Agustinus Edy Kristyanto
(jurnalis)
Beberapa teman berharap saya menulis tentang pemberitaan kasus E dan J menyusul banyak keluhan tentang opini liar, asumsi, spekulasi dan sejenisnya yang dipicu oleh pemberitaan media massa.
Saya pikir ada baiknya saya memberikan sekelumit pandangan mengenai masalah itu sesuai dengan latar belakang dan pengalaman saya di dunia media---yang sebagian besar saya habiskan di bidang peliputan hukum dan politik.
Sempat Dewan Pers memberikan pernyataan yang mengingatkan tentang pentingnya Kode Etik Jurnalistik yang bisa Anda baca di berbagai media. Saya tidak akan ulangi soal itu, tapi melihat sisi lain.
Salah makan bisa dimuntahkan tapi salah informasi/pengetahuan akan terus bersemayam dalam jiwa dan pikiran yang kelak akan membentuk karakter orang. Pada akhirnya itu akan berbahaya bagi pembentukan karakter suatu bangsa.
Pers amat sangat bertanggung jawab dalam proses itu, sebab, sesuai UU Pers, ia bertindak sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan PEMBENTUK OPINI yang harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang PROFESIONAL. Ia berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial, yang salah satu peranannya adalah mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.
Jadi, masalahnya bukan membentuk atau tidak membentuk opini melainkan seprofesional apa pers menjalankan kemerdekaannya itu.
Dalam kasus E dan J, saya sependapat ada kurang-lebihnya pers dalam melakukan pekerjaannya yang bahkan justru berakibat pada munculnya kebingungan di masyarakat. Barangkali ada kekurangan juga dalam pemahaman atas penghargaan terhadap profesi lain seperti penyidik, advokat, akademisi, dan narasumber lain. Misalnya, 'memaksa' penyidik atau penegak hukum lain membocorkan materi penyidikan untuk diberitakan adalah hal yang bagi saya kurang patut dilakukan serta tidak memahami dan menghargai profesi masing-masing.
Membuat penggambaran, bayangan, pengira-ngiraan dalam pikiran sebelum mendapatkan fakta dan kenyataan yang sebenar-benarnya ada demi 'mempersiapkan' judul dan berita yang bombastis, juga kecenderungan yang tidak baik, yang pada akhirnya menjurus pada munculnya tudingan spekulasi, asumsi, trial by the press dst. Itu menunjukkan wartawan terpengaruh oleh keadaan dan subjektivitas berlebihan, yang berpotensi menyesatkan kesimpulan liputannya.
Kurang/tidak memberikan konteks dan penjelasan atas suatu hal juga masih terjadi, sehingga bikin bingung pembaca. Hal yang sering terjadi adalah men-jembreng-kan begitu saja (copy paste) pasal dan ayat suatu aturan perundang-undangan dalam berita.
Misalnya, E ditetapkan sebagai tersangka Pasal 338 jo. Pasal 55 dan 56 KUHP. Jarang sekali media menjelaskan lebih jauh daripada sekadar menuliskan pasal tentang pembunuhan dan turut serta. Padahal, jika mau mengupas, bisa menjadi sarana pendidikan hukum yang baik untuk publik, sekalian memperkaya sudut pandang masyarakat ketika membaca berita kasus.
Tak ada salahnya membuka buku "KUHP serta Komentar-Komentarnya" karangan R. Soesilo (AKBP. Purnawirawan, dosen pada AKABRI Bagian Kepolisian, Sukabumi) yang menerangkan tentang pembunuhan jenis apa yang dimaksudkan. Bahwa kejahatan jenis itu adalah "makar mati" atau "pembunuhan (doodslag)". Yang ditekankan oleh pasal itu adalah perbuatan yang mengakibatkan kematian orang lain, sedangkan kematian itu DISENGAJA, dimaksud dalam niatnya; pembunuhan itu harus dilakukan SEGERA sesudah timbul maksud untuk membunuh itu, tidak dengan dipikir-pikir lebih panjang. (Ini yang membedakan dengan pembunuhan yang direncanakan).
Dicontohkan begini dalam buku itu: "A sekonyong-konyong datang di rumah melihat bahwa isterinya sedang berzinah dengan B. Karena PANAS HATI timbul maksud untuk membunuh isteri dan B itu yang seketika ia lakukan memakai pistol yang sedang ia bawa."
Dengan demikian diskusi di internal redaksi bisa lebih mengerucut dengan berpikir, misalnya, panas hati itu seperti apa, ukurannya, bagaimana uraian kejadian dan fakta-faktanya, apa motifnya...
Menuliskan dalam berita sebagai "turut serta" saja tanpa menjelaskan konteks dan maksud Pasal 55 dan Pasal 56 juga tak mendidik. Sebab, pasal itu menyebutkan dihukum juga bagi orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan itu; dan tentang orang yang membantu melakukan kejahatan itu.
Ada beberapa berita yang mengambil angle kemungkinan ada tersangka lain di luar E. Masalahnya sebagai apa dan dasar ia bisa dihukum itu apa?
Misalnya, masih dari buku tersebut, dijelaskan tentang "orang yang menyuruh melakukan (doen plegen)". Penjelasannya: "Di sini sedikitnya ada dua orang, yang menyuruh (doen plegen) dan yang disuruh (pleger). Jadi bukan orang itu sendiri yang melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain, meskipun demikian toh ia dipandang dan dihukum sebagai orang yang melakukan sendiri yang melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain, disuruh (pleger) itu HARUS hanya merupakan suatu alat (instrument) saja, maksudnya ia tidak dapat dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, dalam suatu hal tertentu."
Lalu, seperti Kompas, mengambil angle dengan mengutip pernyataan pihak Mabes Polri bahwa "Tindakan Eliezer Bukan Bela Diri". Apa maksudnya, lalu jika bukan bela diri, apa?
Tak banyak media yang menjelaskan juga konteks dan maksud aturan tentang "pembelaan darurat" (Noodweer) ini. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi. Tapi saya kutipkan salah satu syarat (Pasal 49 KUHP) yang mungkin relevan, sisanya bisa Anda baca sendiri, seperti tentang "Overmacht":
"Pembelaan atau pertahanan itu harus dilakukan hanya terhadap kepentingan-kepentingan yang disebut dalam pasal itu ialah badan, kehormatan, dan barang diri sendiri atau orang lain. Badan ialah tubuh. Kehormatan berarti di sini kehormatan di lapangan SEXUIL yang biasa diserang dengan perbuatan-perbuatan yang tidak senonoh atau cabul, memegang bagian-bagian tubuh yang menurut kesusilaan tidak boleh dilakukan, misalnya kemaluan, buah dada, dan lain-lain. Kehormatan dalam arti NAMA BAIK tidak masuk di sini..."
Mengapa konteks dan penjelasan seperti itu penting karena yang ditulis wartawan itu adalah masalah hukum, dalam hal ini pidana. Untuk dihukum suatu perbuatan pidana, harus ada undang-undang yang mengaturnya terlebih dahulu. Oleh karena itu, konteks dan maksud suatu pasal itu mesti didudukkan dulu.
Dalam konteks kasus E dan J, faktanya ada dua perkara penting, yaitu perkara dugaan pembunuhan dan perkara dugaan pelecehan sebagaimana diatur dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Pers mesti adil untuk meliput keduanya, bukan apa-apa, bagaimana pun juga, semua itu harus diniatkan dalam konteks masyarakat pencari keadilan yang kedudukannya sama di muka hukum.
Khusus untuk pelecehan seksual, suka atau tidak suka, ada aturan UU-nya (UU 12/2022), yang jika Anda baca, terutama dari segi pembuktian ada kekhususan juga (Keterangan Saksi DAN/ATAU Korban cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah jika disertai dengan 1 (satu) alat bukti sah lainnya dan hakim memperoleh keyakinan bahwa benar telah terjadi tindak pidana dan terdakwalah yang bersalah), meskipun kemungkinan besar kasus ini tidak ke pengadilan karena J (terlapornya) sudah meninggal sehingga gugur penuntutannya.
Dari pengalaman, saya melihat kurangnya pemahaman tentang hal seperti di atas itu seringkali menyulitkan penyusunan rencana liputan. Bingung apa lagi yang mau di-follow up sementara konten harus terus ada. Alhasil 'mencari-cari' bahan dilakukan serampangan dan sembarangan saja. Misalnya, asal cari mulut narsum saja.
Mungkin, ada baiknya, wartawan 'mencontek' sedikit bagaimana penyidik diajarkan menyusun rencana dalam pengusutan suatu kasus. Yakni dengan membagi perbuatan yang dapat dihukum dalam dua kategori yakni bagian yang objektif dan bagian yang subjektif. Dari situ diturunkan menjadi pertanyaan-pertanyaan kunci yang harus ditelusuri. Bagan ini (terlampir) dikutip dari "Die Kriminaltaktik" dari Von Weingart yang dikutip R. Soesilo dalam "Berfikir Logis dalam Kriminalistik" terbitan 1973.
Salah satu yang menarik adalah pada bagian subjektif mengenai tabiat. Bagaimana tabiat orang itu: selalu marah? Bernafsu yang seperti apakah? Bisa ditelusuri mungkin jika ia pemarah, apa pemicunya; apakah ada riwayat kebiasaan mengonsumsi alkohol atau bahan lain yang kemungkinan memicu kemarahan atau faktor lain seperti trauma masa kecil. Begitu juga soal kecakapan, perlu ditelusuri kemampuan seperti apa yang ia punya, sertifikasi apa yang diraih, kapan dilakukan, siapa pelatihnya...
Belum ada saya lihat, misalnya, laporan wartawan yang datang ke klub tembak/Perbakin menanyakan soal teknis kualifikasi penembak, melakukan simulasi peluru dan tembakan, berbicara dengan ahli di sana; atau ke Glodok, khusus mencari tukang servis CCTV, menanyakan tetek bengek jenis kerusakan CCTV yang sering terjadi, dan bagaimana keadaan jika ada yang rusak karena petir, macam apa gosongnya, berapa lama perbaikannya, berapa harganya, apakah CCTV bisa diedit... dst; bahkan saya lihat belum ada yang mengajak orang yang paling jago ngebut di jalan tol dan melakukan simulasi perjalanan Magelang-Rest Area-Jakarta, misalnya, untuk membandingkan waktu tempuh, selain mengandalkan Google Maps; belum ada pula saya baca yang ikutan, misalnya, pertemuan ibu-ibu Bhayangkari untuk melihat sendiri bagaimana kehidupan, kebiasaan, apa yang dibicarakan, outfit, kendaraan, etika bergaul di kalangan ibu-ibu pejabat kepolisian berikut konflik-konflik hubungan seperti apa yang biasa terjadi. Dan sebagainya.
Kalau itu dilakukan, publik banyak mendapatkan manfaat dan pengetahuan baru dengan tidak melulu mengandalkan konferensi pers resmi, keterangan pengacara, mendesak Humas untuk bicara materi penyidikan, atau membuat teori konspirasi yang keluar konteks.
Sejauh mana perempuan dan seksualitas harus diberitakan dan dengan cara bagaimana? Tentu tetap dalam koridor perkara itu, tidak melebar dan berlebihan, tanpa langgar kesopanan dan kesusilaan seperti ada juga dalam Kode Etik Jurnalistik.
Apalagi, secara teori, saya kutipkan pendapat dalam buku R. Soesilo yang saya rujuk di atas: "Dalam hal motif, suatu faktor yang amat terkenal sejak dahulu kala ialah yang biasa dinamakan Cherchez la femme'. Artinya 'Carilah wanita!'. Ahli ilmu kejahatan yang selalu ingat akan hal ini acap kali akan terbawa kepada hipotesa yang berharga."
Istilah itu berasal dari kisah para detektif. Suatu misteri kasus bisa terungkap dengan mengidentifikasi "femme fatale" atau "female love interest". Secara eksplisit ada dalam novel "The Mohicans of Paris" karangan Alexandre Dumas.
Semua yang saya tulis di atas sekadar pendapat yang saya kutip dari sumber yang jelas, tidak melukiskan keadaan yang sesungguhnya dari kasus E dan J. Saya tidak dalam posisi mengadili siapa benar dan salah.
Hanya sebagai ilustrasi untuk menjelaskan maksud tulisan ini yakni untuk meningkatkan mutu pemberitaan pers dalam perkara-perkara hukum.
Ketenangan, kejujuran, fairness, ketelitian, verifikasi, kecermatan, kritis, patuh kode etik dalam praktik peliputan diperlukan. Penglihatan panca indera perlu dibarengi penglihatan jiwa ketika melakukan tugas pers, supaya media massa kita makin naik kelas dan mutu informasi makin bagus.
Salam.
Jumat 5 Agustus 2022
APA PENDAPAT ANDA TENTANG TOPIK INI?: