HONORER, ORANG YANG DIMULIAKAN



/Oce Satria (jurnalis)

Menyebut kata "honor", sebagai penulis pemula zaman sekolahan, betapa senang dan bangga mendapat honor dari tulisan yang dimuat di suratkabar. Rasanya keren sekali. Begitu pun, hingga kini,  menerima honor dari menulis sangat menyenangkan, terlepas besar kecilnya.

Misalnya, waktu saya menulis untuk Pak All Amin , owner PT Amco Sarana Sejahtera. Saban bulan saya diminta membuat liputan, berkeliling dari kota ke kota di tanah air. Mewawancarai puluhan orang di berbagai daerah, dan menuliskannya dalam bentuk features advertorial. Saya diberikan honor 300 sampai 500 ribu per tulisan, saya menulis 10 sampai 15 artikel per bulan. Kadang bikin script iklan juga.
Sepuluh tahun silam, itu jumlah yang gede. Saya sendiri waktu itu kaget, koq Pak All ini berani2nya ngasih honor segede itu. Saya menyimpulkan sendiri, barangkali, mungkin beliau paham bagaimana meng-honour-i sebuah karya jurnalistik/kreatif. Barakallah. Tuhan membalas kebaikan beliau. Insyaallah.

Istilah honor memang akrab di dunia kreatif. Penulisan, seni, dan sejenisnya. Karya kreatif biasanya didapuk dengan honor.

Tapi kenapa dinamakan honor, bukan upah? Barangkali demi menghormati dan menghargai penulis, maka dipungutlah istilah asing" honour" - "honorarium".  Maknanya menjadi berbeda jika disandingkan dengan upah.

Oke, kita cek. Honor menurut bahasa Indonesia diterjemahkan  dengan banyak makna: kehormatan, penghargaan, nama baik, kemurnian, penghormatan, dan  kemuliaan .

Itu makna yang terambil dari bahasa Inggris. Dalam keseharian, menurut orang Inggris, honor itu memang penghormatan.

Misalnya ketika menulis surat cinta pada siswi manis pindahan dari sekolah lain. Lalu mulai digombali.  Lantas ditulis di sobekan buku dan dilempar ke meja dia, "It is an honor to meet you, baby..."  (adalah sebuah kehormatan bertemu denganmu, beib...).

Di dunia birokrasi honorarium beda lagi maknanya. Ia merupakan istilah pembayaran yang diberikan kepada PNS termasuk juga non PNS yang terlibat dalam kegiatan pelayanan dan pembangunan di bidang pemerintahan. Jadi, yang sudah berstatus PNS juga diberikan honor lho, melalui keputusan kepala daerah cq  SKPD melalu dokumen pelaksanaan anggaran (DPA).

Bagi PNS honor boleh dikata sebagai tunjangan. Tapi bagi tenaga honorer, honor itu ya honor alias gaji, bukan tunjangan. Birokrasi kita menyebutnya, dalam rangka mendukung tugas pokok dan fungsi organisasi tempat dia bekerja. Okelah.

Sederhananya menurut birokrasi Indonesia: bagi PNS, selain gaji tetap, maka honor yg juga mereka terima distatuskan sebagai tunjangan kerjanya, di luar gaji. Namun bagi honorer, honor itu dalam rangka menunjang  tugas pokok kantor tempat ia mengabdi. Honor itu ya, gajinya.

Sementara di luar birokrasi, honor mungkin disebut dengan istilah semacam upah, sebagai imbalan jasa yang diberikan kepada pengarang, penerjemah, dokter, pengacara, konsultan, tenaga honorer. 

Honorer

Namun nyaris kontradiktif, aneh atau gimana gitu, ketika kata honor ditambahkan akhiran "er" untuk merujuk subyek pelakunya. Honorer. Ketika istilah honorer itu dilekatkan untuk mereka yang bekerja dengan sistem upahan (bukan gaji dan pegawai/karyawan tetap), maknanya langsung terdegradasi anjlok. Honorer menjadi kata yang murahan. Orangnya gak berkelas, belum dianggap profesional, hanya buat "bantu-bantu" dan sewaktu-waktu bisa ditendang bila tak lagi diperlukan. Nasib mereka tak pasti. Meski sudah berlumut berpuluh tahun menunaikan pekerjaan yang sama. Statusnya masih honorer. Dan itu terasa tak berharga, rendah. Menyedihkan.

Berbanding terbalik dengan rekan kerja mereka yang berstatus pegawai tetap, misalnya PNS. Meski kinerja sama, cara kerja juga sama, waktu kerja juga sama, tanggung jawab juga sama, risiko juga sama, namun status mereka di mata pemberi kerja, beda.  

Menyaksikan dan membaca kisah-kisah pilu para honrer peserta Tes Honorer PPPK Guru 2021 yang diberitakan media, membuat kita trenyuh. Betapa terjal dan sulit perjuangan mereka demi mendamba status menjadi PNS.  HONORER (ORANG YANG DIMULIAKAN) itu harus menanggung pilu, malu, dan sedih untuk berganti status menjadi pegawai tetap pemerintah. 
Mereka rupanya selama ini tidak mendapatkan apa yang disebut kehormatan, penghargaan, nama baik, kemurnian, penghormatan, dan  kemuliaan. Kita tidak tahu apa problemnya bagi pemerintah. Bisa jadi, ini soal rumit sekali. Sulit memutuskan kebijakan untuk mengabulkan keinginan orang-orang kelas bawah itu karena banyak aturan yang musti diperhatikan. Lebih mudah menerobos aturan, mengganti ketentuan untuk orang-orang kaya, pengusaha besar, investor, hingga parpol dan politisi. Buat mereka segalanya menjadi mudah bagi pemerintah.

Pku 18 Sep 2021

Image: pikiran-rakyat.com
Redaksi TNCMedia

Support media ini via Bank Rakyat Indonesia (BRI)- 701001002365501 atau melalui Bank OCBC NISP - 669810000697

Posting Komentar

Silakan Berkomentar di Sini:

Lebih baru Lebih lama