota yang sepanjang hari tak berhenti menghamburkan teriakan dan caci –maki. Jadilah rumah berharga ratusan juta rupiah di pinggiran kota menjadi karantina bagi Murtadi.

Murtadi mengeluhkan keterasingannya.

“Persetan para demonstran itu mau ngoceh apapun, asal papa tidak mendengarnya. Lagipula mereka juga tidak bakal tahu papa ada di mana. Iya, ‘kan?”

“Sampai kapan?’ tanya Murtadi.

“Sampai semua orang melupakan nama papa. Toh setiap hari pasti bakal muncul tokoh baru dengan masalah yang lebih baru dan jauh lebih rumit.”

“Semudah itu?”

“Paling-paling satu kali pemilu orang-orang sudah lupa.”

“Sependek itu?”

“Siapa sih menurut papa yang punya ingatan panjang di negeri ini?”

“Koran-koran?”

“Aduh, Pa! Bejibun masalah beruntun setiap hari. Mereka bahkan bingung memilih headline!”

Murtadi merasa percuma memperdebatkan keheranannya. Semua analisa dan keputusan sekarang ada di mulut istrinya. Ia menurut saja dengan hati bersungut.

Begitulah percakapan dia dengan sang istri.

Telepon berdering selang beberapa detik setelah dihempaskan Murtadi. Dipelototinya pesawat telepon itu dengan sisa kemarahan. Matanya berkilat-kilat memancarkan rona kejengkelan. Jengkel dengan cara istrinya menutup telepon tadi.

“Ya, apa lagi?”

“Pak Murtadi?”

“Heh, ya! Siapa ini?”

“Kita sudah lama kehilangan Pak Murtadi. Kami merindukan kehadiran Bapak. Coba Bapak tengok di luar, mereka yang merindukan Bapak ,selalu meneriakkan nama Bapak, merangkainya dalam harmoni yel-yel….”

“Bagus! Bagus! Bagus! Tapi dengan siapa saya bicara?”

“Orang menduga Bapak banyak urusan di daerah lain…”

“Ya, ya benar!”

“Sebagian orang bahkan mengira Bapak sudah kabur ke luar negeri membawa milyaran uang…”

“Heh???”

“Kemarin saya baca di koran para auditor mulai mengarahkan kecurigaan mereka pada nama Bapak. Saya tidak mengerti kenapa nama Pak Murtadi mesti dicurigai. Lagi pula Jaksa hanya menyebut inisial M, tapi mengapa koran-koran menulisnya Murtadi?”

Darah tersedot ke pusat peredarannya. “Apa yang saudara katakan ini? Sekali lagi, dengan siapa saya bicara? Dari mana Saudara dapat nomer telepon saya?”

“Hari ini saya tidak bisa buka gerobak bubur ayam saya, Pak. Jalanan macet. Ratusan mahasiswa berteriak-teriak minta hamba wet menyeret Bapak ke pengadilan!”

“Tukang bubur ayam?”

Murtadi shock, tidak siap mendengar kecoa, cacing, hingga kodok makin berani bernyanyi. Tablet di genggaman Murtadi berhamburan di lantai.


*Pondok Kelapa 2006

Tags

Posting Komentar

0 Komentar

Below Post Ad