Cerpen: Duuh.....Hitam

DUH, HITAM.........
Cerpen: Oce Satria 


Nito belum mengerti maksud Allah, menciptakan warna kulit seperti yang dipunyai Gyanti, gadis yang disodorkan Adiba untuk jodohnya. Ia gadis berkulit hitam, meski tak sepekat warga Namibia, di Afrika sana. Separuh dirinya serta-merta membentuk pagar resistensi, menolak kenyataan itu sebagai sebuah kewajaran. Atau barangkali takdir Allah yang tak bisa dielakkannya. Namun,haruskah ia jujur mengakui penolakan ini pada dirinya sendiri? Pada Adiba? Pada Gyanti?

Jauh-jauh hari sebelum Adiba mempertemukan mereka, Nito sudah menyimpan gambar imajiner Gyanti dalam kepalanya. Seorang gadis manis yang sangat fotogenic, berkulit putih berjilbab coklat susu, persis seperti model yang mengiklankan jilbab di sampul hard cover bagian belakang edisi spesial sebuah majalah remaja. Lebih mengasyikkan memandangi sampul belakang ketimbang melahap isi di dalamnya. Whuiih!

Adiba, sepupu jauhnya yang satu kampus dengan Gyanti, sebenarnya boleh dikasih nilai A plus untuk marketing jodoh ini. Presentasinya berkali-kali di hadapan Nito tentang Gyanti sangat menarik. Bahwa Gyanti adalah gadis yang cocok untuknya. Luwes, pintar dan akhwat banget. Baik hati dan tidak sombong, tentu. Tingginya 165 sentimeter dengan berat yang proporsional. Senyumnya tulus, wajahnya manis dan matanya adalah jendela kepribadiannya. Kurang apa, coba?

Namun, iklan-iklan cream pemutih yang sangat rasis itu telah membuktikan keampuhannya, Nito termakan ideologi putih lebih menarik. Maka ketika Adiba menyeret Gyanti ke hadapannya, Nito nyaris terkejut, wajahnya pias. Ia bukan Gyanti seperti yang dibayangkan.

Nito susah payah menepis gelagapan dan grogi. Namun bagi Adiba, respon yang diperlihatkan Nito itu berarti arus listrik telah menyetrum. Cowok mana yang nggak bakal deg-degan bertemu calon pengantinnya?

“Nah, ini calon pengantin kalian masing-masing. Nito, ini Gyanti, Gyanti ini Nito. Ehhm!”
“Assalamu’alaikum...” Nito mengunjuk salam, mengayun matanya dari wajah Gyanti.
“Wa’alaikum salaam...” Tuh, suaranya renyah, ringan dan enak. Tapi, kok..., tak seputih gadis sampul?

Nito kagok di tengah percakapan basa-basi di antara mereka.
Ia tidak menampik semua hal yang selalu diberitakan Adiba, sebagus corporate profile yang ditulis konsultan perilkalanan profesional.

Sayang, Adiba tidak komplit membeberkan kenyataan kalau ternyata calon pengantinnya itu...., berkulit hitam! Nito belum bisa menambahkan kata manis. Ia sendiri bingung, kenapa tiba-tiba pikirannya mempersoalkan perbedaan warna kulit. Bukankah selama ini tak pernah terlintas di benaknya mempertentangkan hitam atau putih kulit seseorang?

Ia mungkin telah terbius hasutan yang tiap hari menyambanginya. Tapi ia tak bisa menyalahkan bombardir iklan di televisi soal kulit putih mulus itu. Toh, Komisi Penyiaran Indonesia pun tidak mempersoalkan iklan yang menghina warganegara yang kulitnya Allah anugrahkan seperti itu, hitam. Tak peduli dengan embel-embel manis, asam atau asin sekalipun.
 
Perasaannya gundah. Pikirannya amburadul. Dan mulutnya mencari alasan untuk menghindar. Setelah menyudahi basa-basi sekadarnya, Nito memangkas jarak, menghambur masuk gedung dekanat, mencari dosen pembimbing skripsinya.



***

“Kamu yakin soal feeling?”

Nito menggeleng.

“Cinta pada pandangan pertama?”

Diam saja.

Adiba tentu saja kelabakan ketika Nito mengutarakan bahwa ada yang menggugat di dalam dirinya. Mulanya Adiba tertawa mendengar alasan yang sangat remeh seperti itu. Namun diam-diam ia mulai mencoba memahami sisi manusiawinya. Semua orang memang tertarik dengan segala yang kinclong, putih, mulus, bercahaya, dan bersinar.Tapi, bukankah orang kulit putih sendiri sudah lama menyenangi hal-hal yang eksotik, tak terkecuali kulit hitam? Jadi alasan itu sudah kadaluwarsa, nggak relevan!

“Hmm, soal feeling dan mitos ‘cinta pada pandangan petama’ menurutku bisa kamu abaikan. Karena aku yakin dengan pilihanku untukmu. Gyanti itu pilihan terbaik dari semua teman-temanku. Kalian cocok. Lalu masalahnya cuma gara-gara dia berkulit tak seterang Rianti Cartwright? Ya, Rabbi! Jangan lupa, kalian udah mulai ta’aruf, lho!”

Entahlah, apakah saat ini ia sudah berada dalam proses ta’aruf atau bukan? Ingin juga rasanya mempersalahkan sepupunya itu perihal fakta yang luput disampaikan. Nito masih membungkam keinginannya menyetor jawaban. Tapi sesungguhnya ia juga tak sampai hati harus mengulang-ulang alasan . Ia sendiri juga nggak mengerti kenapa dirinya tiba-tiba mulai berubah menjadi rasis. Mempertentangkan hitam dan putih. Tapi, Salahkah bila hatinya cenderung memilih si putih, lalu melengos dari si hitam? Ah, jangan-jangan masalahnya bukan pada salah atau benarnya pilihan?

Persoalan hitam-putih ternyata bisa merembet ke soal-soal seperti ini. Persoalan yang biasanya tak pernah terpikirkan lantaran sudah dianggap sebagai sebuah kewajaran. Hanya saja, bagi Nito hal demikian ternyata tidak dengan mudah dilewati.

Ia tak menyalahkan Adiba memilihkan Gyanti untuk bakal jodohnya. Sepupunya yang amat baik itu tentu tak bakal sembarangan memilih.

Tapi ini menyangkut cita rasa, Kawan. Ia harus merasa benar-benar yakin dengan pilihannya.
Beberapa bulan lagi ia sudah berhak mencantolkan huruf S dan H di belakang namanya. Berarti satu etape dari jalan hidupnya sudah terlampaui. Menikah adalah etape berikutnya sesuai peta hidup yang sudah dirancang jauh-jauh hari. Sejak lama ia sudah menceritakan rencana hidupnya pada Adiba dan meminta Adiba membantu mencarikan jodoh yang cocok untuknya.
.
***

Segelas es jeruk tandas diseruput Adiba. Udara terasa sangat panas dan pengelola kantin tidak menyediakan AC, hanya ada satu kipas angin besar bekerja sendirian. Letak kampus di daerah pebukitan pun tidak banyak menolong. Dan semuanya kian memuncak dengan permohonan pengunduran diri Nito dari proses ta’aruf dengan Gyanti.

“Kamu rasis!” sengaknya di hadapan Nito.

“O, ya?” Nito menelan ludah, merasa menjadi pesakitan. Ia paham sifat sepupunya yang satu ini, ngotot dan tak mau terima begitu saja bila ada yang tidak sesuai dengan pikirannya.

“Seluruh kriteria yang dideclare Rasulullah empatbelas abad lalu sudah dipenuhi Gyanti. Sekarang kamu malah menambah butir keenam: warna kulit. Why?”

Nito gelagapan. Ia enggan bertengkar dengan makhluk di depannya itu. Tak mau berdebat soal itu. Di kantin yang padat dan panas pula.

Ia merasa akan percuma melawan Adiba. Dan hampir mustahil membatalkan urusan ini. Jelas Adiba akan merasa dipermainkan setelah berulang kali ia merengek mohon dicarikan calon istri. Bahkan dengan haqqul yakin ia memberi kuasa penuh untuk itu. “Aku percaya, kamu bakal pilih yang paling Oke. Pokoknya kamu berkuasa penuh!”

“Wahai, sepupuku...., bisakah kamu memikirkan bagaimana aku harus menjelaskan situasi ini pada Gyanti?” Suara Adiba menyeret kemarahan di dalamnya.

Nito tersenyum ringkas. Ia tahu, Adiba hendak menyamarkan kemarahan dengan menggunakan kalimat wahai sepupuku itu.

“Apakah “proyek” ini urgen?”

“Kamu pikir menikah itu apa? Menggenapkan dien, kewajiban dan kodrati! Lagipula, bukankah kamu yang pertama mengajukan proposal? Menurutmu, urgen atau enggak?”

“Maksudku, apakah aku boleh meminta cukup waktu untuk memutuskan?”

Adiba menarik nafas. “Seberapa banyak?”

“Setelah wisuda.”

“Baiklah. Nanti kuomongin Gyanti lagi. Deal!”

***

Berbagai pikiran buruk seperti kemaruk dalam kepala Nito. Ia mulai terpengaruh dengan premis yang menyebutkan bahwa yang dipikirkan semua lelaki tentang calon istri mereka adalah anak-anak seperti apa yang akan dilahirkannya. Sebaliknya kaum perempuan akan menelisik garis asal keturunan calon suami mereka. Bagaimana hasil percampuran dirinya yang berkulit putih dengan Gyanti yang gelap?

“Kamu memikirkannya sejauh itu?” Adit terheran-heran ketika Nito mengutarakan kebimbangannya menentukan keputusan.
“Jadi, menurutmu, salah?”

Adit merapikan tumpukan skripsi yang sudah dijilid ke dalam ransel. Seminggu lagi ia akan menghadapi ujian komprehensif skripsinya. Ia masih harus menyerahkan skripsi itu ke masing-masing dosen penguji.

“Aku nggak akan menjawab dengan dasar berpikir ilmiah. Andai pun soal keturunan itu bisa diprediksi, tetapi ada satu hal yang kamu tidak boleh abaikan.”

“Hal apa?”

“Hanya soal klise, tetapi menjadi sangat penting dalam urusan menikah, berkeluarga, membangun hubungan dan....”

“Yaitu...?”

“Hahaha...! Sabar dong, Bos! Aku belum membikinkan tamuku minum. Sebentar, kubikinin kopi dulu, ya?” Adit berlari keluar kamar.

"Sandal jepit!” maki Nito sambil mengacung tinju.

Ketika muncul dengan dua gelas kopi di tangannya, Adit langsung memasang wajah serius.
“Secara keseluruhan, menurutmu, Gyanti itu menarik nggak sih?” Adit bertanya sambil menyandarkan pantatnya di bibir meja.

“Ya, iyalah. Jujur saja, sebenarnya dia manis banget. Orangnya smart, akhwat genuine, matanya berseri-seri.... Kurasa cukup menarik dan menyenangkan.”

“Nah, itu dia! Menarik dan menyenangkan. Itu modal dasarnya.”

“Lantas?”

“Pernah dengar adagium urang awak? Dapat yang dihati, tak dapat sekehendak hati. Sebaliknya, dapat sekehendak hati, nyatanya bukan yang dihati.”

Bingung!

“Kita tak akan pernah memperoleh seratus persen keinginan kita, Bos! Itulah maknanya. Lagi pula sia-sia menyalahkan pilihan Adiba. Bukankah kamu sendiri yang berinisiatif meminta bantuan Adiba untuk mencarikan calon anak daro mu ?”

Tersedak jantung Nito.

“Belum cukup? Bukankah Dia memuliakan siapa yang dikehendaki-Nya dan merendahkan siapa yang di kehendaki-Nya? ”

Berdesir hati Nito
***

Wisuda tinggal hitungan hari. Tapi Adiba belum juga menagih janji. Nito harap-harap cemas, menunggu momen maha penting dalam hidupnya, mengutarakan pada Adiba dan Gyanti bahwa ia menerima perjodohan ini. Ia telah berkali-kali mencoba mengukur skala penerimaan dirinya atas diri Gyanti. Dan perlahan dirinya mulai haqqul yakin, hatinya ada di angka sembilan koma lima pada skala satu sampai sepuluh. Kesempurnaan hanya milik Allah saja. Begitu kesimpulannya.

Berbagai komentar tentang Gyanti yang diam-diam dikumpulkannya telah menuntun hatinya untuk segera membawa putri manis itu ke kursi pengantin impian. Hmm.... Aku saja yang keliru selama ini soal kulitnya. Orang-orang mengatakan bahwa Gyanti memang tidak berkulit putih muda, tetapi putih tua. Kuning langsat matang. Gyanti itu berkulit kalem kok! Bukan, bukan kelam, apalagi gelap! Warna Gyanti adalah warna perlambang, simbol kematangan. Don’t judge the book by the cover. Wow...! Dia hitam manis banget..... Pujian pun seperti cendawan di musim hujan, bertumbuhan melingkup tanah.

***
Rumah Gadang , satu-satunya yang masih tersisa di kampung Koto Nan Gadang, di lembah Marapi itu semarak. Gyanti terlihat sumringah dengan suntiang di kepalanya. Tetamu takjub, bukan saja karena betapa cantiknya sang pengantin, tetapi Gyanti tetap istiqamah dengan jilbab yang tak lepas meski tengah berpakaian pengantin, hal yang jarang dilakukan kebanyakan orang. Senyum Gyanti menawar kegerahan di ruang penuh tamu.

Sementara Nito terlihat menyeka keringat yang bersileweran di keningnya. Sesekali ia memejamkan mata seolah ingin merasakan kebahagiaan yang menaungi pelaminan.

Adiba sedari tadi terkagum-kagum, betapa sakralnya proses yang dilewati Gyanti. Bibirnya menggerimit doa. Ia bangga dengan Gyanti. Sahabatnya itu sudah meneguhkan hati di samping lelaki gagah berkulit kuning langsat manis, dr. Noviar bergelar Sutan Rangkayo Mudo itu. Lelaki yang beruntung.

Di perjalanan pulang Adiba mengurai jawaban pada Nito.

“Dari awal pertemuan kalian, sebenarnya Gyanti sudah merasakan penolakan dalam dirimu. Camkan ini; Nggak ada satupun yang lebih dipegang perempuan kecuali ketegasan dari seorang lelaki dalam memutuskan sikap!”

Nito berdiam. Sekali lagi menoleh Rumah Gadang yang kian jauh ditinggalkan. Merutuk kebodohannya.

Pondok kelapa 2008

_____________________________
Anak daro: pengantin wanita
Q.S Ali Imran:26
Rumah Gadang, rumah adat Minangkabau
Suntiang: pakaian pengantin wanita Minang, ditaruh di kepala

Tags

Posting Komentar

0 Komentar

Below Post Ad