Kenapa Diam Diam Kita Senang Saat Ada Orang Lain Gagal?



MENGAKUINYA tidak mudah, tetapi ada kepuasan terselubung yang muncul saat melihat orang lain jatuh. Entah itu rival di kantor yang akhirnya ditegur atasan, atau selebritas yang tersandung skandal, ada rasa lega, bahkan senang, yang tak bisa dibohongi. Fakta menariknya, penelitian dalam psikologi sosial menunjukkan bahwa fenomena ini disebut schadenfreude kesenangan atas penderitaan orang lain dan hampir semua orang pernah mengalaminya, meski jarang diakui.

Contoh sederhana terlihat saat teman yang selalu pamer prestasi tiba-tiba gagal dalam presentasi. Bukannya langsung merasa kasihan, sebagian orang justru merasa ada keadilan kosmik yang bekerja. Fenomena ini menyingkap sisi gelap psikologi manusia yang sering kali ditutupi oleh norma sosial. Pertanyaannya, mengapa kegagalan orang lain bisa memberi kita rasa puas, meski hanya sesaat?

1. Rasa Keadilan Sosial yang Tersembunyi

Dalam The Justice Motive in Social Behavior karya Melvin Lerner, dijelaskan bahwa manusia memiliki kebutuhan kuat untuk percaya bahwa dunia ini adil. Saat seseorang yang terlihat angkuh atau terlalu beruntung akhirnya gagal, otak kita menafsirkan itu sebagai “pemulihan keseimbangan.”

Misalnya, ketika seorang rekan kerja yang sering curang akhirnya dipermalukan di depan umum, kita merasa bahwa hukum alam sedang berjalan. Bukan semata kebencian personal, tetapi lebih pada kepuasan karena dunia terasa kembali proporsional. Kegagalan orang lain memberi kita keyakinan bahwa keadilan masih ada.

Namun, dalam kehidupan nyata, interpretasi ini sering bias. Kita bisa salah menilai, menganggap kegagalan orang lain sebagai bukti keadilan, padahal bisa jadi hanya kebetulan. Meski begitu, kebutuhan psikologis untuk melihat keadilan membuat kita sulit mengabaikan rasa puas itu.

2. Perasaan Lega dari Rasa Iri yang Dipendam

Richard Smith dalam Envy: Theory and Research menguraikan bahwa iri hati sering kali memunculkan rasa sakit diam-diam. Ketika orang yang kita iri akhirnya gagal, rasa sakit itu berkurang, digantikan dengan lega dan bahkan gembira.

Contoh nyata terlihat dalam kehidupan sosial media. Teman yang selalu mengunggah foto liburan mewah, saat tiba-tiba bercerita tentang masalah finansial, menimbulkan rasa puas yang tidak diucapkan. Hal ini bukan semata karena kita kejam, melainkan karena ada bagian dalam diri yang akhirnya merasa setara kembali.

Meski begitu, rasa puas itu sebenarnya rapuh. Dalam jangka panjang, iri hati yang tidak dikelola hanya akan melahirkan siklus emosi negatif. Maka penting untuk menyadari sumber iri itu dan mengubahnya menjadi motivasi, alih-alih terus-menerus berharap orang lain gagal.

3. Ego yang Ingin Tetap Unggul

Dalam Social Comparison Processes karya Jerry Suls dan Richard L. Miller, dijelaskan bahwa manusia cenderung membandingkan diri dengan orang lain untuk mengukur harga dirinya. Saat orang lain gagal, ego kita merasa lebih tinggi tanpa harus berbuat apa-apa.

Bayangkan seorang pelajar yang selalu berada di posisi kedua. Ketika sang juara kelas tiba-tiba nilainya turun, si pelajar merasa puas karena akhirnya ada kesempatan untuk unggul. Rasa senang ini bukan berasal dari pencapaian diri, tetapi dari penurunan orang lain.

Sayangnya, pola ini membuat kebahagiaan kita rapuh. Jika harga diri hanya dibangun dari kegagalan orang lain, maka kita akan terus haus mencari “korban” baru untuk merasa lebih baik. Kebahagiaan seperti ini ilusi yang sewaktu-waktu bisa runtuh.

4. Rasa Aman dalam Hirarki Sosial

Dalam Hierarchy in the Forest karya Christopher Boehm, dijelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang selalu hidup dalam struktur sosial. Saat orang di atas kita dalam hirarki mengalami kegagalan, kita merasa posisi kita lebih aman.

Di tempat kerja, kegagalan atasan atau senior bisa memberi rasa lega, karena ancaman terhadap posisi kita berkurang. Orang yang biasanya dominan tiba-tiba terlihat lebih lemah, dan itu memberi kesempatan bagi yang lain untuk merasa berdaya.

Fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya naluri hierarkis dalam otak manusia. Kita senang ketika ada pergeseran posisi, meski tidak secara langsung mengubah nasib kita. Rasa senang itu muncul karena hierarki sosial adalah medan yang selalu kita waspadai.

5. Ilusi Kendali atas Hidup

Dalam The Illusion of Control karya Ellen Langer, ditunjukkan bahwa manusia sering mencari bukti bahwa mereka punya kendali atas hidup yang penuh ketidakpastian. Saat orang lain gagal, kita merasa lebih cerdas atau lebih bijak, sehingga muncul ilusi bahwa hidup kita lebih terkendali.

Misalnya, ketika teman gagal dalam bisnis karena keputusan yang salah, kita merasa puas karena tidak mengambil langkah serupa. Gagalnya orang lain memperkuat keyakinan bahwa kita lebih berhati-hati dan oleh karena itu lebih aman.

Namun, kenyataan tidak sesederhana itu. Hidup penuh faktor acak yang tak bisa kita kendalikan. Tapi rasa puas dari kegagalan orang lain membuat kita merasa seolah kita punya keunggulan, meski sebenarnya hanya kebetulan.

6. Sensasi Hiburan dari Drama Sosial

Dalam Entertainment-Education and Social Change karya Arvind Singhal, dijelaskan bahwa manusia terhibur oleh drama, dan kegagalan orang lain sering menjadi bahan tontonan sosial. Musibah orang lain berubah menjadi narasi yang menarik.

Contoh paling nyata ada di dunia hiburan. Skandal selebritas, kasus publik, atau bahkan kegagalan tokoh terkenal sering menjadi konsumsi ramai. Orang merasa puas bukan hanya karena benci, tapi karena drama itu memberi hiburan dalam keseharian yang monoton.

Kegagalan orang lain menjadi semacam “panggung sosial” yang kita nikmati, meski dari jauh. Bahkan di percakapan sehari-hari, gosip tentang kegagalan sering lebih cepat menyebar daripada cerita kesuksesan.

7. Konfirmasi atas Pandangan Dunia Kita

Jonathan Haidt dalam The Righteous Mind menegaskan bahwa manusia mencari pembenaran moral atas keyakinannya. Saat orang yang kita anggap salah akhirnya gagal, rasa puas muncul karena itu dianggap sebagai validasi bahwa kita benar.

Misalnya, jika kita tidak menyukai gaya hidup boros, lalu melihat seseorang bangkrut karena kebiasaan itu, kita merasa senang sekaligus benar. Kegagalan orang lain menjadi bukti nyata yang memperkuat keyakinan kita.

Namun, di balik kepuasan itu tersembunyi jebakan. Kita bisa terjebak dalam bias konfirmasi, hanya mencari bukti yang mendukung pandangan kita. Padahal, kegagalan seseorang bisa disebabkan oleh banyak faktor yang tidak sesederhana moralitas yang kita yakini.

Rasa senang atas kegagalan orang lain adalah bagian dari psikologi manusia yang jarang diakui, tetapi nyata. Ia lahir dari ego, iri, rasa keadilan, hingga kebutuhan akan drama sosial. Pertanyaannya, apakah kita akan terus menikmati kegagalan orang lain sebagai hiburan, atau menggunakannya sebagai cermin untuk memahami diri sendiri?

Bagikan pandanganmu di kolom komentar, apakah kamu juga pernah diam-diam merasa senang melihat orang lain gagal? Jangan lupa share tulisan ini agar lebih banyak orang bisa ikut berdiskusi. (*)





Posting Komentar

0 Komentar

Below Post Ad