oleh EkaSatria Taroesmantini
Akhirnya, kami malu, nak
berharap tahu kemaluanmu dalam
rahim ibumu
Kau merapatkan paha
serupa siswa kelas satu yang malu-malu
di bangku bundar halaman sekolah
ketika ultrasonografi menyigimu
Kami berbinar menyaksikan engkau
berenang di ketuban kolam ibumu
Meraup semua kebun surga warisan
Bunda Hawa
“maka nikmat tuhanmu yang manakah
yang kamu dustakan?”
Akhirnya, kami malu, nak
berharap tuhan tak keliru
sedang kita berempat di rumah ini
selalu berbalut cintaNYA
saling melempar senyum dan tawa
berbunga-bunga
Akhirnya, kami malu, nak
Engkau menggelombang di perut istriku
Melantunkan firman
“maka nikmat tuhanmu yang manakah
Yang kamu dustakan?”
[RS BundaAliya~ 7/8/09]
Dan Ini Kubangun RumahMu
Oleh Eka Satria Taroesmantini
kukatakan selalu kulukis langit
di setiap ramadhan kelebat kaligrafi
seperti tetamu yang malu-malu
“assalamu’alaikum, inilah kami”
dan aku pasti berasyik-masyuk
menuliskan rindu membubu
seperti aku sudah berada di arasyMU
tapi aku tetaplah pendosa nista
mencari tuhan selainMU
di milyaran ruang dan bangun
dan lalu menaruhMU di setiap
kekalahan dan kekecewaan
dan kini aku hendak membangun
rumahMU di hati
aku janji!
[Ramadhanpondokkelapa2005]
Habiba Buah Hati
Oleh Eka Satria Taroesmantini
Hati-hati meniti hatimu
angin kemarau nyatanya menumpas
di ujung batas menghempas
Lama kuhimpit sakit
mencoba kabur dari kejujuran
dan berdiam di negeri yang asing
tapi tak juga pernah mekar
bunga
yang kupetik dari kebun nurani
Hari ini
aroma tanahmu mengendus
relung sejarahku, habiba
Lama sudah kurayu Engkauku
Rabbi, cinta itu milikMu
sisipkan disposisiMu di hatinya
jangan biarkan kelopaknya keras mencadas
habiba buah hati
andai tak melayang kabar
lalu di terminal mana engkau
hendak kujemput
January 1996
Jembatan Panjang 832002 Kilometer
-Eka Satria Taroesmantini-
Aku sudah menyaksikan bulan merah jambu
di ujung jembatan dari tanah ibunda
disaput kelumit awan putih malu-malu
diam menghampar di sisi beranda
merekat kembali ingatan sejarah kanak-kanak
betapa tak cukup langit menangkup warna-warni
termangu seperti hari membiarkan
hujan dan kemarau datang dan pergi
sesuka hati
pernah kutuliskan pengharapan
meminta engkau singgah di bumi ketiadaanku
“kurasa aku terlalu naïf.”
begitu aku merutuk sesal
tetapi sesekali engkau tumpahkan gerimis
memekarkan bunga
dan lalu berhari-hari kemarau
menghantarkan nelangsa
akukah yang gamang ataukah engkau yang memendam
asa dalam ragu
entahlah
berpuluh purnama berlalu
aku dan engkau ditakdirkan bersua
di ujung jembatan
seperti dermaga menunggu kapal melempar jangkar
di laut lepas kita
bakal bertarung merebut cinta
tanpa malu-malu
(pondokkelapa05)
Segala Zaman
Oleh Eka Satria Taroesmantin
Di zaman Batu
Parlemen adalah kampung damai permai
Adem-ayem
Dan rakyat tak tahu apa-apa
Di zaman Baru
Parlemen jadi kampung ramai
Bak kandang ayam
Dan rakyat tak tahu apa-apa
Di zaman Kuno
Air ludah adalah pupuk
bagi kebun untuk
memuji dan menjilat
di Zaman Kini
air liur adalah kosmetik operet
bagi panggung
menguji dan menghujat
Di zaman Baru
Semua orang berkepala batu
Di Zaman Kini
Diam adalah benda kuno
Air Tawar 98
Sejarah Yang Tak Pernah Ada
Berburu ke segara berbekal mata parang
menghunus amuk dendam
mungkin tak selalu kau dapatkan
genangan darah untuk kau hisap
relief buana tak lagi seindah
cerita masa kanak-kanak
gelombang hanya milik samudera saja kini
petualangan hanya sejauh mata memandang
di mana gunung dimana rimba raya
dimana kita melayang di sela-selanya
di mana hulu di mana hilir sungai
tak bersua awal tak bersua akhir
Di genggamanmu cobalah kau eja lagi
catatan yang sudah remuk
barangkali hendak kau runut kembali
seluruh asa yang pernah terajut
entahlah ranah masih seramah sejarah
sebab simpang-siur angin berkabar
muram dan kelam mendentam-dentam dada
O, adakah limbubu kau rindu
agar seluruh nyeri dan perih tapung hambur
dan biarkan seluruh bakal anak keturunanmu
merawat lukanya sendiri
ketika kau mulai tahu mimpi buruk dan baik
hanyalah rangkaian persepsi
nyaris seluruh sendi
luruh lumpuh untuk berbalik
(jakarta 2005)
Hai Gaung, Hai Gunung
Belum pernah kutuliskan amarah separah ini
kau menggempa di tanahku merubuhkan tiang-tiang rumahkami
merenggut keangkuhan dari dada kami
lalu membiarkan kami menggigil memagut malam
tidakkah kau lihat kemudian tanah kami basah oleh ketakutan
ribuan keluh sesal dan pujian telah dikirim ke langitMu
tidak cukupkah itu bagiMu
APA PENDAPAT ANDA TENTANG TOPIK INI?: