Akhir Keangkuhan Raja Kecil

artikel ini dikutip dari note facebook penulis
Penulis adalah Pemimpin Redaksi PadangMedia.Com
 
|media online berpengaruh di kawasan Sumatera


Macan ompong! Agaknya personifikasi itu tak berlebihan bila dilekatkan kepada para gubernur sejak bergulirnya otonomi daerah 1999. Titik berat otonomi yang diletakkan pada Kabupaten/Kota, telah dengan sadar membuat para Bupati/Walikota (dan bahkan) para pejabat di Kabupaten/Kota berubah menjadi raja-raja kecil.


Terasa sekali kesan angkuh dan jumawa para Bupati/Walikota manakala berhadapan dengan para Gubernur. Rupanya fatsoen birokrasi yang mengatur atasan dan bawahan, bapak buah dan anak buah berubah jadi dendam selepas otonomi digulirkan. Tadinya para Bupati/Walikota masih terikat dengan span of control Gubernur. Apapun yang mereka (para Bupati/Walikota) lakukan, mesti dikoordinasikan dengan kantor Gubernur. Tapi otonomi seperti melepas mata rantai pemerintahan itu. 
 
Tiba-tiba saja pemerintahan provinsi menjadi macan ompong. Tidak bisa berbuat apa-apa, tak bisa menegur para Bupati/Walikota.

Salah tegur, bisa-bisa Gubernur kena ‘sarengeh’ oleh para raja kecil ini.

 
Tak heran kalau undangan rapat seberapa penting pun dari Gubernur kadang ‘dicuekin’ oleh para Bupati/Walikota. Malangnya, ada pula Bupati/Walikota memandang bahwa rapat dengan Gubernur itu cukup dihadapi oleh seorang Kepala Bagian saja di Kantor Bupati/Walikota.
Pernah terjadi di Sumatera Barat, seorang Bupati mencopot benggol jabatannya ketika hadir dalam rapat dengan Gubernur. Alasannya dia hadir bukan sebagai Bupati, melainkan dalam kapasitas pribadi. Kalau dia pakai benggol berarti dia anak buah Gubernur, padahal bukan, alaaaaamak!
 
Di Mentawai, Bupatinya tak peduli berlembar-lembar surat teguran yang dilayangkan Gubernur agar segera melantik Sekretaris Daerah Kabupaten kepulauan itu. Tapi berbilang bulan sejak SK Sekda itu, namun pejabatnya tak kunjung dilantik. 
 
Para Gubernur mengurut dada (jangan-jangan Bupati menepuk dada)
Pokoknya lantas benar angan para Bupati/Walikota ini kepada Gubernur. Sedang kepada Gubernur saja berlantas angan, apalah artinya para Kepala Dinas pembantu Gubernur, semua dibawa 'rendong' saja.
 
Tapi masih untung disharmoni provinsi-kabupaten/kota ini di Sumatera Barat tidaklah separah di provinsi lain. Penilaian Pemerintah Pusat memang demikian, masih ada ruang untuk beriya-bertidak antara Gubernur dengan Bupati/Walikota. Rapat Koordinasi yang dilaksanakan secara periodik, mendapat apresiasi dari pemerintah pusat.
 
Disharmoni antara dua tingkatan pemerintahan (provinsi dan kabupaten/kota) bisa menjurus pada kemubaziran. Sebab dengan tak berfungsinya Gubernur, bisa dikatakan aparatur di sekeliling Gubernur menjadi tidak perlu. Anggaran untuk itu juga menjadi tidak perlu. Di atas kertas Gubernur bisa saja menjadi macan, tetapi praktiknya hanyalah macan ompong yang tak punya taring.
 
Syukurlah, Jakarta cepat-cepat mengakhiri pemacanompongan para Gubernur ini. Lewat Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2010 yang baru saja dirilis pada 28 Januari lalu, keangkuhan para raja kecil akan diakhiri. 
 
PP No 19/2010 ini mengatur tentang kewenangan Gubernur. Disebutkan dalam saripati PP itu, bahwa selain menjadi perpanjangan tangan (verlengstuuk) pemerintah pusat, maka para gubernur akan diberi kewenangan menegur para para Bupati/Walikota.
 
Pada pasal 3 ayat(1 ) diatur bahwa Gubernur melakukan koordinasi penyelenggaraan pemerintah antara pemerintah daerah provinsi dengan instansi vertikal dan antarainstansi vertikal diwilayah provinsi bersangkutan serta dengan pemerintah kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan.
 
Ditegaskan dalam PP itu bahwa Gubernur juga membina dan mengawasi penyelenggaraan pemerintah daerah kabupaten/kota.
 
Pada pasal 4 dari PP itu dimaktubkan pula Gubernur sebagai wakil pemerintah memiliki wewenangan mengundang rapat bupati/walikota beserta perangkat daerah dan pimpinan instansi vertikal Ia juga berwenang memberikan penghargaan atau sanksi kepada bupati/walikota terkait dengan kinerja pelaksanaan kewajiban, dan pelanggaran sumpah/janji.
Agar 'taring' gubernur benar-benar punya wibawa, maka PP itu juga mengatur bahwa pelantikan Gubernur dilakukan oleh Presiden. Hanya kalau Presiden berhalangan saja diwakili oleh Mendagri. Ini mengukuhkan kepada publik bahwa Gubernur benar-benar 'wakil presiden' di daerah. Karenanya tak ada alasan membangun resistensi kepadanya oleh para Bupati/Walikota. Resistensi terhadap kebijakan Gubernur sama saja dengan resistensi terhadap kebijakan Presiden, Tapi kalau para Bupati/Walikota merasa punya taring pula, silahkan saja dicoba, Mana tahu mangkus
 
PP tentang kewenangan Gubernur ini bisa dimaknai sebagai alaf baru berotonomi setelah sepuluh tahun terakhir ini kita kehilangan spirit provinsi. Kini saatnya spirit provinsi dalam artian positif tampil kembali. Selama ini kita bicara atas nama Sumatera Barat hanya seputar PON, Sastra, MTQ, atau Sepakbola. Selebihnya kita hanya bicara atas nama wilayah yang lebih kecil. Ketika siswa SMA di Padang Panjang juara olimpiade sains, yang bangga hanya orang Padang Panjang. Mestinya kebanggaan itu seperti kita bangga tatkala Halilintar tampil di Pentas Idola Cilik. Semua kita merasa itu adalah anak Sumatera Barat!***

Posting Komentar

0 Komentar

Below Post Ad