Kami Benci Matematika
TNCMedia
sepotong bab dari beberapa bab novel Eka Satria Taroesmantini
Dibutuhkan keberanian berlipat-lipat, bahkan roman muka berkilat-kilat untuk mengatakan ‘tidak’ pada lelaki bertubuh tinggi besar berkulit legam dan berkumis sekadarnya itu. Pengalaman seluruh manusia di ruangan ini sudah mencatat perlakuannya pada setiap kesalahan apalagi pembangkangan yang kami lakukan.
Pak Yusak, lelaki itu, guru fisika kami, jangan coba-coba alpa melaporkan hasil pekerjaan rumah yang sudah dipesannya seminggu sebelumnya. Ia akan mengecek satu persatu pekerjaan kami, langsung di tempat. Meja harus dikosongkan dari apapun kecuali kertas lembaran pe-er. Bagi yang tak membuat pe-er tak ada pilihan lain selain memasrahkan diri absen mengikuti jam fisika.
Tapi jangan berpikir bila sudah berbekal lembaran pe-er berikut jawabannya kau akan selamat sampai detik berakhir, kecuali paham apa yang telah kau buat. Mondi yang punya lembaran jawaban, tapi menyalinnya dari Dini lima belas menit sebelum jam pelajaran dimulai pernah merasakan bagaimana kejamnya hukuman Pak Yusak. Ia didenda dengan cara menyuruhnya menuliskan kembali seluruh jawaban berikut menjelaskan proses penyelesaiannya di papan tulis. Tapi sampai jam pelajaran berakhir Mondi tak mampu melunasi denda. Bahkan ia tak mampu melewati soal nomor satu. Seluruh tubuhnya bersimbah keringat untuk itu plus hukuman badan, berdiri di depan kelas. Malu dan marah.
Delapan puluh dua persen dari dua puluh tujuh siswa kelas 1 A ini sudah merasakan ‘makan tangan’ Pak Yusak. Jadi selama dua semester hantu yang selalu menyanjung-nyanjung ilmu eksakta itu adalah musuh nomor satu kelas ini. Ia most wanted reserse kehidupan. Public enemy komunitas 1 A.
Apa boleh buat, kami adalah mayoritas pembenci ilmu eksakta dan semua turunannya. Kami tak suka matematika bukan karena bahan baku ilmu itu hanya angka 0 sampai 9 dan dioperasikan hanya dengan empat alat: kali-bagi-tambah-kurang. Tapi karena kami tak suka dengan guru matematika! Tak kurang, tak lebih. Sejak pelajaran berhitung pertama kali diajarkan di sekolah dasar dulu, cara mengajarkannya tak berubah serupa jalan lengang yang panjang, bosan menunggu sampai.
Maka ketika Pak Yusak mengetahui ada siswa yang tak membeli diktat hasil “karya”nya, ia menginterogasi dengan bentakan dan hardikan, persis polisi sektor menghadapi tertuduh pencuri uang. Abdel yang kali ini menjadi tertuduh menjawab seenaknya ketika ditanya Pak Yusak, kenapa belum punya diktat.
“Saya nggak beli diktat Bapak,”
Jawaban itu cukup untuk menaikkan darah ke ubun-ubun profesor fisika itu.
“Kamu kira pelajaran saya ini pelajaran ecek-ecek, hah?”
Abdel, si sableng bergeming. “Saya sudah berketetapan hati nanti di pembagian jurusan memilih Sos, Pak!”
“Heh, beraninya kamu? Jadi kamu pikir tak perlu mengikuti pelajaran saya. Begitu?”
“Bukan begitu, Pak. Saya tidak mengatakan begitu.”
“Lantas?”
“Saya tidak beli diktat Bapak dan saya nanti memilih Sos. Itu saja yang tadi saya katakan.”
Caranya menjawab dan gayanya persis politisi di depan host junior televisi.
Darah sudah berkecamuk di kepala Pak Yusak dan giginya secara otomatis gemerutuk tak tertahankan. Kurang ajar betul anak satu ini. Padahal seratus prosen warga SMA Negeri hormat tanpa reserve padanya. Tak satu pun, ya tak satupun berani menunjukkan pembangkangan. Dan sekarang di depan hidungnya, di tengah khalayak siswa 1A Abdel berlaku kurang ajar.
“Kalau begitu, sekarang kamu keluar dari jam pelajaran saya. Sekarang!” bentaknya menciutkan nyali.
Abdel tenang tak bereaksi. Kami yang menyaksikan itu berdebar-debar dan tegang menungggu reaksi balik Pak Yusak. Tapi dengan sangat tenang dan elegan Abdel menjawab;
“Bapak tidak berhak mengusir saya hanya karena saya tak memiliki diktat yang Bapak jual. Hak saya untuk tidak membelinya, hak saya juga untuk mengikuti jam pelajaran fisika saat ini, siapapun gurunya.” Tenang, tenang sekali seolah ia bukan berhadapan dengan lelaki yang sudah menyandang predikat tiran SMA Negeri sejak dulu kala.
“Satu hal lagi, Pak...,” katanya kemudian semakin belagu. “Saya memang tidak punya diktat yang Bapak jual. Tapi saya membawa buku pelajaran fisika untuk kelas satu. Bukankah materinya sama? Dan soal pilihan jurusan Sosial nanti tidak berarti saya harus absen mengikuti pelajaran fisika. Saya rasa Bapak mengerti.” Hoho, gentle sekali dan sangat politis. Abdel bahkan sengaja mengayunkan kalimat ‘diktat yang Bapak jual’ sehingga terdengar sangat sinis.
Semula kami memastikan sumbu dinamit Pak Yusak cepat terbakar dan meledak. Tapi nyatanya Pak Yusak tenang saja. Bahkan kemudian ia berbalik kembali ke belakang mejanya. Lalu meluncurlah kalimat santun dari mulutnya.
“Baiklah, kalau begitu mau Saudara. Saya tidak memaksa Saudara atau siapapun di kelas ini untuk mengikuti pelajaran saya. Adalah hak kalian sepenuhnya untuk memperoleh diktat penting yang saya usahakan untuk seluruh siswa sekolah ini. Perkara kalian tidak berminat mendapatkan diktat saya, bahkan pada pelajaran saya ini, lagi-lagi sepenuhnya hak kalian. Tapi ingat, adalah hak saya sepenuhnya untuk memberikan angka pada rapot kalian. Oke? Sekarang kita mulai pelajaran ini.” Tekanan suaranya pada kalimat ‘diktat penting yang saya usahakan untuk seluruh siswa’ seolah ingin mengimbangi sinisme yang ditembakkan Abdel tadi. Juga tekanan bernada ancaman pada kalimat ‘hak saya sepenuhnya untuk memberi angka pada rapot kalian’.
Amazing!
Abdel sudah meruntuhkan tirani dan kesewenang-wenangan yang selama ini tak tersentuh siapapun. Bertahun-tahun siswa sekolah ini sudah disandera oleh kekuasaan mutlak Pak Yusak. Belum ada yang berani menyanggah perintahnya. Semua diktat yang diproduksinya tandas dibayar seluruh siswanya. Sudah jadi rahasia khalayak bahwa dengan membeli diktat Pak Yusak maka nilai enam, paling tidak sudah di kantong.
Kami membenci pelajaran eksakta bukan semata-mata karena ilmu eksakta itu sendiri. Kami emoh karena mulai SMP dulu kami sudah mendapatkan guru fisika dan matematika yang memuakkan.
Terobosan Abdel tadi semakin memantapkan tekad kami untuk memutus silaturahim dengan matematika dan sanak familinya.
Dibutuhkan keberanian berlipat-lipat, bahkan roman muka berkilat-kilat untuk mengatakan ‘tidak’ pada lelaki bertubuh tinggi besar berkulit legam dan berkumis sekadarnya itu. Pengalaman seluruh manusia di ruangan ini sudah mencatat perlakuannya pada setiap kesalahan apalagi pembangkangan yang kami lakukan.
Pak Yusak, lelaki itu, guru fisika kami, jangan coba-coba alpa melaporkan hasil pekerjaan rumah yang sudah dipesannya seminggu sebelumnya. Ia akan mengecek satu persatu pekerjaan kami, langsung di tempat. Meja harus dikosongkan dari apapun kecuali kertas lembaran pe-er. Bagi yang tak membuat pe-er tak ada pilihan lain selain memasrahkan diri absen mengikuti jam fisika.
Tapi jangan berpikir bila sudah berbekal lembaran pe-er berikut jawabannya kau akan selamat sampai detik berakhir, kecuali paham apa yang telah kau buat. Mondi yang punya lembaran jawaban, tapi menyalinnya dari Dini lima belas menit sebelum jam pelajaran dimulai pernah merasakan bagaimana kejamnya hukuman Pak Yusak. Ia didenda dengan cara menyuruhnya menuliskan kembali seluruh jawaban berikut menjelaskan proses penyelesaiannya di papan tulis. Tapi sampai jam pelajaran berakhir Mondi tak mampu melunasi denda. Bahkan ia tak mampu melewati soal nomor satu. Seluruh tubuhnya bersimbah keringat untuk itu plus hukuman badan, berdiri di depan kelas. Malu dan marah.
Delapan puluh dua persen dari dua puluh tujuh siswa kelas 1 A ini sudah merasakan ‘makan tangan’ Pak Yusak. Jadi selama dua semester hantu yang selalu menyanjung-nyanjung ilmu eksakta itu adalah musuh nomor satu kelas ini. Ia most wanted reserse kehidupan. Public enemy komunitas 1 A.
Apa boleh buat, kami adalah mayoritas pembenci ilmu eksakta dan semua turunannya. Kami tak suka matematika bukan karena bahan baku ilmu itu hanya angka 0 sampai 9 dan dioperasikan hanya dengan empat alat: kali-bagi-tambah-kurang. Tapi karena kami tak suka dengan guru matematika! Tak kurang, tak lebih. Sejak pelajaran berhitung pertama kali diajarkan di sekolah dasar dulu, cara mengajarkannya tak berubah serupa jalan lengang yang panjang, bosan menunggu sampai.
Maka ketika Pak Yusak mengetahui ada siswa yang tak membeli diktat hasil “karya”nya, ia menginterogasi dengan bentakan dan hardikan, persis polisi sektor menghadapi tertuduh pencuri uang. Abdel yang kali ini menjadi tertuduh menjawab seenaknya ketika ditanya Pak Yusak, kenapa belum punya diktat.
“Saya nggak beli diktat Bapak,”
Jawaban itu cukup untuk menaikkan darah ke ubun-ubun profesor fisika itu.
“Kamu kira pelajaran saya ini pelajaran ecek-ecek, hah?”
Abdel, si sableng bergeming. “Saya sudah berketetapan hati nanti di pembagian jurusan memilih Sos, Pak!”
“Heh, beraninya kamu? Jadi kamu pikir tak perlu mengikuti pelajaran saya. Begitu?”
“Bukan begitu, Pak. Saya tidak mengatakan begitu.”
“Lantas?”
“Saya tidak beli diktat Bapak dan saya nanti memilih Sos. Itu saja yang tadi saya katakan.”
Caranya menjawab dan gayanya persis politisi di depan host junior televisi.
Darah sudah berkecamuk di kepala Pak Yusak dan giginya secara otomatis gemerutuk tak tertahankan. Kurang ajar betul anak satu ini. Padahal seratus prosen warga SMA Negeri hormat tanpa reserve padanya. Tak satu pun, ya tak satupun berani menunjukkan pembangkangan. Dan sekarang di depan hidungnya, di tengah khalayak siswa 1A Abdel berlaku kurang ajar.
“Kalau begitu, sekarang kamu keluar dari jam pelajaran saya. Sekarang!” bentaknya menciutkan nyali.
Abdel tenang tak bereaksi. Kami yang menyaksikan itu berdebar-debar dan tegang menungggu reaksi balik Pak Yusak. Tapi dengan sangat tenang dan elegan Abdel menjawab;
“Bapak tidak berhak mengusir saya hanya karena saya tak memiliki diktat yang Bapak jual. Hak saya untuk tidak membelinya, hak saya juga untuk mengikuti jam pelajaran fisika saat ini, siapapun gurunya.” Tenang, tenang sekali seolah ia bukan berhadapan dengan lelaki yang sudah menyandang predikat tiran SMA Negeri sejak dulu kala.
“Satu hal lagi, Pak...,” katanya kemudian semakin belagu. “Saya memang tidak punya diktat yang Bapak jual. Tapi saya membawa buku pelajaran fisika untuk kelas satu. Bukankah materinya sama? Dan soal pilihan jurusan Sosial nanti tidak berarti saya harus absen mengikuti pelajaran fisika. Saya rasa Bapak mengerti.” Hoho, gentle sekali dan sangat politis. Abdel bahkan sengaja mengayunkan kalimat ‘diktat yang Bapak jual’ sehingga terdengar sangat sinis.
Semula kami memastikan sumbu dinamit Pak Yusak cepat terbakar dan meledak. Tapi nyatanya Pak Yusak tenang saja. Bahkan kemudian ia berbalik kembali ke belakang mejanya. Lalu meluncurlah kalimat santun dari mulutnya.
“Baiklah, kalau begitu mau Saudara. Saya tidak memaksa Saudara atau siapapun di kelas ini untuk mengikuti pelajaran saya. Adalah hak kalian sepenuhnya untuk memperoleh diktat penting yang saya usahakan untuk seluruh siswa sekolah ini. Perkara kalian tidak berminat mendapatkan diktat saya, bahkan pada pelajaran saya ini, lagi-lagi sepenuhnya hak kalian. Tapi ingat, adalah hak saya sepenuhnya untuk memberikan angka pada rapot kalian. Oke? Sekarang kita mulai pelajaran ini.” Tekanan suaranya pada kalimat ‘diktat penting yang saya usahakan untuk seluruh siswa’ seolah ingin mengimbangi sinisme yang ditembakkan Abdel tadi. Juga tekanan bernada ancaman pada kalimat ‘hak saya sepenuhnya untuk memberi angka pada rapot kalian’.
Amazing!
Abdel sudah meruntuhkan tirani dan kesewenang-wenangan yang selama ini tak tersentuh siapapun. Bertahun-tahun siswa sekolah ini sudah disandera oleh kekuasaan mutlak Pak Yusak. Belum ada yang berani menyanggah perintahnya. Semua diktat yang diproduksinya tandas dibayar seluruh siswanya. Sudah jadi rahasia khalayak bahwa dengan membeli diktat Pak Yusak maka nilai enam, paling tidak sudah di kantong.
Kami membenci pelajaran eksakta bukan semata-mata karena ilmu eksakta itu sendiri. Kami emoh karena mulai SMP dulu kami sudah mendapatkan guru fisika dan matematika yang memuakkan.
Terobosan Abdel tadi semakin memantapkan tekad kami untuk memutus silaturahim dengan matematika dan sanak familinya.