Oleh: Wicaksono
Di sebuah ruangan pelatihan jurnalistik yang temaram, duduklah sekelompok wartawan muda dengan wajah penuh semangat. Mereka menghadap ke seorang pria tua berambut kelabu, mengenakan jaket lusuh yang pernah menyaksikan puluhan tahun pertarungan antara kebenaran dan kepentingan.
Dialah Paklik Isnogud, wartawan veteran yang kata-katanya lebih pahit daripada kopi hitam tanpa gula.
Dia menatap para peserta sejenak, lalu menghela napas panjang. “Kalian tahu apa yang lebih berbahaya daripada berita palsu?” tanyanya, suaranya berat seperti kenangan yang menyesakkan.
Para peserta diam, menunggu jawaban.
“Ketika orang tidak lagi peduli apakah berita itu benar atau tidak.”
Mereka saling berpandangan, bingung.
Paklik Isnogud menyeringai tipis. “Dulu, ketika saya masih seusia kalian, wartawan itu dianggap seperti pendeta di mimbar kebenaran. Orang membaca koran dengan khidmat, mendengarkan radio dengan takzim, menonton berita di TV dengan rasa hormat. Sekarang? Media online itu seperti pedagang asongan di lampu merah—banyak, berisik, dan kebanyakan menjajakan barang murahan.”
Tangan keriputnya meraih sebatang rokok yang sudah lama padam di meja. “Kalian tahu kenapa respek publik terhadap media online sekarang seperti bus kota tua—mogok di tengah jalan dan ditinggalkan penumpangnya? Karena kita, para wartawan, sudah kehilangan nyali dan prinsip. Kita mengubah berita jadi dagangan, bukan lagi pengabdian.”
Dia menyalakan layar proyektor. Sebuah judul besar muncul:
“WOW! Wanita Ini Ditemukan di Dalam Kulkas Setelah 3 Tahun!”
Dia mendengus. “Judul kayak gini laku keras. Kenapa? Karena media sekarang bukan lagi penyampai kebenaran, tapi penjual mimpi buruk. Orang tidak butuh berita, mereka butuh hiburan. Mau tahu isi beritanya? Ternyata si wanita itu bukan mati membeku, tapi memang tinggal di rumah kecil dengan dapur sempit. Si wartawan cuma comot berita dari media lain, ganti judulnya jadi clickbait.”
Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh peserta. “Kalian tahu apa akibatnya? Publik merasa dibohongi. Mereka tidak lagi percaya media. Kalian pikir kalau berita macam ini terus dibuat, orang-orang masih mau membayar untuk baca berita berkualitas? Media yang seperti ini tidak lebih dari pasar malam berita palsu, di mana kebenaran dijual dengan harga receh.”
Paklik menampilkan sebuah berita lain di layar:
“Pemerintah Klaim Ekonomi Stabil di Tengah Resesi Global”
Dia tertawa pendek. “Bocah umur lima tahun pun bisa bikin berita model begini. Ambil rilis pers, copas, tambahkan dua kutipan pejabat, selesai. Tidak ada verifikasi, tidak ada pertanyaan kritis. Wartawan sekarang lebih sering duduk di belakang meja, menunggu berita datang sendiri. Padahal, jurnalisme itu bukan kerja kantoran, tapi kerja lapangan!”
Dia mengetuk meja dengan keras. “Kalau media hanya mengandalkan rilis pers, apa bedanya dengan humas pemerintah? Kalau kalian cuma menulis ulang cuitan pejabat atau politisi di X, apa bedanya dengan pendengung? Kalau berita kalian mengambil dari media lain tanpa riset tambahan, lalu buat apa kalian ada?”
Paklik kembali menampilkan slide berikutnya. Kali ini muncul berita berbunyi:
“Studi: Minum Teh Jahe Bisa Menyembuhkan Stres dan Meningkatkan Kecerdasan”
Dia memutar bola matanya. “Studi dari mana? Siapa yang mendanai penelitian? Oh, ternyata ini artikel berbayar dari perusahaan teh jahe yang baru rilis produk baru. Tapi tidak ada keterangan bahwa ini advertorial. Media sekarang menjual ruang berita seperti pedagang yang menjual tempat di etalase toko.”
Dia menghela napas. “Dulu, kita punya batasan tegas antara berita dan iklan. Garis api. Sekarang? Blurred lines, baby. Pembaca tidak tahu apakah yang mereka baca itu fakta atau promosi. Kalau mereka merasa ditipu sekali, mereka akan kehilangan kepercayaan selamanya.”
Ia lalu menunjuk seorang peserta. “Kamu baca berita politik dari mana?”
“Biasanya dari media online besar, Paklik.”
“Bagus. Sekarang coba baca dua media berbeda tentang satu peristiwa politik yang sama. Kamu akan lihat bagaimana satu media menggambarkan politisi A sebagai pahlawan, sementara media lain menyebutnya bajingan.”
Paklik tertawa getir. “Dulu, media itu pengawas kekuasaan. Sekarang, media menjadi bagian dari kekuasaan. Ada yang tunduk pada pemilik modal, ada yang menjadi corong politisi. Netralitas? Itu barang antik di museum jurnalistik.”
Paklik kembali duduk, menyilangkan tangan di dada. “Saat publik mulai protes, bukannya introspeksi, media malah defensif. Kritik disebut sebagai serangan terhadap kebebasan pers. Orang yang mengkritik dilabeli buzzer. Padahal, yang menggerus kredibilitas media bukan kritik, tapi ketidakmampuan media menerima kritik.”
Dia menatap para peserta dengan sorot mata tajam. “Kalau kita tidak mau dikritik, jika kita menutup telinga terhadap suara publik, berarti kita sudah bukan wartawan. Kita hanya orang-orang dengan laptop, smartphone, dan kuota internet, yang menulis demi klik, bukan demi kebenaran.”
Paklik Isnogud menyandarkan tubuhnya. “Kalian pikir, kenapa orang lebih suka cari berita di media sosial ketimbang di portal berita? Kenapa orang enggan membayar langganan berita online? Karena media belum membuktikan bahwa mereka layak didanai oleh publik. Kalau media gagal menjaga kredibilitas, lalu kenapa orang harus respek?”
Dia menunjuk satu per satu. “Kalian mau jadi wartawan? Maka bertanyalah lebih keras. Galilah lebih dalam. Tulis dengan lebih bertanggung jawab. Karena kalau kita terus berjalan di jalur seperti sekarang, kita bukan lagi pilar demokrasi. Kita cuma jadi karavan badut digital yang menjual berita seperti dagangan pinggir jalan—murahan, basi, dan tidak layak dikonsumsi.”
Hening. Tak ada yang berani bicara.
Paklik Isnogud tersenyum sinis. “Selamat datang di era baru jurnalisme, Nak. Semoga kalian tidak ikut tersesat.”
Sumber: Wicaksono