Oleh: Oce E Satria


Solilokui: Rendra Belum Selesai 

“Sastra memang karya tulis, akan tetapi yang penting bukanlah tulisannya, melainkan apa yang ada di dalamnya.. Dan apabila kebanyakan orang mengatakan bahwa yang penting di dalam tulisan satra adalah keindahannya, maka sebetulnya keindahan itu pun bukanlah disebabkan oleh keindahan bahasanya, seperti banyak dikatakan orang, melainkan karena keberhasilan tulisan satra tersebut mendekati kebenaran.”

Sepotong dari Catatan Budi Darma, 1974 tersebut boleh jadi menyetujui omelan Rendra yang mengkritik para penyair yang hanya sibuk berasyik masyuk dengan kata-kata yang dibagus-baguskan, diindah-indahkan dan berkutat hanya dari ‘bulan’ ke ‘bulan’, sementara lingkungan sekitarnya, fakta sosial dan sejarah kemanusian yang membungkus kesehariannya, terlupakan. Kenyataan yang membutuhkan campur tangan penyair, tersungkur di bawah monument kesenian.

Rendra memang monumental, baik sebagai pribadi maupun keseluruhan perjalanan berkeseniannya bagi bangsa ini. Tetapi ia bukanlah monumen, tugu mati yang sesekali dikerubuti, dijadikan latar berfoto dan lebih banyak dilewati begitu saja. Tidak disengaja, tidak dirindukan, dan yang menyedihkan tidak dibutuhkan. Layaknya tugu, ia hanya perlu diingat sesekali. Rendra bukanlah tugu, yang bisu dengan kemegahannya sebagai landmark di tengah kota. 

Rendra membantu kita menemukan tugas kita masing-masing agar bersedia menjadi memberi KESAKSIAN dengan motto abadi “Kenyataan harus dikhabarkan”. Seberapapun kecilnya kita dan kesaksian kita.

Boleh jadi Rendra tidak memerlukan kredo untuk seluruh kata-kata yang ia bidani dan ia rawat dengan tekun. Tak perlu pula ia memberi nama, karena nama hanya memerangkap kita pada kecenderungan mencari asal-usul. Yang terpenting adalah, apakah kata-kata yang lahir mampu mewakili kepentingan lebih banyak orang. Kata-kata tidak dilahirkan hanya sebagai ujud halusinasi lantas disenggemai sendiri dan mendapatkan kenikmatan yang palsu. Kata-kata adalah guide bagi orang-orang buta, kusta dan teraniaya sekaligus bentakan bagi mereka yang mengaku pemimpin.

banyak orang dirampas haknya// aku bernyanyi, menjadi saksi.....” di Kantata Taqwa Rendra mempersembahkan kepenyairannya untuk tidak sekadar menjadi bunga-bunga pemanis rupa di negeri ini. Kata-kata baginya juga tidaklah sekadar jumbai-jumbai di selendang pesta, melainkan harus menjadi selendang itu sendiri. Selendang bisa multifungsi dalam segala kemungkinan.

Puisi bukanlah sekadar wangi, mentereng dan berwarna-warni. Puisi lebih dipilih karena berisi dan diisi. Potret pembangunan dalam puisi akan menjadi pamflet bukan album.

Selamat jalan Mas Willy!

[pdklp - 7/8/2009]