Merantau di Usia Pensiunan: "Duh, Purnawirawan..."


Sore tadi lelaki 60an itu benar-benar datang ke rumah. Saya sedikit grogi menyambutnya begitu anak saya memburu saya ke kamar dan berbisik dengan suara agak keras, "Ayah, ada tamu tuh! Bapak-bapak." Saya sudah tahu dia bakal datang, karena pagi tadi istri saya memberitahukannya. Rupanya lelaki itu sudah mengontak istri saya kalau dia bakal datang sore ini.

Saya kasih tahu saja ya..., lelaki itu bermaksud meminta kami sedikit bermurah hati meminjamkannya sejumlah uang. Kesulitan finansial yang melanda keluarganya membuatnya nekad memberanikan diri datang dan memintakan pinjaman. Padahal beberapa waktu lalu istri saya lewat telepon sudah mendiskripsikan kondisi perekonomian kami. Kira-kira samalah dengan apa yang dialaminya. Tapi toh pemberitahuan istri saya itu tak membuat langkahnya surut. Bahkan ia sudah membungkus rapat-rapat rasa malunya.


Kami masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan lelaki ini. Dia sendiri adalah seorang pensiunan polisi 14 tahun silam di kampungnya. Namun entah pikiran apa yang membuatnya nekad (nekad mulu yaa?) memboyong keluarganya merantau ke ibukota. Padahal untuk orang seusianya -- 55 tahun saat pensiun -- tidak ada lagi masanya merantau. Bukankah dengan duit pensiunan dan mungkin beberapa bidang tanah yang bisa diolah, ia bisa melanjutkan kehidupannya dengan 'normal'? Ia kemudian bekerja sebagai sekuriti di sebuah pabrik di wilayah Jakarta Barat.

Hidup di perantauan pasti tidak semudah yang diduga. Apalagi dengan tiga anak dan seorang istri yang ternyata tidak mempunyai konsep senasib sepenanggunan. Selain judes, sang istri juga dikenal gampang marah terutama bila menyangkut duit!

Selama masa kerja sebagai sekuriti dia memang sanggup mencicil sebuah rumah di wilayah Cikarang. Namun niat semula menjadikan rumah tersebut sebagai investasi masa depan ternyata tidak terbukti. Di awal pengembang memang menjanjikan berbagai fasilitas di perumahan tersebut, mulai fasilitas pendidikan, olahraga, ibadah dan sebagainya.

"Sekarang susah sekali menjualnya, bahkan separo dari harga investasi pun tidak ada yang menawar." keluhnya. Nah!
Singkat cerita kesulitan finansial benar-benar telah membuat purnawirawan ini kalang-kabut. Cek-cok sudah sering terjadi dengan istrinya. Hutang-hutang mesti dicicil pelunasannnya. Kebutuhan sehri-hari tidak boleh tidak: harus ada!

Kami coba menawarkan solusi yakni: Pulang kampung!

Celakanya, beberapa bulan silam dia sudah menjual satu-satunya warisan orangtuanya yakni sebidang tanah. Hasil penjualan yang mestinya dibagi dua dengan seorang saudaranya oleh lelaki ini tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Ia menggulung sendiri hampir 90 prosen uang penjualan tanah itu. Perang dingin pun terjadi antara dia dengan saudaranya.

Sekarang nasi sudah jadi bubur. Uang hasil penjualan tanah yang tidak seberapa tersebut sudah tandas. Ia juga tak mungkin pulang dengan kondisi normal, sebab sanak familinya sudah mencorengkan arang kekecewaan untuknya. Asal tahu saja, di kampung kami pantang dan jarang terjadi seorang lelaki menjual tanah warisan berupa tanah non olahan.

Bagi keluarganya di kampung, bila seseorang sudah main hitung-hitungan (apalagi dicurangi), maka hubungan berikutnya akan dilandasi juga dengan hitung-hitungan. Idealnya untuk kasus tanah tersebut, warisan orang tua berupa satu-satunya tanah tidak boleh diperjualbelikan, cukup dipinjamkan atau disewakan saja. Setidaknya tanah tersebut bisa dijadikan bekal hari tua.

Ia minta kami meminjamkan satu atau dua juta untuk menutupi kebutuhan sehar-hari. Tapi sore itu kami hanya "sanggup" mengangsurkan seratus ribu rupiah dengan status hibah. Menyedihkan. Menyedihkan bagi kami yang membayangkan bila kelak nasib kami juga serupa bapak itu. Ya Allah....Semoga Engkau selalu memberi kemudahan bagi keluarga kami dan mejauhkan kami dari kesempitan hidup dan kesempitan rezeki. Amin Insyaallah.

Posting Komentar

0 Komentar

Below Post Ad