-----------------------------------------------------------------------------------------------
By eka satria taroesmantini
Alvin Toffler dalam bukunya Kejutan dan Gelombang mengajukan soal sebagai berikut: Apakah yang menjadi sumber system patriakat? Anda menolak pendapat bahwa dominasi pria dimulai dari Tuhan atau disebabkan gen. Dimanakah permulaannya?
Tak ada yang tahu. Kalau saya katakan supremasi pria tidak genetik, saya tidak bermaksud mencampakkan biologi. Adalah masuk akal karena wanita melahirkan anak, mereka beroperasi dalam keadaan yang kurang menguntungkan dibanding pria dalam masyarakat purba. Pria dapat pergi lebih jauh dari rumah, berburu mengumpulkan bekal untuk keluarga dan kelompoknya.
Berburu itu pada gilirannya mungkin telah meningkatkan sifat memangsa (predatory), kemahiran untuk memaksa, survival atau berkelahi. Semuanya menjadi bekal bagi munculnya peran kekuasaan social kaum pria terhadap wanita.
Agak kedengaran aneh pula pendapat Marielouise JJ yang berpikir bahwa pria mempunyai lebih banyak alas an daripada wanita untuk menginginkan anak banyak. Bahwa makin sering melahirkan, makin kecil kemungkinan wanita menyaingi pria untuk meraih kekuasaan. Sekarang juga bahkan ada alasan dari segi kesehatan yang mengungkapkan bahwa wanita yang sering melahirkan justru lebih lama dapat menunda masa menopause-nya.
Namun sekarang seksisme dalam hal pengkategorian peran pria dan wanita tidak dipandang semata-mata karena alasan adanya dominasi tersebut. Banyak alasan lain yang mungkin menyebabkan hal itu terjadi. Faktor ekonomis, geografi sampai karena disandarkan pada alasan perintah agama yang ditafsirkan secara tekstual dan bahkan seenaknya. Menarik mengkaji alasan agama yang dijadikan dasar pembedaan peran pria dan wanita, dimana penafsiran atas nash-nash agama yang disebut dengan fikih (dalam Islam) faktanya lebih banyak dilakukan oleh pihak pria. Dengan demikian tak ada alasan untuk menyalahkan kita yang mencurigai adanya sisipan kepentingan, egoistik dan kekurangarifan para penafsir. Celakanya, kebanyakan ummat Islam menerima tafsiran yang ada sebagai sebuah kitab suci baru yang tak boleh dibantah dan didiskusikan.
Di zaman yang sangat dipengaruhi oleh peran teknologi informasi ini, persaingan hidup makin membuat manusia terdesak oleh sempitnya peran fisik yang mungkin pada zaman dulu menjadi pokok penting bertahannya sistem nilai dan mekanisme hubungan antar individu dan masyarakat. Oleh sebab itu kini terbuka kesempatan (mungkin keharusan) bagi setiap individu, pria maupun wanita untuk mengaktualisasikan diri mereka agar mampu bertahan. Dan menjadi tugas kaum agamawan pula untuk lebih menguras pengetahuan, kearifan dan kemampuan dalam menafsirkan kehendak Tuhan yang tertera dalam teks-teks kitab suci maupun hadist.

APA PENDAPAT ANDA TENTANG TOPIK INI?: