76 Keraguan pada Survey tentang Anak Muda Muslim Indonesia



SURVEY LSI menyimpulkan bahwa hampir separuh anak muda Muslim Indonesia yang tinggal di kota-kota besar cenderung mengedepankan identitas keislaman ketimbang identitas kebangsaan.

Bagaimana menyikapi kesimpulan LSI tersebut? Benarkah semua yang dirilis LSI tersebut? Apa latar belakang yang disembunyikan dan mengintainya? Berikut kultwit menarik dari Akmal Sjafril, penulis buku IslamLiberal 101 lewat akun twitternya @malakmalakmal dengan tema dan hastag #TafsirSekuler

Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) tersebut mengenai minat politik kaum muda Muslim Indonesia tahun 2010. Survei yang diselenggarakan bersama Goethe Institute dan The Friedrich Naumann Foundation for Freedom. 

Hasilnya diumumkan peneliti LSI, Burhanuddin Muhtadi, di Goethe Institute Jakarta, Selasa (14/6/2011). Survei ini melibatkan 1.496 kaum muda seluruh provinsi dengan kisaran umur 15 hingga 25 tahun. 

Tapi Akmal Sjafril meragukannya. Inilah keraguan pemilik akun @malakmalakmal itu:

1. Ketika mendengar istilah “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”, banyak yang kebingungan.

2. Menurut sebagian orang, ilmu adalah hal yang netral, sehingga tak perlu di-islamisasi.

3. Namun sebenarnya, pandangan manusia terhadap segala sesuatunya dibentuk oleh worldview dalam benaknya.

4. Mereka yang memilih Islam sebagai worldview akan menilai segala sesuatunya dengan jadikan Islam sebagai ukuran.

5. Sebaliknya, mereka yang yakin bahwa akal manusia bisa menentukan benar-salah akan jadikan akalnya sebagai ukuran.

6. Sejak dahulu kala sudah dikenal istilah “Man is the measure of all things”. Ini pandangan kaum Sophist.

7. Cara berpikir seperti ini bukannya memberikan kekukuhan terhadap kebenaran, justru membuatnya rancu.

8. Sebab, dengan prinsip ini, kebenaran dikembalikan pada pribadi masing-masing.
Dengan kata lain, setiap orang bebas ‘memilih’ kebenarannya masing-masing tanpa peduli dengan kebenaran lainnya.

9. Maka lahirlah relativisme, menandakan berakhirnya kekuasaan akal sehat. 

10. Relativisme seringkali mengambil jalan pintas tanpa mau bersusah payah berdialektika.

11. Semuanya dianggap relatif, sehingga tak perlu ada perdebatan. Just mind your own business.

12. Di sinilah salah satu kerancuan pemikiran sekularis-liberalis, karena relativisme justru dianggap ilmiah.

13. Sebenarnya, relativisme itulah yang mengakhiri keilmiahan. Karena tak ada lagi yang bisa didiskusikan.

14. Dan, tentu saja, relativisme itu sendiri pada hakikatnya adalah sebuah kerancuan.

15. Pada hakikatnya tak ada manusia yang percaya padarelativisme. Pasti ada kebenaran yang dianggapnya absolut.

16. Jika meyakini relativisme, maka itu tidak lain adalah absolutisme dalam bentuk yang lain.

17 . Kalangan sekuler-liberal juga kerap kali memanfaatkan relativisme sekedar untuk pelarian.

18. Dalam memasarkan ide-idenya, mereka tidak bersikap seperti penganut relativisme.

19. Yang tidak bersesuaian dengannya disebut bigot, bodoh, jumud. Ini adalah absolutisme.

20. Namun ketika argumen-argumennya dimentahkan, pelariannya selalu ke arah relativisme.
“Itu relatif”, “Ini beda pendapat”, “bukalah pintu ijtihad”, dll.

21. Setelah kita memahami bahwa relativisme yang sebenarnya tidaklah ada, kita bisa dalami masalah ini lebih jauh.

22. Di balik sekuler bukanlah “akal bebas” seperti yang biasa mereka katakan.
Sebaliknya, ada prinsip-prinsip yang mereka anggap absolut sehingga cara pandangnya menjadi serba sekuler.

23. Hasil survei menunjukkan bahwa pemuda Muslim Indonesia lebih mengutamakan identitas keislamannya.

24. Burhanuddin Muhtadi menengarai bahwa hal ini menunjukkan kegagalan pendidikan.

25. Kegagalan yang dimaksud adalah kegagalan menumbuhkan sentimen kebangsaan.

26. Dikatakan juga bahwa sekolah mengajarkan pendidikan agama yang mendoktrinasi.

27. Disimpulkanlah bahwa sekolah tidak cukup banyak mengajarkan identitas kebangsaan. Pendidikan agama yang mendoktrin juga dianggap menumbuhkan pandangan yang konservatif.

28. Apa itu konservatif? Antara lain: menolak: seks pranikah, khamr, narkoba, dan nikah antaragama.

29. Burhanuddin juga berpendapat bahwa TV adalah salah satu sarana utama penebar doktrin agama.

30. Mengapa para pemuda gandrung agama? Burhanuddin lagi-lagi punya teori. Menurutnya, itu karena agama merka jadikan pegangan saat kondisi ekonomi dan politik sedang kacau.

31. Inilah analisis yang dibuat murni dengan menggunakan akal sekuler.

32. Pertama, sejak awal melihat hasil survei, agama dan negara sudah dipertentangkan.

33. Ini adalah cara berpikir ala sekuler. Nasionalis dan agamis pasti beda.

34. Cinta Islam berarti anti Indonesia. Anehnya yang cinta Indonesia enggan dibilang anti Islam.

35. Para ulama sejak dahulu tidak pernah mempertentangkan antara cinta tanah air dan cinta agama.

36. Bahkan agama itulah yang menyuruh kita berbakti pada tanah air, melakukan kebaikan sebisanya di wilayah masing-masing.

37. Terlepas dari batasan-batasan geografis, mencintai tanah air adalah hal yang fitrah. Itulah sebabnya di seluruh dunia Islam, mengusir penjajah adalah jihad.

38. Ketika membasmi penjajah, teriakannya adalah takbir. Komandonya dari masjid. Komandannya ulama.

39. Hal-hal ini sangatlah alamiah. Setiap perjuangan umat Muslim pasti demikian adanya.

40. Demikian pula yang terjadi di Indonesia. Umat Islam dan alim ulama telah bersimbah darah demi kemerdekaan.

41. Orang-orang sekuler dan komunis, biarpun ikut berjuang, tidaklah memiliki daya juang yang sebanding.

42. Sebab, perjuangannya tidak memiliki ruh. Agama-lah yang memberi ruh pada perjuangan itu.

43. Agama memiliki lingkup yang jauh lebih luas daripada kebangsaan.

44. Jika kita menjadi Muslim yang baik, maka batas-batas kenegaraan tidak menghalangi kita berbuat baik.

45. Tapi lihatlah kaum Zionis dengan ideologi fasisnya, betapa mereka sering melanggar HAM.

46. Semua dihalalkan demi kepentingan negeri Zionis. Itulah akibat nasionalisme tanpa bimbingan agama.

47. Zionisme itu pun produk dari sekularisme, bukan murni dari ajaran agama Yahudi, meski pembenarannya dari situ.

48. Hanya dari angka-angka hasil survei, disimpulkan bahwa pendidikan agama di sekolah terlalu mendoktrinasi.

49. Ini pun merupakan analisis yg sudah ‘disetir’ oleh ideologi sekuler. Sebab, kritik yang biasa dialamatkan pada pendidikan agama di sekolah justru bernada sebaliknya.

50. Banyak masyarakat yang merasa pendidikan agama di sekolah itu KURANG, bukan kelebihan.

51. Jangankan mendoktrin, sekedar cukup untuk memenuhi kewajiban pun tidak.

52. Sampai sekarang masih kita jumpai lulusan SMA yang terbata-nata membaca Al-Qur’an. Mana doktrinasinya?

53. Tentu saja, analisis Burhanuddin memang sejak awal sudah diatur agar sesuai dengan hipotesis sekuler.

54. Demikian pula TV, sulit dicari di bagian mananya kita temukan pengajaran agama yang mendoktrin.

55. Oleh karena itu, kita heran mengapa TV disebut sebagai alat untuk mendoktrin agama.

56. Ideologi sekulernya bahkan melangkah lebih jauh lagi.

57. Pendidikan agama di sekolah dituding terlalu konservatif.

58. Hasilnya, pemuda menolak seks pranikah, khamr, narkoba dan nikah antaragama.

59. Padahal hal-hal tersebut (selain nikah antaragama) juga dianggap buruk menurut ‘standar sekuler’.

60. Dengan akal biasa pun kita bisa melihat keburukan dari hal-hal tersebut. Tapi ditolak, karena asalnya dari agama. Itulah sekularisme.

61. ‘Kebencian’ Burhanuddin mengingatkan kita pada Luthfi Assyaukanie.

62. Sebagaimana Burhanuddin, Luthfi Assyaukanie juga menolak pendidikan agama di sekolah.

63. Analisis Burhanuddin terhadap alasan keberpihakan pemuda pada agama juga kentara betul sekulernya.

64. Agama dianggap sebagai pelarian saja lantaran kondisi ekonomi dan politik yang sedang kacau.

65. Tentu saja, analisis ini sangat lemah. Tidak ada argumen yang dapat diuji untuk membenarkannya.

66.Padahal, di negara-negara maju yang lebih makmur, Islam pun berkembang subur.

67. Bagi orang-orang sekuler, agama memang hanya sebuah pelarian.

68. Sebuah majalah sekuler dulu pernah mengkritik kegiatan dzikir yang digelar beberapa ulama.

69. Menurut mereka, dzikir hanya untuk orang-orang yang tak bisa memecahkan masalah hidupnya sendiri.

70. Pemikiran ini sejalan betul dengan Karl Marx: “Agama adalah candu!”

71. Sejalan pula dengan Nietzsche yang ngotot mengatakan Tuhan telah mati.

72. Kita dapat melihat dengan jelas betapa analisis-analisis yang beredar luas di masyarakat ternyata telah diatur sejak awal.

73. Surveinya bisa jadi jujur, namun analisisnya tergantung worldview yang dipilih.

74. Dengan menyembunyikan fakta-fakta tersebut mereka bisa membangun analisis sesuka hatinya.

75. Semoga kita semua terhindar dari cara berpikir tidak kritis.

76. Dan semoga kita semua terhindar dari tipu daya mereka. Aamiin…


Posting Komentar

0 Komentar

Below Post Ad