Cerpen: Oce Satria
KALAU saja anjing tambun tinggi besar itu masih setangguh dulu, pastilah Mak Buliah tidak mengungkit-ungkit soal tuahnya. Menyongsong hari perburuan massal yang bakal digelar di kampung kami, Mak Buliah jadi uring-uringan. Jabatan induak buru yang sudah bertahun-tahun disandangnya mulai diusik. Buktinya, tak seorangpun punggawa buru babi mendatanginya, membicarakan helat besar yang bakal digelar. Usut punya usut, Jariah adalah calon kuat penggantinya.
Ia pun pontang-panting ke sana kemari, meyakinkan orang-orang kalau ia masih layak memangku jabatan induak buru, bukan Jariah, yang dinilainya masih muda mentah. Orang muda lebih suka mengandalkan otot ketimbang otaknya. Kurang perhitungannya. Lagi pula dia tak pernah terlibat perburuan. Meskipun Jariah itu masih terhitung dalam jalur kemenakan Mak Buliah tapi orang tak mengenalnya sebagai pencandu buru babi. Bahkan, Jariah sendiri tidak punya anjing! Kedengarannya aneh, tak punya anjing tapi mau memimpin. Tidak jamak.
Sebaliknya, dengan anjing hebat kesayangannya, Mak Buliah merasa lebih percaya diri memimpin buru babi. Semua orang menaruh hormat. Retak tangannya bagus, semua anjing binaannya selalu jadi anjing nomer wahid. Termasuk anjing terakhir yang bernama Buliah itu. Mereka menganggap Mak Buliah memiliki semua persyaratan menjadi induak buru.
Aku tidak banyak tahu soal anjing-anjing peliharaan Mak Buliah itu kecuali dari pembicaraan orang yang kudengar sepotong-sepotong. Mak Buliah tidak memberinya nama, tapi orang-orang menamainya anjing Buliah, merujuk namanya sendiri. Kehebatannya sudah jadi buah bibir: melesat di tengah hutan, berlari bagai kilat menuruni jurang dan tanpa lelah berputar mengitari lereng-lereng bukit. Tidak kembali sebelum mematah seekor babi.
Di kampung kami belum pernah terdengar kabar ada anjing pemburu ditawar seharga limapuluh juta, kecuali anjing kesayangan kakak laki-laki ibuku itu. Meski si peminat mati-matian menawar tapi Mak Buliah bersikukuh untuk tidak melepasnya.
“Separuh kebanggaan diriku ada pada anjingku. Melepasnya, sama saja aku menjual diri,” kilahnya ketika aku menyarankan untuk menerima tawaran itu.
Ia beralasan, anjing bertubuh tambun tegap itu adalah cermin tuah dirinya. Padahal, seingatku Mak Buliah tidak punya riwayat yang cukup memadai untuk disebut sebagai orang bertuah. Tidak pernah memangku jabatan pemerintahan desa, bukan pula kepala adat apalagi orang siak yang paham agama. Satu-satunya kemampuan Mak Buliah adalah, ia jago pasambahan, semacam kemahiran bersilat kata dengan media petitih adat.
Maka bila orang membicarakan perihal buru babi, nama Buliah selalu menjadi tema sentralnya. Anjing itu dipercaya menyimpan tuah. Misalnya, nyaris dari seluruh perburuan yang diikuti, belum satu tetes darah pun keluar dari tubuhnya. Orang-orang heran sekaligus takjub. Padahal medan perburuan sungguh sangat berat, dari semak belukar sampai rimba lebat. Ratusan anjing yang mengikuti perburuan hampir pasti pernah menyisakan bekas luka di tubuhnya.
Sekali waktu Buliah menghadang serombongan pencari kayu yang bermaksud masuk ke hutan di selatan kampung. Ia menyalak dengan gonggongan khasnya, berat dan sangat keras. Dan para pencari kayu itu mengurungkan maksud mereka. Esoknya, pecah kabar tentang penduduk yang tapung hambur menyelamatkan diri dari amukan seekor harimau yang datang dari hutan tersebut . Untung saja sang harimau segera masuk hutan. Hebat benar anjing Buliah!
Aksi Buliah mengundang decak kagum. Tuannya, Mak Buliah, jumawa tak kepalang. Tak pernah lepas nama Buliah disebut apabila cerita buru babi diperbincangkan. Ia menjadi lakon dari medan perburuan satu ke medan perburuan berikutnya.
Banyak yang mencoba mencari tahu apa rahasia kehebatannya. Ke orang pintar mana Mak Buliah ‘mengisi’ anjingnya. Bagi yang berpikir rasional, mereka mencoba menelisik rantai genetiknya, atau menu apa yang masuk ke lambungnya atau sekurang-kurangnya bagaimana ia merawat dan melatihnya.
Sekarang, semua kebanggaan itu hendak direbut oleh Jariah!
***
Tapi, lambat laun usia rupanya telah jadi lawan tanding tak terkalahkan, anjing Buliah tak berkutik menghadangnya. Ia mulai ogah-ogahan, daya jelajahnya telah berkurang. Bahkan gonggongannya tak lagi sekeras dulu, tidak lagi menggetarkan dan menakutkan. Kehebatannya telah menyusut. Sementara dari medan perburuan banyak muncul para pendatang baru berbagai jenis yang punya kemampuan sangat bagus karena dilatih khusus oleh profesional. Nama Buliah mulai terdengar lamat-lamat sebelum akhirnya hilang sama sekali. Penggantinya pun belum didapat. Mak Buliah tak habis pikir, bagaimana mungkin tuah yang telah sekian lama menyatu antara ia dan anjingnya kini terasa tak bersisa sama sekali? Bagaimana mungkin tuahnya ikut memudar, mengekor anjingnya?
“Kenapa Mamak tidak mencoba memahami situasinya?” Di satu kesempatan aku mencoba menggugat. Kulihat ia sudah semakin uring-uringan dan itu berbuntut pada banyak hal. Mulai dari ladang yang terbengkalai sampai makan dan mandi yang sering ia abaikan .
“Maksudmu, membiarkan si Jariah merebut tuah?”
Ah, orang tua itu selalu merasa bahwa dirinya masih menggenggam tuah. “Bukan itu, Mak! Maksud saya, semuanya tak lepas dari sunatullah. Patah tumbuh hilang berganti. Kejayaan itu dipergilirkan…”
“Kau hendak mengatakan Mamakmu ini sudah habis?”
“Si Buliah! Dia sudah mengaku kalah, Mak. Mamak tak bisa memaksanya.”
“Aku belum mati, Buyung. Dan selagi ada aku di kampung ini, aku akan terus memimpin perburuan. Aku ini induak buru!”
“Caranya?”
“Nah, Buyung, kemanapun mata dilayangkan, pandangan orang akhirnya akan tertumbuk ke sini juga!” katanya sambil menepuk-nepuk dada. Aku melengos.
“Tapi, kalau boleh bertanya, apa menterengnya menjadi induak buru? Menurutku biasa-biasa saja. Tidak digaji, tidak ada pakaian dinasnya, tidak ada yang istimewa…,”
“Kau berpikir cara orang kota. Kalau belum berpakaian dinas belum mentereng.”
“Jadi, hanya sekedar berebut pengaruh, ya Mak?”
“Itu terlalu sederhana, Buyung. Yang kurisaukan adalah, aku belum melihat calon induak baru yang cukup syarat dan riwayat. Yang kau dengar hanya keinginan-keinginan, terutama si Jariah. Berburu saja tidak sekali haram! Mau jadi induak buru pula? Riwayat mana yang pernah menyandingkannya dengan anjing? Ndak ada!”
Sebenarnya tidak ada yang istimewa pada jabatan induak buru tersebut. Tugasnya hanyalah memimpin ritual menjelang perburuan dimulai. Bila diundang ke kawasan lain, induak buru bertindak sebagai kepala rombongan. Sebelum memulai perburuan , para induak buru saling berbasa-basi dengan sedikit pasambahan atau pepatah-petitih.
Begitu saja.
Tak ada yang istimewa dari tugas seorang induak buru tersebut. Tapi mengapa Mak Buliah sampai ngotot ingin mempertahankannya?
***
Jariah konon sudah terang-terangan menginginkan posisi sebagai induak buru! Bahkan beredar kabar ia mendatangi beberapa orang tokoh. Mulai dari Wali Nagari sampai menyambangi tokoh pemuda yang biasa nongkrong di kedai kopi di mulut kampung. Entah apa yang dibicarakan. Tapi, pasti bisa diduga ia sedang mencoba meraih simpati, meraup dukungan.
Tapi, menyusul safari yang dilakukan Jariah, serombongan penduduk pemilik ladang mendatangi kantor Wali Nagari. Mereka minta Pak Wali melarang buru babi diadakan di kampung ini.
Menurut Sutan Saidi yang memimpin rombongan , buru babi tak mendatangkan parupai atau manfaat sama sekali bagi penduduk. Alih-alih membasmi hama babi, perburuan yang menghadirkan ratusan anjing dan tuannya itu seringkali menyisakan bengkalai bagi petani yang sawah ladangnya dilewati para pemburu.
