Piala Citra Festival Film
Indonesia sudah dibagikan di Festival Film Indonesia (FFI) 2009 di Hall
D1, Jakarta International Expo Arena PRJ, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu
(16/12/2009). malam. Film besutan Aria
Kusumadewa, 'Identitas' sukses
merebut Piala Citra sebagai film terbaik
menyingkirkan beberapa pesaing seperti , 'Jamila dan Sang Presiden', 'Mereka
Bilang, Saya Monyet!', 'Ruma Maida'
dan 'Perempuan Berkalung Sorban',
Meski perhelatan insan perfilman Indonesia itu mendapat kritik dari
banyak pihak, terutama dari kalangan perfileman sendiri. Seperti diketahui, sebagian
sineas Indonesia
yang enggan mengikuti ajang Festival Film Indonesia (FFI). Penolakan terutama datang
dari kelompok sineas muda Secara umum boleh dikatakan bahwa
penyelenggaraan FFI kali ini cukup berhasil.
Riri Reza adalah salah satu sineas muda yang melakukan penolakan
mengikuti ajang ini. Selaku sutradara Laskar Pelangi , Riri enggan mengikutkan karyanya di FFI 2009
karena menyangsikan kejujuran penjurian. Riri khawatir film-film bagus akan
dikalahkan oleh film-film yang jumlah pentontonnya banyak, meski secara
sinematografis kualitasnya nol besar.
Pada FFI 2006,
juri memenangkan film “Ekskul” karya sutradara Fio Nuala yang akhirnya menuai
protes banyak sineas terbaik. Dalam protes tersebut mereka menilai film tersebut tidak orisinal dan melanggar hak cipta
karena menggunakan ilustrasi musik dalam film Hollywood yaitu Gladiator dan
Munich.
Hal ini membuat para insan perfilman secara tegas menolak keputusan juri FFI
2006.
Sejumlah sineas muda
menyayangkan film Ekskul yang menyabet tiga piala Citra dalam ajang
Festival Film Indonesia 2006. Sebanyak 30 Piala Citra yang mereka raih dalam
ajang FFI sebelumnya dikumpulkan untuk diserahkan kembali ke Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata.
Mungkin protes para sineas
muda tersebut seperti dikatakan Riri Riza, “"Buat kami ini adalah puncak
dari sistem kebijakan perfilman Indonesia.
Harus ada perubahan struktural dari sistem lembaga film," kata Riri. Di
mata para anak muda insane perfilman, penyelenggaraan FFI oleh Departemen Kebudayaan
dan Pariwisata tidak transparan. Baik dari sisi pelaksanaan maupun pendanaan.
Lelaki yang selalu gatal ingin menulis, penyuka puisi. Terjun di dunia jurnalistik sejak 1988 saat menjadi kontributor Tabloid KMS Singgalang Padang. Menulis cerpen, puisi, dan artikel-artikel sosial politik di media Padang 1988-1996 sejak di SMPN Kotolaweh, SMAN1 Padang Panjang dan saat mahasiswa FH Unand Padang. Bersama beberapa penulis menerbitkan antologi cerpen antara lain: Simfoni Reuni, Resolusi, Petualangan di Alam Bebas, Aku Lagu dan Nostalgia dan Buku antologi Puisi 16 Penyair Nusantara Latifah Qolbi . Menulis buku 100 Tahun Semen Indonesia bersama sejumlah wartawan Indonesia, dan buku Pilkada dan Pandemi bersama Indra J Piliang dan Dr Ir Sujono MM. "Kilau Sungai Lelap Tidurmu" (Buku kumpulan puisi bersama sejumlah penyair Indonesia, mengenang kepergian Eril Mumtaz),
Sebuah novel berjudul Magek, Affair Tiga Dara setebal 400 halaman siap diterbitkan. Saat ini Oce Satria berkutat sebagai Jurnalis di Harian Pekanbaru MX, Klimmx.com, Pemred Tanjaknews.com, dan mengelola sejumlah blog pribadi.
APA PENDAPAT ANDA TENTANG TOPIK INI?: