DEMOKRASI MELUMPUHKAN INDONESI

By : eka satria taroesmantini

Musuh nomer wahid kita sesungguhnya adalah otak kita yang susah mengerti dan paham, apa isi kepala orag-orang yang selama ini kita sebut tokoh, pemimpin, calon pemimpin atau calo-calo pemimpin. Kita tak habis pikir, triliunan duit rakyat plus dari laci uang mereka sendiri, dihamburkan hanya demi memenuhi rukun demokrasi yang bernama p e m i l u. Demokrasi menuliskan prasyarat bahwa pemimpin, mulai level kepala negara, sampai kepala desa, dari wakil rakyat di Senayan sampai wakil rakyat di puluhan ibukota propinsi dan ratusan lainnya di ibukota kabupaten/kota harus dipilih melalui pemilihan umum. Hitunglah jumlahnya dan bandingkan dengan jumlah hari yang dijatah tuhan dalam satu tahun. Pesta setahun suntuk.
Pesta pora yang kita gelar mendapat pujian dan apresiasi dari orang luar. Kita sekarang sudah berada di level tertinggi bangsa dengan demokrasi terbesar. Dari seluruh pelosok planet bumi sanjungan dipaketkan bertubi-tubi, seakan mereka hendak mencoba studi banding dan kemudian mempraktekkan di negara masing-masing. Tetangga mengelu-elukan kita seolah-olah cemburu dan hendak meniru. Padahal sesungguhnya kita tidak tahu, mereka saling toast dan terbahak, “Pesta aja sampai kiamat, orang-orang bodoh....”

Lihatlah sepanjang hari kita disuguhi berita pemilu melulu, pilkada yang diulang dan ulangannya mesti diulang lagi. Orang-orang bodoh berhondoh-poroh dengan wajah sangar memprotes jagonya yang keok, melempar, membongkar, menghajar dan membakar apapun yang di depannya. Hari-hari kita tersita, jam kerja terabaikan. Jadilah kita bangsa yang tidak sangat produktif. Demokrasi mendidik anak-anak kita jadi sangar, beringas, kurang ajar, seenaknya, dan bodoh.
Bukan demokrasi yang mengantarkan kita menjadi lebih sejahtera. Bukan demokrasi pula yang membuat kita jadi maju. Singapura menaruh demokrasi di pojok rumahnya dan mereka sangat makmur, rakyatnya hidup teratur, ilmu pengetahuan telah menjadikan mereka sebagai bangsa yang hebat. Soeharto memoles Indonesia hanya dengan sedikit gincu demokrasi, dan rakyat senang hidup mereka tak terlalu sengsara seperti saat ini. Hanya aktivis saja yang sok jadi pahlawan seolah di tangan merekalah nasib kita hendak diubah.
Jadi, bukan demokrasi jawaban dari pertanyaan kita tentang cara menyejahterakan rakyat. Tapi hukumlah pilar utamanya. Hukum memetakan aturan main, hukum pula yang dengan tegas memberi reward dan punishment. Demokrasi hanya kita pungut sekadarnya saja. Misalnya Hukum menentukan dua atau tiga partai saja yang bisa ikut pemilu dengan menaikan setinggi-tingginya batas elektoral treshold. Hukum pula yang menentukan bahwa bupati, walikota dan gubernur dipilih oleh wakil yang sudah dipilih rakyat. Hukum pula yang menentukan bahwa kontestan pemilu tak boleh menyebar poster, stiker dan bendera di sepanjang jalan, di pohon-pohon. Kampanye hanya boleh dilakukan di media massa. Negeri ini akan jauh lebih aman dari bising bualan dan hiruk pikuk jualan bombastis para caleg, cabup, cagub, capres dan seterusnya.
Bla, bla, bla....., siapa setuju?






Posting Komentar

0 Komentar

Below Post Ad