Selamat Jalan Agus Lenon, Aktivis Panutan Para Aktivis






OceJournalNews --  Tiga orang berambut cepak dan berbadan sekel terus mengintai sebuah rumah di Pancoran Barat. Ketika Agus hendak “pulang” ke rumah Ahmadi Thaha, usai makan, tiga orang berambut cepak itu mencegat Agus.

“Apakah kau mengenal saudara Agus Edy Santoso yang bersembunyi di rumah itu?,” kata salah seorang pria cepak itu menunjuk rumah Ahmadi Thaha.

“Tidak kenal Pak. Aku tidak tahu orang yang bernama Agus,” ujarnya. Mendengar jawaban Agus, tiga orang berbadan sekel itu langsung pergi, entah kemana. Mungkin mereka menyebar di gang-gang sekitar Pancoran Barat, di sekitar rumah Ahmadi.

“Alhamdulillah Simon, aku selamat. Aku tahu tiga intel itu sedang mengincarku. Tapi mereka bodoh, tidak tahu wajah dan tubuhku secara detail. Ketika mereka menanyakanku – apa kenal Agus Edy Santoso – aku bohongi.” Wakakaka…. Agus tertawa jika mengingat kejadian itu.




Tahun 1980-1990-an, Soeharto sangat berkuasa. Intel ada di mana-mana untuk menangkap tokoh dan mahasiswa aktivis pro demokrasi. Agus, mahasiswa STF Driyarkara Jakarta, salah satu di antaranya. Bersama Mulyana Wirahadikusuma, Marsilam Simanjuntak, dan aktivis prodemokrasi lain, Agus terus mengkritisi Soeharto. Tak hanya itu. Agus pun menggerakkan mahasiswa untuk menggalang perlawanan kepada Soeharto.

Akibat aktivitasnya, Agus dikejar intel. Ia bersembunyi di rumah Ahmadi Thaha – saat itu wartawan majalah Tempo – selama berhari-hari. Ahmadi memberi kamar rahasia untuk Agus dan menyiapkan “tempat pelarian darurat” kalau rumahnya digrebeg aparat.

Untungnya, aparat kurang jeli mengamati wajah Agus. Malah bertanya apakah kenal Agus kepada Agus sendiri. Lucu! Setelah ketahuan persembunyiannya, Agus pun pindah tempat. Entah kemana, untuk menghindari kejaran intel.

Intel Orde Baru rupanya putus asa menangkap Agus. Suatu hari, Dr. Nurchlolish Madjid kedatangan tamu, Mendagri Jenderal Rudini. Rudini curhat kepada Cak Nur. “Orang paling berbahaya di negeri ini Agus Edy Santoso Cak Nur? Dia seperti belut. Selalu bisa meloloskan diri dari kejaran aparat,” kata Rudini.

Cak Nur kaget. “Kenapa Rudini sampai bilang seperti itu? Bukankah Agus hanya aktivis HMI yang senang diskusi dan anggota Kelompok Studi Proklamasi?” batin Cak Nur.

“Pak Rudini, Agus itu tidak berbahaya. Aku kenal. Aku menjamin, Agus tidak membahayakan negara. Dia hanya aktivis HMI dan aktivis forum diskusi,” ujar Cak Nur.

Rudini pun terdiam. Jenderal Angkatan Darat itu gagal meyakinkan Cak Nur kalau Agus manusia berbahaya. Rudini pun pulang tanpa hasil. Cak Nur malah “membela” Agus.

Kemampuannya mengecoh intel mendapat apresiasi teman-teman aktivis. Maklumlah, saat itu, tembok dan angin pun menjadi intel Soeharto — kata Hermawan “Kiki” Sulistiyo, aktivis dan peneliti LIPI. Jarang orang sepinter Agus dalam menyamar.

Setelah Soeharto lengser, Agus yang selalu kritis, aktif di LSM yang peduli rakyat miskin. Bagi Agus, kemiskinan yang terjadi di Indonesia akibat korupsi dan konglomerasi yang tak terkendali. Agus mencoba menerobos dua jahanam itu. Dia malang melintang membina petani kecil di desa-desa terpencil di Jawa Tengah, NTB, Papua, dan lain-lain. Dia juga membimbing nelayan kecil untuk membesarkan lobster di Pantai Selatan Jawa dan membela wong cilik yang tergusur deru pembangunan.

“Simon, kemarin aku dapat kiriman lobster tiga kilo. Dari nelayan kecil binaanku di Sukabumi,” kata Agus pekan lalu di cafe Tji Liwung, Condet, miliknya. Agus memang tak pernah berhenti untuk menyuarakan suara orang miskin dan membangkitkannya agar mereka bisa hidup layak.

Aku pernah sekamar di sebuah vila milik Gung Rai di Ubud, Bali, saat ulang tahun Studi Proklamasi dua tahun lalu. Semalaman, aku, Agus, dan Elsa Peldi Taher (pengusaha dan penulis buku Manusia Gerobak), berdiskusi tentang agama yang membebaskan.

