KARNAVAL PUISI: Jembatan Panjang 832002 Kilometer

Pesan Dari Rahim

oleh EkaSatria Taroesmantini

Akhirnya, kami malu, nak
berharap tahu kemaluanmu dalam
rahim ibumu
Kau merapatkan paha
serupa siswa kelas satu yang malu-malu
di bangku bundar halaman sekolah
ketika ultrasonografi menyigimu

Kami berbinar menyaksikan engkau
berenang di ketuban kolam ibumu
Meraup semua kebun surga warisan
Bunda Hawa
“maka nikmat tuhanmu yang manakah
yang kamu dustakan?”

Akhirnya, kami malu, nak
berharap tuhan tak keliru
sedang kita berempat di rumah ini
selalu berbalut cintaNYA
saling melempar senyum dan tawa
berbunga-bunga

Akhirnya, kami malu, nak
Engkau menggelombang di perut istriku
Melantunkan firman
“maka nikmat tuhanmu yang manakah
Yang kamu dustakan?”

[RS BundaAliya~ 7/8/09]




Dan Ini Kubangun RumahMu

Oleh Eka Satria Taroesmantini

kukatakan selalu kulukis langit

di setiap ramadhan kelebat kaligrafi

seperti tetamu yang malu-malu

“assalamu’alaikum, inilah kami”

dan aku pasti berasyik-masyuk

menuliskan rindu membubu

seperti aku sudah berada di arasyMU

tapi aku tetaplah pendosa nista

mencari tuhan selainMU

di milyaran ruang dan bangun

dan lalu menaruhMU di setiap

kekalahan dan kekecewaan

dan kini aku hendak membangun

rumahMU di hati

aku janji!

[Ramadhanpondokkelapa2005]



Habiba Buah Hati

Oleh Eka Satria Taroesmantini

Hati-hati meniti hatimu

angin kemarau nyatanya menumpas

di ujung batas menghempas

Lama kuhimpit sakit

mencoba kabur dari kejujuran

dan berdiam di negeri yang asing

tapi tak juga pernah mekar

bunga

yang kupetik dari kebun nurani

Hari ini

aroma tanahmu mengendus

relung sejarahku, habiba

Lama sudah kurayu Engkauku

Rabbi, cinta itu milikMu

sisipkan disposisiMu di hatinya

jangan biarkan kelopaknya keras mencadas

habiba buah hati

andai tak melayang kabar

lalu di terminal mana engkau

hendak kujemput

January 1996



Jembatan Panjang 832002 Kilometer

-Eka Satria Taroesmantini-

Aku sudah menyaksikan bulan merah jambu

di ujung jembatan dari tanah ibunda

disaput kelumit awan putih malu-malu

diam menghampar di sisi beranda

merekat kembali ingatan sejarah kanak-kanak

betapa tak cukup langit menangkup warna-warni

termangu seperti hari membiarkan

hujan dan kemarau datang dan pergi

sesuka hati

pernah kutuliskan pengharapan

meminta engkau singgah di bumi ketiadaanku

“kurasa aku terlalu naïf.”

begitu aku merutuk sesal

tetapi sesekali engkau tumpahkan gerimis

memekarkan bunga

dan lalu berhari-hari kemarau

menghantarkan nelangsa

akukah yang gamang ataukah engkau yang memendam

asa dalam ragu

entahlah

berpuluh purnama berlalu

aku dan engkau ditakdirkan bersua

di ujung jembatan

seperti dermaga menunggu kapal melempar jangkar

di laut lepas kita

bakal bertarung merebut cinta

tanpa malu-malu

(pondokkelapa05)



Segala Zaman

Oleh Eka Satria Taroesmantin

Di zaman Batu
Parlemen adalah kampung damai permai
Adem-ayem
Dan rakyat tak tahu apa-apa

Di zaman Baru
Parlemen jadi kampung ramai
Bak kandang ayam
Dan rakyat tak tahu apa-apa

Di zaman Kuno
Air ludah adalah pupuk
bagi kebun untuk
memuji dan menjilat

di Zaman Kini
air liur adalah kosmetik operet
bagi panggung
menguji dan menghujat

Di zaman Baru
Semua orang berkepala batu

Di Zaman Kini
Diam adalah benda kuno

Air Tawar 98





Sejarah Yang Tak Pernah Ada

Berburu ke segara berbekal mata parang
menghunus amuk dendam
mungkin tak selalu kau dapatkan
genangan darah untuk kau hisap

relief buana tak lagi seindah
cerita masa kanak-kanak
gelombang hanya milik samudera saja kini
petualangan hanya sejauh mata memandang
di mana gunung dimana rimba raya
dimana kita melayang di sela-selanya
di mana hulu di mana hilir sungai
tak bersua awal tak bersua akhir

Di genggamanmu cobalah kau eja lagi
catatan yang sudah remuk
barangkali hendak kau runut kembali
seluruh asa yang pernah terajut

entahlah ranah masih seramah sejarah
sebab simpang-siur angin berkabar
muram dan kelam mendentam-dentam dada

O, adakah limbubu kau rindu
agar seluruh nyeri dan perih tapung hambur
dan biarkan seluruh bakal anak keturunanmu
merawat lukanya sendiri

ketika kau mulai tahu mimpi buruk dan baik
hanyalah rangkaian persepsi
nyaris seluruh sendi
luruh lumpuh untuk berbalik

(jakarta 2005)



Hai Gaung, Hai Gunung

Belum pernah kutuliskan amarah separah ini
kau menggempa di tanahku merubuhkan tiang-tiang rumahkami
merenggut keangkuhan dari dada kami
lalu membiarkan kami menggigil memagut malam
tidakkah kau lihat kemudian tanah kami basah oleh ketakutan
ribuan keluh sesal dan pujian telah dikirim ke langitMu
tidak cukupkah itu bagiMu





Tags

Posting Komentar

0 Komentar

Below Post Ad