Syariah, Diskriminasi dan Paranoia




By Oce Satria

Di berbagai media dan debat di televisi masih sering kita temukan pikiran-pikiran yang mengecam beberapa produk undang-undang dengan label syariah. 

Teman-teman non muslim, anehnya, khusus ummat kristiani, seperti meradang, mempersoalkan produk hukum berbau syariah. Mereka cemas ini adalah cikal dari rencana besar membentuk negara Islam. Produk hukum tersebut mengindikasikan adanya diskriminasi warga negara berdasar agamanya, dan undang-undang syariah dipercaya akan menjadi bibit pecahnya kongsi NKRI.

Saya hanya mengelus dada dan lebih sering tertawa membaca perlawanan tersebut. Simaklah uraian mereka yang protes itu, selalu mengacu konstitusi, bahwa warga negara bersamaan kedudukannya di depan hukum, bukan hukum Islam, bukan hukum yang berasal dari sumber hukum Islam. Pokoknya asal bukan Islam! 

Padahal, konstitusi kita, UUD 1945 jelas menjunjung tinggi hak menjalankan syariat agama dan kepercayaan masing-masing yang diyakini. Artinya tidak ada satu kekuatan pun yang boleh meniadakan hak tersebut dan tidak ada urusannya dengan soal mayoritas atau minoritas.

Dengan demikian, apabila syariat agama hendak dijadikan sumber hukum, konsitusi menyediakan mekanisme agar hal itu bisa terwujud. Ekonom Syafii Antonio mengatakan bahwa sah-sah saja ummat kristiani meminta dibuatkan undang-undang yang mengatur perkoperasian di lingkungan gereja, misalnya.

Ambil contoh soal perbankan syariah atau ekonomi syariah secara luas. Tujuan mempraktikkan suatu teori, prinsip atau paham ekonomi tentulah bagaimana mencapai keadilan, menciptakan kemakmuran rakyat dan menumbuhkan rasa aman dan nyaman dalam masa yang panjang. Dan Islam menyediakannya. 

Tidak ada yang salah dan dirugikan sebenarnya dari penerapan sistem perbankan syariah. Bukankah dalam Bible termaktub kecaman pada mereka yang mempraktikkan riba? Terbukti ekonomi kapitalis sekarang sudah menampakkan boroknya dan banyak ahli ekonomi dunia mulai melirik ekonomi syariah sebagai sebuah alternatif dan solusi.

Perlu diketahui pula bahwa teori pembentukan undang-undang mengatakan, sebuah undang-undang yang akan dilahirkan hendaklah mencerminkan nilai-nilai filosofis, yuridis dan sosiologis masyarakat di mana undang-undang akan diterapkan. Undang-undang disyaratkan agar menyerap sistem nilai yang hidup dalam masyarakat.

Ingat, sebuah produk hukum, dari mana pun ia bersumber, setelah ditetapkan sebagai undang-undang maka namanya bukan lagi undang-undang A, B atau C, undang-undang syariah atau bukan, perda syariah atau tidak. Akan tetapi ia sudah menjadi hukum positif Negara Kesatuan Republik Indonesia! Apalagi sebuah undang-undang digodok dibuat dan ditetapkan oleh badan demokratis yang bernama badan legislatif. Setelah lebih dulu diputar-balik, diuji publik dalam waktu yang cukup.

Lalu apa masalahnya?

Yang terjadi di Indonesia sebenarnya bukanlah penolakan terhadap substansi undang-undang berlabel syariah, tetapi mental inferior, paranoid dan kecemasan seolah-olah akan ditelikung, dipecundangi dan lebih ekstrim, dizalimi.

Masih belum puas? Demokrasi masih menyediakan mekanisme untuk warga negara yang tidak puas dan meragukan sebuah produk undang-undang yang diduga melawan emaknya: konstitusi. Ada mekanisme uji materil ke lembaga bernama Mahkamah Konstitusi yang akan menilai apakah sebuah produk undang-undang secara keseluruhan atau pada bagian tertentu yang bertentangan dengan konstitusi. Bila dinilai melawan UUD maka akan divonis untuk dibatalkan. Mudah dan cukup adil, bukan?

Tetap belum puas?

Nah, sekarang saya bertanya, apakah Anda menolak produk hukum berbau syariat Islam karena akan menciderai diri Anda atau hanya semata-mata karena sumbernya dari hukum Islam? Ekstrimnya, pokoknya asal bukan dari Islam walaupun itu baik? Ingat, ummat Islam Indonesia tidak mempersoalkan produk hukum yang banyak bersumber dari nilai-nilai kristiani dan yahudi seperti KUHP yang disalin dari KUHP Belanda (Wetboek van Strafrecht, WvS) yang direformasi juga dari Code Penal milik Perancis, KUHDagang (Wetboek van Koophandel) yang dicuplik dari Code de Commerce atau KUHPerdata (Burgelijke Wetboek). Kalau pakai logika matematis: Yang mayoritas saja welcome dengan undang-undang yang tidak bersumber dari kehidupan dan keyakinan mereka, mengapa yang minoritas tidak mau berlapang dada menerima undang-undang yang kebetulan diinspirasi oleh agama Islam dan sesungguhnya secara materil tidak ada masalah bahkan sangat menguntungkan?

Jangan apriori menerima niat baik pihak lain. Bahkan untuk urusan doa, yang erat kaitannya dengan keyakinan, ummat Islam telah diajarkan oleh khalifah Umar bin Khatab r.a yang mengatakan bahwa “kita tidak tahu dari mulut yang mana doa itu dikabulkan Allah” jadi boleh-boleh saja minta didoakan oleh siapa pun.
Masih ngotot? I do not know.....


Pondok Kelapa 15 Maret 2009

Posting Komentar

0 Komentar

Below Post Ad