“Agama dan negara sekarang jadi tiran. Aku tak percaya rejim. Rejim di Indonesia, siapa pun orangnya, hanya penghisap darah rakyat,” ujarnya. Aku mendengarkan keprihatiannnya. Sesekali aku mendebatnya.

“Bagaimana dengan rejim Jokowi?”
“Jokowi itu orang baik. Jujur. Tapi di sekelilingnya adalah orang-orang penghisap darah rakyat!”

“Aku punya harapan Gus kepada Jokowi. Bagiku Jokowi berbeda jauh dengan rejim-rejim sebelumnya. Lihat KPK yang hebat di rejim Jokowi,” sanggahku. Agus tetap tak bisa menerima alasanku menyukai Jokowi.

Agus bertanya kepadaku: “Mampukah Jokowi melepaskan diri dari konglomerasi jahat dan pejabat-pejabat korup?.”

Aku terdiam. Hanya senyum. Aku tahu, kalau Agus sudah bicara seperti itu, niscaya dia akan menelanjangi orang-orang sekeliling Jokowi. Kalau aku meladeninya, bisa tidak tidur semalaman.

Agus, memang, selalu melawan rejim, siapa pun. Karena baginya, rejim di Indonesia tak peduli keadilan dan kemanusiaan.

“Lalu, siapa yang kau kagumi di Indonesia ini Gus?,” sergahku.

“Aku mengagumi Pak AR Fachrudin!”

Ha? Kali ini aku terkejut. Bukankah Agus tidak pernah jadi aktivis Muhammadiyah? Lagi pula Agus dan teman-temannya adalah orang-orang liberal?

“Pak AR adalah pribadi panutanku. Sederhana, peduli orang miskin, tidak gila jabatan, dan membangun persaudaraan antarumat,” ungkap Agus.

Ternyata aku salah terka. Meski aku dekat dan sering mengobrol dengan Agus, aku tak tahu kalau Agus pernah jadi bendahara Lazis Muhammadiyah. Agus di ‘sana” karena dia tahu, Muhammadiyah itu amanah dan peduli wong cilik.

Agus Edy Santoso – sering dipanggil teman-temannya Agus Lenon (karena dia penggemar penyanyi The Beatles, John Lennon ) kini telah meninggalkan kita semua. Sakit jantung yang menderanya, menyebabkan Agus menghembuskan nafas terakhir di RS Harapan Kita, Jakarta Jumat malam 10 Januari 2020. (seperti diceritakan Simon Saefuddin)


Berikut cerita lain Denny JA, teman Agus Lenon:


Agus Edi Santoso dan Kisah Teman di Atas Politik


Grup kecil itu diberi nama KLUB AKTIVIS BAKAR LEMAK. Setiap minggu pagi, jam 7.00- 10.00, kami berkumpul di pantai Ancol. Didahului jalan pagi. Setelah itu senam dengan musiknya. Ditutup dengan makan pagi, kadang sambil guyon, kadang sambil debat politik yang keras.

Pesertanya para aktivis usia 50 tahun ke atas.

Awalnya percakapan sambil lalu. Ujar Agus, ia punya masalah dengan jantung. Tapi kata dokter, kesehatannya tak memenuhi syarat untuk pasang ring. Belum bisa juga jantungnya dioperasi bypass.

Dokter menyarankan ia menyegarkan badan, dengan menghirup udara laut sambil jalan pagi. Jika badan sudah lebih segar, terapi pasang ring atau bypass, bisa ditest lagi.

Program pun dibuat. Kami teman temannya di Kelompok Studi Proklamasi dan di Guntur 49 menemani Agus jalan pagi setiap minggu. Tak ada tempat lain yang punya pantai bagus di Jakarta kecuali Ancol.

Kadang Agus mengajak tiga anaknya yang masih kecil-kecil. Bagi mereka jalan ke Ancol itu sekalian semacam tamasya. Kadang Agus juga mengajak istrinya.

Pantai Ancol cukup indah. Udara pagi segar. Berjumpa pula di sana para aktivis dan sahabat yang sudah saling mengenal sekitar 35 tahun. Ketika senam dengan musik, banyak pengunjung lain di Ancol yang bergabung spontan. Kegiatan minggu pagi di pantai Ancol sempat menjadi acara favorit kami.

Seringkali gerak senam itu cukup mengeluarkan enerji. Tapi Agus menggerakkan badan seadanya saja, yang penting sesuai dengan irama musik. Sakit jantung membuatnya hanya bisa bergerak pelan pelan.

Kegiatan jalan pagi di Ancol itu dimulai tahun 2018, dan terus melewati pilpres 2019. Walau kami semua bersahabat lebih dari 35 tahun, sejak mahasiswa, tapi tak pernah satu suara soal pilihan politik. Agus termasuk paling semangat jika menyindir dan membuat guyon.

Saat pilpres 2019 itu pembelahan politik cukup keras. Banyak grup WA pecah. Persahabatan rusak. Bahkan tak jarang hubungan keluarga menjadi tak nyaman. Apalagi isu agama dimainkan pula.

Tapi setiap minggu pagi itu, kami lebih santai. Tiap minggu memang kami berdebat. Tiap minggu memang kami saling kritik kubu masing masing. Tiap minggu memang perbedaan pilihan politik semakin keras dinyatakan.

Tapi menyertai debat politik yang kadang sangat keras, selalu dihadirkan tawa dan ledek ledakan.

Agus berbisik ke telinga saya. Beginilah nikmatnya bro, jika berteman di atas politik. Walau kita berhadapan secara politik, tapi pertemanan tetap hangat.

Ya bro, saya menimpali. Politik pilpres itu acara rutin lima tahun sekali. Justu di situ kematangan kita berpolitik. Boleh dong beda politik, bertentangan ideologi. Tapi berteman jalan terus.

Teman di atas politik bro, ujar Agus menegaskan pendiriannya.

Saya mengenal Agus Edy Santoso sejak 36 tahun lalu. Di tahun 1984, era saya mahasiswa, Agus seringkali memakai kacamata bundar seperi John Lennon. Itulah awal ia dipanggil Agus Lenon.

Itu era ketika Pak Harto sedang kuat-kuatnya.
Pak Harto juga sangat keras dan tegas terhadap “Eka dan Eki.” Eka itu ekstrem kanan: Islam radikal. Eki itu ekstrim kiri: komunisme.

Tapi Agus punya banyak teman baik dari kalangan “kiri” dan “kanan.” Pernah suatu malam, saya diajak Agus bertandang ke salah satu tokoh kiri. Kami ke sana berjalan diam diam. Aguspun memperbanyak dan mengkopi buku Tan Malaka untuk ia sebarkan.

“Gus,” tanya saya, “dirimu simpatisan kiri?” Ini buat bacaan saja bro, jawab Agus santai.

Saya pernah pula diajak Agus jumpa para aktivis yang dulu aktiv peristiwa Tanjung Priok. Ini aktivis dari jalur Islam keras. Agus malah memberi mereka buku Ali Shariati. Kata Agus, ini supaya mereka lebih revolusioner tapi juga visioner.

Aguspun dekat dengan tokoh moderat. Pernah suatu ketika Agus menemukan tumpukan surat di kantor HMI, tempatnya menginap. Tarnyata, itu surat menyurat sangat penting antara Nurcholish Madjid dan Mohamad Roem. Agus dengan tekun membukukan surat itu.

Dengan izin Noercholis Madjid, buku itu disebarkan, menjadi pembicaraan luas. Isu utama buku tersebut, bahwa tak ada negara Islam, mencuat.

Pergaulan Agus juga meluas ke aneka kalangan. Ia aktif di Lazizmu Muhammadiyah. Tapi Agus juga pendukung aliran kepercayaan suku Badui. Aguspun aktif bermeditasi dalam tradisi Budha.

Intensnya Agus bersahabat dengan aneka kelompok yang beragam, bahkan saling bertentangan, membuat Agus lebih mudah mengatasi perbedaan. Ia punya banyak teman yang dekat dari aneka kubu politik. Ini pula yang menumbuhkan spirit Agus bahwa beda politik itu biasa. “Teman di atas Politik!”

Setahun belakangan ini, Agus sering bertandang ke kantor saya. Ia sering curhat. Kesehatannya menurun. Ia tak bisa selincah dulu. Ia terpikir membuka usaha bisnis, tapi yang bisa ia jalankan dengan duduk di rumah saja.

Dari semua teman aktivis, Agus melihat saya yang ia anggap juga sukses berbisnis, dari urusan konsultan politik, restoran, properti, hingga kebun. Ia pun acap kali menjadikan saya sebagai teman diskusi usahanya.

Itulah awal lahir Kafe Tjiliwoeng di rumah Agus. Kafe itu tak hanya menjual kopi, tapi juga diskusi politik. Kadang ada pula acara budaya, membaca puisi.

Bersama teman teman, kita launching Kafe milik Agus dengan diskusi masalah yang sedang hot saat itu: Pergolakan Papua. Liputan media cukup luas.

Dua minggu lalu, sebelum saya liburan akhir tahun, Agus kembali datang ke kantor. Ujarnya: Kafe saya mulai ramai, bro. Kadang tamu datang mengobrol sampai jam 1 pagi. Asyik ya punya usaha sendiri, ujarnya senang.

Mempunyai usaha kafe di beranda rumah sendiri, sambil bisa diskusi politik, menjadi usaha ideal Agus, karena kesehatannya.

Ia seringkali berkata, “Bro saya tak bisa membalas kebaikan bro. Saya membalasnya dengan mengirim kopi dan makanan saja untuk bro ya, ujar Agus lagi.

Saya menjawab dengan memplesetkan ucapan Agus. Jika agus berkata: “Teman di Atas Politik.” Saya membalasnya: Santai saja bro. Kan “Teman di Atas Bisnis!”

Selamat jalan Agus Edy Santoso.


Redaksi TNCMedia

Support media ini via Bank Rakyat Indonesia (BRI)- 701001002365501 atau melalui Bank OCBC NISP - 669810000697

Posting Komentar

Silakan Berkomentar di Sini:

Lebih baru Lebih lama