𝙈𝙚𝙣𝙜𝙪𝙣𝙜𝙠𝙖𝙞 𝙅𝙖𝙣𝙟𝙞
Cerpen 𝘖𝘤𝘦 𝘚𝘢𝘵𝘳𝘪𝘢

IA menimang-nimang kalung itu. Kalung yang disusun dari manik-manik segitiga berukuran sekepala jarum pentul. Indah sekali. Warnanya coklat kekuningan seperti divarnish. Tidak terbuat dari kaca, batu, ataupun plastik. Melainkan dibuat dari tempurung. Tapi setiap ujung segitiganya memancarkan cahaya. Berkilauan.Kedua ujung kalung itu ditautkan oleh semacam batu akik berbentuk hati. Bening di bagian atasnya dan rona coklat di bagian bawah yang membuncit. Pasti gadisnya menyukai kalung indah ini. 

Kini kalung itu sudah terkurung dalam kotak tipis dan berlapis kertas tebal. Besok hendak ia poskan untuk gadis yang sangat dicintainya. Gadisnya jauh di seberang. Kota kecil yang selalu basah. Alangkah girangnya hati gadisnya nanti saat menerima paket ini dari pak pos dan membukanya. Hadiah dari lelaki yang selama ini telah memenjarakan rindunya pada angan-angan. Hati gadisnya tak bisa ke mana-mana lagi. Sebab lelakinya telah merengkuh seluruh cinta yang ada. Tak ada cinta untuk yang lain.

Kalung itu sudah terselip dalam lipatan dua lembar kertas berisi bait-bait sajak. Hatinya berbunga-bunga saat menuliskan baris demi baris sajak itu. Sebab ia tak pandai bercerita dan menuliskannya. Cukuplah pada sajak ia menumpahkan rindu yang menyentak-nyentak. Tidak mudah merangkai kata demi kata, baris demi baris, bait demi bait. Semalam-malaman ia begadang. Demi menciptakan sajak yang puitis. Sampai penanya rebah di ujung tinta. Ia tak kuat menahan kantuk. 

Begini benarlah rasanya rindu itu. 

Sebenarnya ia agak malu diri. Bertingkah seperti remaja belasan tahun tengah kasmaran. Sementara teman-temannya di kantor semuanya sudah berumahtangga. Sudah mempunyai anak. Padahal usia mereka rata-rata di bawah dia. Dia, di usia empat puluh tahun ini masih sibuk bermanis-manis menulis sajak cinta untuk gadisnya. Malu kalau diingat-ingat. Tapi sulit baginya mencari teman sekadar mencurhatkan bahwa dirinya sedang di mabuk cinta. Sebab ia akan jadi bahan tertawaan teman-temannya. Maka, terpaksalah dia menanggung sendiri segala romantika percintaan. Ia sudah tak muda lagi. Tak layak bercerita soal ini seperti anak-anak remaja saling bercerita kepada temannya. Meminta saran atau sekadar berbangga.

Tapi, urusan cinta siapa pula yang sanggup meremehkan? Ia pun demikian. Tak tahan memendam kisah,  akhirnya terbetik juga cerita dari mulutnya.

"Dia gadis pertamaku," ceritanya pada sahabat dekatnya di sela-sela jam makan siang di warteg seberang kantor.

"Ceritakan bagaimana awalnya kisah cinta kalian. Dia teman SMA-mu?"

"Bukan. Dia masih muda. Usianya 29."

"Hmmm... perempuan yang ranum. Aduhai...."

"Memang."

Maka setiap kali jam makan siang di warteg itu, ia makin bersemangat bercerita. Tak ubahnya anak sekolah yang mabuk cinta dan ingin semua orang tahu. Ia ceritakan semuanya.

Dia gadis yang baik. Pendiam. Ia berkenalan waktu dirinya datang ke kota kecil di mana gadisnya itu bekerja di sebuah minimarket.  Sudah punya anak. Seorang gadis kecil berusia tiga tahun. Gadisnya itu memang seorang janda. Tapi ia selalu bersikeras menyebutnya gadis. Baginya, itulah gadis pertama yang berhasil melepaskan dirinya dari dunianya yang sempit selama ini.

Selama ini tak seorang perempuan pun tersangkut di hatinya. Telah beragam pula yang disodorkan Ibunya, saudara-saudaranya hingga teman-temannya. Ia tak tertarik serimih alah pun. Dingin saja hatinya pada perempuan. Padahal banyak gadis yang berangan-angan dipersunting lelaki tampan seperti dia. Membayangkan tangannya yang kokoh itu memasangkan cincin di jari lalu menciumnya. Duhai.

Ketika datang ke kota kecil itu, ia ditugaskan menghandel urusan pemasaran yang ditinggalkan Area Sales Promotion Supervisor yang lama. Hanya empat belas bulan. Tapi di waktu yang sebentar itulah, perempuan muda bermata lembut itu membuatnya untuk pertama kali jatuh cinta. Baginya janda atau perawan, bukanlah aspek yang dipikirkannya. Bagaimana bisa dijelaskan dengan dalih dan dalil apa pun tentang sebab apa ia akhirnya memilih perempuan itu? Bukankah cinta tak kenal logika?

Nah, jelas bukan? Dia tak ubahnya remaja SMP yang dilanda pubertas untuk kali pertama. Hari-harinya dimabuk angan. Linimasa media sosialnya saban hari diisi sajak demi sajak. Hingga orang-orang yang selama ini jarang melihat postingan melintas di wall-nya, terheran-heran. Hei, ada apa gerangan dengan temanku yang sudah kepala empat ini asyik berpuisi sepanjang hari? Begitulah orang-orang yang terhubung dengannya di media sosial bertanya-tanya.

Meski baru mengenalnya empat bulan lalu, tapi angan-angannya sudah melambung jauh. Ia berjanji akan menikahinya. Usai lebaran haji tahun ini dijanjikannya, akan membawa gadisnya ke penghulu. Ia sudah tak sabar. Baginya tak perlu menunda setahun dua tahun.

"Pikirkanlah dulu, Abang. Aku bukan pilihan yang tepat. Bebanku teramat banyak. Abang datang ketika aku sedang mengurainya. Aku takut abai dan Abang didera kecewa," gadisnya berkata ketika janji menikahi sesegera itu diucapkannya.

"Bukankah aku lelaki yang benar-benar lelaki? Tak ada kecewa dalam benarkku."

Begitulah dia coba meyakinkan gadisnya. Ia merasa apa yang diucapkannya bukan main-main. Bukan gombal, apalagi bual. 

Bagi perempuan janji adalah prasasti. Ia dipahatkan di batu. Untuk memastikan huruf demi huruf, kata demi kata, tak memudar.  Karena itu ia tak berani mengangguk yang akan menjadi stempel persetujuan. Ia memilih diam. Pikirannya berkecamuk. Diremuk redam antara rindu dendam dan hati yang hampa tak berpenghuni sejak dua tahun silam.  Ketika ayah anaknya lesap disentak mertuanya. Ia bukan menantu yang diharapkan. Anak lelaki mereka terlalu berharga bagi perempuan seperti dia. 

Ia tak kuasa menahan suaminya agar tak lepas dari pelukan. Dan yang membuatnya terluka hebat adalah sikap lelakinya yang tak sedikit pun berusaha mempertahankan dirinya dan memperjuangkan dirinya sebagai istri kepada orangtuanya. Ia tahu lelakinya itu teramat sangat mencintainya. Tapi ia tak mengerti mengapa lelakinya membiarkan dirinya pasrah diceraiberaikan oleh papa mamanya? Begitukah tabiat orang kaya? Suka sekehendak hatinya?

Mungkin mereka tak sudi punya cucu dari hubungan gelap di luar pernikahan. 

Sakit itu teramat dalam dan lama disembuhkan. Ia mungkin akan meradang dan lari menjauh ke ujung lautan demi melupakan luka. Tapi permata hatinya telah membuatnya bertahan untuk mengabaikan semua sakit hati dan dendam. Ia memilih bertahan di kota kecil yang selalu basah itu. 

Dan sore ini, di antara gemericik rinai hujan di atap rumah, ia menatap kalung yang dihadiahkan lelaki yang dikenalnya empat bulan silam. Ia mengagumi kalung itu, memikirkan alangkah cermatnya orang yang membuatnya. Lalu dua lembar kertas yang terlipat rapi itu dibukanya. Membaca sajak panjang. Hatinya tersentuh menyusuri kata demi kata. Hatinya luluh menikmati keindahan sajak itu. Alangkah romantisnya lelaki yang telah menggubah sajak ini.

Tapi, di sudut yang lain, hatinya yang telah retak lama itu kembali merasakan sesuatu yang terasa seperti aliran air di sungai ujung desa. Bocah perempuannya tengah asyik bermain dengan lelaki yang selama ini diinginkannya. Ayah dan anak itu sibuk bermain di beranda. 

Ia tak tahu, mengapa tiba-tiba saja dia pulang? Setelah lama menghilang? Tapi ia juga tak mengerti kenapa tiba-tiba jantungnya berdegup senang. Mestinya ia benci setengah mati.

Dan ia tak tahu, lelaki lain di seberang lautan itu tengah gelisah. Hatinya risau tak menentu sejak paket kalung dan sajak itu ia antar ke kantor pos. Tak jauh dari Pasar Mester. (Oce)

Pekanbaru 12-2024

*Serimih alah (sepeser juga)