Kelakuan kawanan anjing pemburu dan tuannya memang menjengkelkan. Tak peduli tanaman petani diinjak-injak! Demi melampiaskan syahwat berburu, babi penghuni hutan didakwa sebagai hama. Padahal babi-babi itu hanya merengggut sepotong ubi, serumpun padi atau beberapa tangkai kacang . Tidak pernah berlebihan. Dan mereka disebut sebagai hama.
Pesta buru babi usai, pemilik ladang mengelus dada menyaksikan tanaman mereka kusut masai dirusak pemburu dan anjing-anjing mereka. Bejibun umpatan dan carut kekesalan meradang di tenggorokan. Mengumpal saja.Tak ada yang berani terus terang menyatakan ketidaksetujuannya.
***
Wali Nagari akhirnya memutuskan meminta pendapat seluruh penduduk. Apakah buru babi ditiadakan atau boleh jalan terus. Kalau diteruskan, siapa yang pantas jadi induak buru, bagaimana prasyarat jadi induak buru, bisakah mereka yang tidak punya anjing buruan menduduki jabatan induak buru? Seterusnya, berapa batas maksimal usianya, batas minimal pendidikannya, batas masa jabatannya dan beberapa pertanyaan lainnya. Pertanyaan-pertanyaan yang memunculkan kerut di kening.
Tentu saja Mak Buliah mencak-mencak merespon kebijakan tersebut. Ia selalu reaktif menerima hal baru yang tak pernah terpikirkan di benaknya.
“Beginilah kalau keseringan nonton tipi! Semua cara orang kota mau ditiru. Barang sederhana begini dibikin rumit, dirumit-rumitkan. Memangnya kalau meniru begituan kita bisa jadi lebih maju? Atau jangan-jangan cuma mau dianggap maju!”
“Jangan-jangan ini semua akibat kasak-kusuk si Jariah!” Uwan Denai, sohib Mak Buliah ikut mengurun-rembug. “Bukan tidak mungkin. Pasti dia biang keroknya!”
Wajah Mak Buliah sontak memerah menahan geram. Hmm, mendengar nama Jariah disebut saja rasanya membuat jantungnya menggeranyam menahan amarah. Musuh tak pernah sekalipun menantang langsung di depannya, tetapi pukulannya serasa bersarang telak di puncak hidung.
“Jadi, aku harus bagaimana?”
“Datangi si Jariah! Kasih pelajaran anak itu!”
Mak Buliah tertegun. Sangat gampang baginya melaksanakan saran Uwan Denai, segampang melibaskan parangnya pada batang talas.
“Tidakkah kelihatan bodoh bila aku ‘menangani’ kalene itu?”
“Justru bila kau biarkan dia jadi makin dapat angin. Lama-lama seluruh penduduk bisa dia pengaruhi, menghasut penduduk untuk memusuhimu. Jangan lupa, si Jariah itu pernah makan bangku kuliahan. Pasti lebih mudah baginya menghasut orang.”
“Dan kalau dia jadi korban tangan Mamak, dengan sangat mudah simpati penduduk akan mengalir padanya!” Aku menyela. Kulihat wajahnya semakin kelam saja, bahkan nyaris pekat. Kulit mukanya yang berminyak menyempurnakan rona kemarahan yang tertahan. Kepulan asap rokok menggelontor dari hidung dan mulutnya.
Ia mendelik ke arahku. Tampaknya ia kaget mendengar kesimpulan yang kulontarkan tadi.
“Jadi, dia tidak benar-benar ingin jadi induak buru?” Suaranya terdengar seperti keluhan. Belum pernah kulihat Mak Buliah sekuyu itu. Barangkali mendengar sepak terjang Jariah yang cerdas itu membuatnya merasa kalah kelas. Mungkin juga sejak anjing kebanggaannya tidak bisa lagi diturunkan di medan perburuan dan kini hanya jadi penghuni sudut dapur, Mak Buliah seperti beringin tumbang dikangkangi para kodok.
***
Hari ini aku kembali ke Jakarta. Masa cutiku sudah akan berakhir, dua hari lagi aku sudah harus menjalani rutinitas kantor yang membosankan.
Wali Nagari akhirnya memutuskan kampung kami harus dibebaskan dari agenda buru babi. Jumlah mereka yang menggilai buru babi tidak seberapa banyak dibanding jumlah penduduk yang menyayangi sawah ladangnya. Petani lebih suka membiarkan babi sebagai musuh daripada harus menyaksikan ladang mereka porak poranda diacak-acak ratusan anjing dan para pemburu.
Kalaupun buru babi diteruskan, peluang Mak Buliah menjadi induak buru tipis juga. Tanpa anjing rasanya tak akan ada tuah. (*)
Jakarta 2005
Ilustrasi: google image
taragak pai baburu liak,,, apalah daya
BalasHapusAPA PENDAPAT ANDA TENTANG TOPIK INI?: