GEOVISI

Obama dan Barak-Barak Teroris

By Eka Satria Taroesmantini

Obama mungkin boleh bersenang hati keberadaannya di puncak kekuasaan negara adi daya Amerika Serikat, disambut dengan senang hati di mayoritas penduduk bumi. Tapi ia sekaligus ditunggu dengan ekspektasi sangat tinggi, atau paling tidak selama masa kekuasaannya hari-hari kedepan dapat menurunkan ketegangan di berbagai titik yang sudah disulut sebelumnya oleh “Tuan Si Korban Sepatu”.
Khususnya di dunia Islam, timur tengah lebih-lebih, menunggu bagaimana dan apa paradigma rezim Obama terhadap terorisme. Bagaimana kelanjutan status poros setan yang pernah dicetus Bush dulu, soal “yang tak ikut Amerika adalah musuh kami” dan bagaimana kebijakan politik Amerika Serikat terhadap negara-negara dengan mayoritas Islam moderat seperti Indonesia.
Selama ini Amerika dan umumnya pemimpin barat dan media barat memakai kerangkai berpikir mengikuti, misalnya Jerry Farwell yang dengan haqqul yakin mengatakan bahwa ajaran Islam memang memuat peluang-peluang terorisme. Kerangka berpikir seperti itulah yang selama ini dipakai barat dan media barat. Hal tersebut dengan sendirinya menempatkan pelaku teror sebagai satu-satunya penyebab utama lahirnya terorisme. Islam dipandang sebagai lumbung dimana bibit terorisme ditumbuhkan.

Cara beripikir seperti itu justru menyimpan banyak kelemahan dan tidak akan pernah menyelesaikan apalagi menghilangkan terorisme selamanya. Lihat saja, hampir semua peristiwa teror umumnya dilakukan oleh kaum muslim. Fakta itulah yang pasti membuat Farwell dan dunia barat yakin dengan kesimpulannya bahwa Islam melahirkan teroris. Namun, bila kita lebih cermat dan bijak, fakta tersebut bisa dibenturkan dengan konklusi Farwell dengan mengajukan pertanyaan: mengapa? Mengapa pelaku teror kebanyakan berasal dari kaum muslim? Farwell mungkin sudah mengajukan pertanyaan tersebut, tetapi susahnya, dia sudah membungkusnya dalam kerangka berpikir sempit. Ia sengaja tidak melebarkan jawaban atas pertanyaan itu ke lebih banyak kemungkinan. Di dunia barat kerangka berpikir kultural ini melahirkan misalnya, karikatur penghinaan Nabi Muhammad SAW.
Seharusnya pertanyaan juga diarahkan juga pada korban teror. Mengapa mereka yang dijadikan objek sasaran teror? Inilah kerangka yang lebih masuk akal (rasional) dibanding kerangka kulturalnya Farwell. Model berpikir ini mengeksplorasi lebih dalam dan komprehensif tentang konflik kepentingan (sosial dan ekonomi) yang mendasari timbulnya tindakan kekerasan pada salah satu pihak.
Mungkin kerangka rasional ini sudah lama dipahami oleh barat, namun enggan mengemukakannya, lantaran sebagai korban teror (Amerika dan sekutunya) mereka sama sekali tidak mau dipersalahkan.
Bagaimana Obama? Ia boleh saja dianggap sebagai salah satu presiden Amerika paling cerdas, intelektualis dan –katanya- sedikit keuntungan dari riwayat hidupnya yang berasal dari multi-kultural. Tapi realitas politik di dalam negeri Amerika sampai saat ini masih dalam cengkeraman kekuasaan ekonomi dan finansial kaum yahudi yang memiliki kemampuan lobi luar biasa. Jadi akan sangat wajar bila pada saat bersamaan sikap pesimis dan skeptis juga tumbuh. Begitu, ‘kan?
====================================================================================
Kesuksesan adalah melaju di jalan tol malam hari, nasib baik adalah sampai di tempat tujuan melewati jalanan macet padat merayap (abi salwa)
====================================================================================




Tags

Posting Komentar

0 Komentar

Below Post Ad